Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan Di Pagi Hari
Pagi itu, saat aku baru turun dari motor di parkiran kampus, Dinda juga tiba hampir bersamaan. Wajahnya cemberut, dan dari sorot matanya aku tahu dia masih kesal dengan kejadian tadi malam.
“Mas tega banget ninggalin aku tadi malam bareng cewek frik kaya Monika,” kata Dinda langsung, tanpa basa-basi.
Aku hanya tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. “Maaf, Din. Salah sendiri kalian berdua ribut terus.”
Namun, seperti yang sudah kuduga, Dinda tidak menerima alasan itu. “Aku ribut gara-gara dia! Monika itu memang selalu bikin masalah,” sergahnya dengan nada penuh emosi.
Aku hanya bisa menghela napas, tidak ingin memperpanjang argumen ini. Namun, sebelum aku sempat membalas, suara mesin mobil mewah terdengar mendekat ke area parkir. Sebuah mobil hitam mengilap memasuki halaman kampus, menarik perhatian kami berdua.
Dari mobil itu, Monika turun dengan santai, mengenakan kacamata hitam dan membawa tasnya. Aku mengalihkan pandanganku, berpikir situasinya sudah cukup canggung. Tapi yang membuatku terkejut adalah ketika jendela mobil diturunkan, memperlihatkan sosok ayah Monika yang duduk di dalamnya.
“Pagi, Alan!” sapa ayah Monika dari dalam mobil.
Aku hanya bisa tersenyum canggung, membalas sapaan itu dengan anggukan. Ayah Monika tidak menunggu lama dan segera memacu mobilnya keluar kampus, mungkin karena sedang buru-buru.
Dinda menatapku dengan alis terangkat, jelas keheranan. “Kamu kenal sama ayahnya Monika?” tanyanya langsung, tanpa menyembunyikan nada curiganya.
Aku baru saja hendak menjelaskan ketika Monika, yang berdiri tidak jauh dari kami, menoleh dengan ekspresi datar. “Kalau penasaran, tanya langsung saja ke dia,” katanya sambil menunjuk ke arahku.
Tanpa menunggu reaksi, Monika pergi begitu saja, meninggalkan aku dan Dinda dalam situasi yang semakin tegang. Dinda menatapku dengan tatapan marah yang tidak biasa, seolah menuntut jawaban. Aku mencoba menjelaskan, “Din, aku sama Monika nggak ada apa-apa. Kamu jangan salah paham.”
Namun, jelas Dinda tidak percaya. Dia mendengus dan berbalik pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Sepanjang hari, Dinda mendiamkanku. Biasanya kami selalu berbincang atau bercanda saat ada waktu luang, tapi hari itu dia benar-benar menjauhiku. Bahkan ketika aku mencoba menyapanya, dia hanya memberikan tatapan dingin sebelum pergi.
Rasanya tidak nyaman ketika seseorang yang biasanya dekat denganku tiba-tiba berubah seperti itu. Aku memutuskan untuk mencari kesempatan bicara dengannya. Setelah kelas terakhir selesai, aku mengejar Dinda di lorong kampus.
“Din, tunggu,” panggilku sambil mempercepat langkah.
Dia berhenti, tapi tidak menoleh. Aku berdiri di depannya, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebekuan ini.
“Aku mau jelasin soal tadi pagi,” kataku pelan.
Dinda melipat tangannya di dada, menatapku dengan alis terangkat. “Oh, akhirnya mau jujur juga? Cepat, jelasin.”
Aku menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Aku kenal ayahnya Monika karena beberapa waktu lalu aku pernah bantu Monika di luar kampus. Waktu itu dia ada masalah, dan aku kebetulan ada di dekatnya. Ayahnya tahu soal itu, makanya dia sempat nyapa aku tadi pagi. Tapi itu saja. Nggak ada yang lebih dari itu.”
Dinda mendengarkan dengan ekspresi yang sulit kubaca. Namun, alih-alih tenang, dia justru terlihat semakin kesal.
“Jadi kamu peduli banget sama dia sampai-sampai bantuin segala? Kenapa kamu nggak mikirin perasaan aku? Kamu tahu aku nggak suka Monika, kan?” katanya dengan nada tajam.
Aku mencoba menjelaskan lebih lanjut. “Din, waktu itu situasinya darurat. Aku nggak punya pilihan lain. Lagipula, aku sama Monika nggak ada apa-apa. Kamu harus percaya itu.”
Namun, Dinda tidak mereda. “Aku tetap nggak suka dia! Dia itu cuma bikin masalah. Dan aku kesal karena kamu selalu ada di tengah-tengah!”
Aku berusaha tetap tenang, meskipun situasinya semakin sulit. “Dinda, dengar. Aku ngerti kamu nggak suka sama Monika. Tapi aku nggak bisa biarin kalian terus-terusan ribut seperti ini. Aku cuma mau semuanya selesai dengan baik.”
Dinda mendengus kesal, tapi kali ini dia tidak menjawab. Aku tahu dia masih marah, tapi setidaknya aku sudah mencoba menjelaskan posisiku. Aku hanya berharap waktu bisa meredakan ketegangan ini.
Keesokan harinya, aku akhirnya berhasil membuat Dinda berbicara lagi denganku setelah terus meyakinkannya sepanjang pagi. Kami baru saja selesai mengobrol di taman kampus ketika Monika tiba-tiba muncul dari arah pintu utama, membawa sebuah backpack kecil di tangannya.
“Alan, ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan tas itu kepadaku.
Aku menatap tas tersebut dengan bingung. “Apa ini?” tanyaku.
Monika hanya mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Katanya ini dari ayahku. Tadi pagi dia ke sini ingin memberikannya langsung ke kamu, tapi nggak ketemu.”
Aku hendak bertanya lebih lanjut, tapi seperti biasa, Monika langsung pergi setelah memberikan tas itu. Dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, meninggalkanku bersama Dinda yang dari tadi memasang wajah tidak suka.
“Apa lagi ini?” tanya Dinda dengan nada tajam, menatap tas di tanganku seolah itu barang terlarang.
Aku membuka tas itu dan menemukan beberapa bungkus roti di dalamnya. “Sepertinya cuma roti, Din. Mungkin ayah Monika ingin memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Itu saja.”
Namun, Dinda tidak terlihat puas dengan penjelasanku. “Kenapa ayahnya Monika harus ngasih roti ke kamu? Apa kamu yakin nggak ada apa-apa di antara kalian?” tanyanya lagi, nadanya semakin tinggi.
Aku mencoba tetap tenang. “Din, aku udah jelasin semuanya. Kamu harus percaya sama aku.”
Tapi Dinda hanya menggeleng. “Aku nggak percaya sama Monika! Dia selalu punya cara untuk bikin semuanya ribet. Dan aku benci dia karena itu!”
Aku tahu situasinya akan semakin buruk jika aku tidak segera meredakannya. “Dinda, tolong. Jangan biarkan hal ini merusak hubungan kita. Aku janji, aku nggak ada apa-apa sama Monika.”
Namun, Dinda tetap terlihat kesal. Dia berbalik pergi, meninggalkanku dengan tas berisi roti di tangan dan perasaan lelah yang sulit digambarkan. Aku hanya bisa berharap masalah ini tidak akan berlarut-larut, meskipun dalam hati aku tahu konflik antara Dinda dan Monika masih jauh dari kata selesai.