Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku," pintanya Nadira.
Tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah permintaan dari gadis berusia 18 tahun itu ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda yang berprofesi sebagai seorang Kapolsek.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Adinda menatap mencemooh ke arah orang yang telah menggantikannya. “Padahal masih banyak mienya, tidak perlu main rebut segala!” gerutunya Adinda.
Adinda mengambil segelas air putih untuk suaminya yang masih terbatuk-batuk.
“Apa sih sulitnya meminta baik-baik, kan Om punya mulut untuk berbicara,” sarkas Adinda sambil menyodorkan segelas air putih.
Kedua bola matanya Baruna berair, hidungnya memerah bahkan telinganya ikut memerah saking tak kuatnya menahan rasa pedas mie buatannya Adinda.
Adinda menepuk-nepuk punggung lebarnya Baruna,” minum Om,”
Baruna buru-buru meminum airnya hingga tandas tak bersisa, setelah minum barulah kondisinya agak stabil meski masih sedikit terasa pedasnya.
“Astaghfirullahaladzim Adinda kamu masukin cabenya berapa biji sih? Kok pedesnya mengalahkan bon cabe level 9!”
Baruna bersungut-sungut sembari mengipasi mulutnya berusaha agar rasa cabe rawit yang dirasakannya segera menghilang.
“Om juga sih yang salah tapi malah menyalahkan cabe rawitnya! Coba meminta baik-baik bakal saya kasih yang gak ada cabenya,” protes Adinda.
Adinda berjalan ke arah kompor dan kembali menuangkan mie kedalam mangkok yang masih mengeluarkan asapnya.
“Emangnya Om jam segini belum makan?” Tanyanya sambil menyodorkan sebuah mangkuk ke depan suaminya.
Adinda menukar mangkok yang berisi mie pedas dan mie yang baru diambilnya.
“Om belum makan karena nungguin kamu pulang,” ngaku Baruna kembali menyendok mienya yang kali ini rasanya pas di lidahnya.
“Ngapain nungguin saya? Padahal langsung ke dapur sudah bisa makan atau tinggal minta sama bi Asih atau bibi Lia untuk nyiapin makanan,” ketus Adinda.
“Bagaimana caranya Om bisa makan dengan tenang sedangkan kamu ada di luar sana gak tau pergi kemana,” jujurnya Baruna lagi.
“Itu namanya buang-buang waktu saja, tidak perlu nungguin istri kontraknya Om!” ketusnya Adinda.
Adinda awalnya senang mendengarnya, tetapi dia segera menyadarkan dirinya sendiri kalau ucapan suaminya hanya sekedar basa-basi belaka.
Adinda tidak lagi membalas ucapan dari suaminya itu, dia melanjutkan acara santap malamnya yang sudah terlambat.
“Masakanmu enak juga rupanya,” pujinya Baruna.
Adinda hanya mendengarkan semua yang diucapkan oleh suaminya karena perutnya sudah berbunyi keroncongan minta diisi makanan.
Baruna tersenyum simpul,” kapan-kapan boleh masakin lagi makanan untuk Om?” harapnya Baruna.
“Bukannya dulu Om hanya memintaku sebagai ibu sambungnya Nadhira, pekerjaan sebagai Ibu rumah tangga seperti memasak, mencuci, menyapu beberes rumah tidak perlu saya kerjakan kenapa sekarang memintaku untuk memasak!” Adinda masih tidak paham jalan pikiran suaminya.
“Om hanya meminta sekali-kali bukan setiap hari, kamu kenapa sedari tadi ketus mulu padaku kamu sensi amat! Lagi pms yah?” ejek Baruna.
“Om plin plan ataukah seenak itukah masakan buatan tanganku sampai-sampai Om pengen dimasakin lagi?”
“Om suka dengan cita rasa masakanmu, apakah salah kalau Om memintanya kepada istriku sendiri?” Baruna menaik turunkan alisnya ke arah Adinda.
Adinda berjalan ke arah wastafel untuk membersihkan peralatan masak dan makan yang barusan dipakainya.
“Om bantuin kamu yah,” pintanya Baruna.
Adinda belum mengatakan setuju apa tidak, Baruna sudah membantu Adinda.
“Jangan memaksakan diri untuk melakukan hal yang tidak pernah Om lakukan!” ketus Adinda.
Adinda melanjutkan menggosok piringnya tanpa peduli dengan reaksi dari Baruna.
“Om sama sekali tidak pernah memaksakan diriku untuk melakukan hal yang tidak Om inginkan dan nggak om sukai. Tapi, kali ini Om melakukannya murni suka dan ingin meringankan pekerjaan istriku,” jelasnya Baruna.
Adinda melirik ke arah suaminya dan sedikit terkejut melihat wajah tampan suaminya yang sedikit lebam dan sedikit bengkak.
“Kayak anak TK saja yang habis berantem,” sarkas Adinda.
Adinda mengelap tangannya sampai kering kemudian menarik tangannya Baruna seperti anak kecil yang akan dimarahi oleh ibunya karena sudah berbuat nakal.
“Kita mau kemana?” Tanyanya Baruna yang tidak melepaskan tangannya.
“Kita akan pergi mancing keributan!” ketus Adinda.
Baruna paham maksudnya Adinda dan dia tersenyum karena diperhatikan oleh istri kecilnya itu.
“Om duduk di sini, saya akan ambilkan kotak p3knya dulu, jangan kemana-mana tungguin!”
Baruna bersyukur karena istrinya meskipun marah padanya tapi, masih begitu perhatian padanya.
“Aku yakin kamu itu juga sudah mencintaiku hanya saja gengsimu segede gabang,” gumamnya Baruna.
Baruna terus memperhatikan apa yang dilakukan oleh Adinda hingga istrinya sudah duduk di hadapannya.
“Mungkin agak sedikit perih, pasti Om bisa menahan rasa sakitnya,”
Adinda mulai mengobati beberapa bekas lukanya Baruna sedangkan Baruna terus menatap intens gadis remaja yang ada di hadapannya dengan tatapan memuja.
“Entah apa yang terjadi padaku? Entahlah apa aku sudah mencintaimu? Tapi, apa yang aku rasakan saat ini sungguh aku bahagia melihatmu, aku tidak tenang jika tidak melihatmu,” batinnya Baruna yang terus memperhatikan Adinda yang begitu cantik di matanya.
Adinda sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan dengan seksama oleh pria yang beberapa hari ini membuat moodnya berantakan.
“Kamu dengan Kanaya sama-sama membuatku tak sanggup berpaling dari dirimu. Tapi, kamu sungguh berarti selalu istimewa dihati. Kamu sanggup membuatku melupakan masa kelam ketika aku ditinggalkan oleh Kanaya,” Baruna kembali membatin.
“Sakit gak, Om?” Tanyanya Adinda.
“Nggak sakit kok karena orang cantik yang mengobatinya,” ujarnya.
Adinda tersenyum smirk mendengar ucapan suaminya,” baiklah aku akan kerjain Om Baruna.”
Adinda mengoles cream sedikit menekan ke dalam pipinya Baruna yang terluka.
“Auhh sakit!” Keluhnya Baruna.
“Dasar labil, tadi katanya kalau diobati sama orang cantik gak sakit tapi tau-taunya ngeluh juga,” ejek Adinda kemudian menyimpan semua obat yang dipakainya ke dalam kotak p3knya.
“Gimana ga sakit kalau kamu tekan dengan kuat,” sanggah Baruna.
“Alasan saja!”
Adinda hendak bangkit dari posisi duduknya tapi segera dicegah oleh Baruna.
Baruna memeluk tubuhnya Adinda dari arah belakang,” jangan pernah tinggalkan Om, apapun yang terjadi! Aku mohon jangan pergi dari hidupku karena tak akan mampu menjalani sisa hidupku tanpamu.”
Adinda tersenyum kaku mendengar perkataan Baruna,” jangan pernah sekali-kali berbicara yang tidak sesuai dengan isi hatinya Om.”
“Kalau memang seperti itu kenyataannya yang terjadi padaku, Kamu bisa apa?”
“Saya tidak bisa percaya begitu saja, jangan sampai apa yang Om rasakan sebenarnya untuk almarhumah Mbak Kanaya bukan untukku so jangan berikan harapan palsu padaku, Om.”
“Ubur – ubur ikan lele, falling in love with you, le.”
“Ish… ish sempat-sempatnya Om berpantun segala,” olok Adinda.
Adinda melepas pelukan suaminya kemudian berjalan meninggalkan Baruna yang masih berdiri mematung memandangi istrinya.
Baruna mengusap wajahnya dengan gusar,” apa sesulit itu kah kamu mempercayai ketulusan dan kesungguhan hatiku?”
Adinda berjalan ke arah kamar mandi karena ingin membersihkan dan memanjakan tubuhnya dengan berbagai perawatan wajah hingga kulit tubuhnya pun tak terlepas dari perawatan.
Adinda duduk di depan meja riasnya ketika Baruna berjalan ke arah kamar mandi. Ia hanya melirik sepintas tanpa berniat untuk berbicara sepatah katapun.
Adinda mengatur beberapa bantal seperti biasanya sebelum dia tidur sebagai pembatasnya tetapi kali ini lebih banyak dari biasanya.
“Kenapa banyak banget bantalnya! Bukannya biasanya hanya tiga saja?” Protesnya Baruna.
Adinda mendelikkan matanya, “Tangannya Om suka curi-curi kesempatan! Kan Om sendiri yang bilang tidak akan pernah melakukannya kalau belum ada rasa cinta. Ok! Saya setuju tapi namanya manusia itu paling munafik bisa saja ngomongnya gak nyentuh ujung-ujungnya grepe-grepe juga!” sindir Adinda.
“Kalau Om sudah mencintaimu apa kamu bersedia melakukannya dengan Om?” Tanyanya Baruna sambil menaik turunkan alisnya.
Deg!
Adinda tidak menduga jika Baruna akan berbicara seperti itu. Karena setahunya kalau Baruna sangat mencintai mendiang istrinya.
“Haha!! Om jago ngelucu juga rupanya,” Adinda merasa perkataannya Baruna tidak masuk akal dan hanya lelucon saja.
Tanpa basa-basi Baruna menindih tubuhnya Adinda yang diperlakukan seperti itu langsung berteriak histeris.
“Ahhh!!” Teriak lantang Adinda.
Adinda spontan menyilangkan satu tangannya di depan dadanya. Tangan satunya menutup mulutnya rapat-rapat.
“Kenapa kau menutupinya! Apa kamu takut? Kan kamu sendiri yang bilang kalau semua perkataan Om itu hanya lelucon jadi tidak perlu kamu tutupi segala dada kamu yang tepos itu,” ejeknya Baruna.
Adinda yang dikatain seperti itu langsung melepaskan tangannya dan kembali menantang pria dewasa yang berada di atas tubuhnya.
“Jadi Om mau bukti kalau punyaku itu tidak tepos!?” Kesalnya Adinda.
Baruna bersorak gembira karena Adinda masuk jebakan Batman.” Yes!! Kena tipu juga! Lain kali aku akan melakukan hal sama.”
Adinda hendak membuka kancing piyama tidurnya dengan motif bunga-bunga itu, tapi terhenti karena mendengar suara deringan ponselnya. Ia reflek mendorong tubuhnya Baruna hingga terjengkang ke atas lantai.
“Argh!!”
Baruna berteriak kencang karena bokongnya terbentur cukup keras yang terbentur dengan lantai.
Adinda mengulurkan tangannya, “Maaf Om, saya tidak sengaja,” sesalnya Adinda seraya menarik tangannya Baruna untuk membantunya berdiri.
Tapi, apa yang terjadi bukannya Baruna yang bangun malah Adinda yang terjatuh tepat ke atas tubuhnya Baruna. Dengan posisi yang cukup ambigu.
“Ahh!!”
Kedua bibir Adinda langsung menempel di bibir seksinya Baruna yang merah karena tidak pernah tersentuh nikotin sedikitpun.
Baruna tersenyum smirk, “Kesempatan besar nih!” Monolog Baruna.
Baruna tidak menyia-nyiakan kesempatan besar yang jarang terjadi, walaupun badannya kesakitan karena ditindih oleh Adinda tapi baginya itu tidak masalah.
Baruna menekan tengkuk lehernya Adinda dan mulai melu**mat bibir mungil istri kecilnya yang merah merona seperti buah ceri.
Keduanya saling mem**belit lidah, ber**tukar saliva. Adinda mampu membalas dan mengimbangi permainan bibirnya Baruna. Tangannya Baruna menelusup ke balik piyama tidurnya.