GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29. Beruang Madu Berwarna Emas
Bibir Kaesang mengerucut, matanya menyipit sedikit, pura-pura marah. "Oh gitu ya kamu sekarang, berani main rahasia-rahasiaan sama aku?" tanyanya, nada suaranya sedikit meninggi.
"Okee, silakan simpan aja itu rahasiamu. Aku nggak peduli." Dia tahu Tyas hanya bercanda, tapi kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Senyum jahil terkembang di bibirnya, merencanakan balasan yang pas untuk Tyas.
Melihat Kaesang merajuk, Tyas langsung mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali melihatnya! Kaesang, yang sedang cemberut, tak kuasa menahan senyum melihat bibir Tyas maju sedikit ke depan.
"Tuh kan senyum, kamu nggak usah sok-sokan mau ngambek ya, Yang. Kamu nggak bisa ngambek kalau sama aku mah." Kata Tyas setelah dia melihat Kaesang tersenyum.
Senyum Kaesang yang semula merekah tiba-tiba sirna, digantikan oleh ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Tatapannya kembali dingin dan tak terbaca, seperti biasanya.
Tyas merasakan amarah terpancar dari raut wajah Kaesang. Tanpa menoleh, Kaesang menepis tangan Tyas yang berusaha meraihnya. Sikap cueknya semakin kentara, membuat Tyas semakin yakin bahwa Kaesang benar-benar marah padanya.
"Pacarnya Tyas. Hey, jangan marah dong sayang. Kamu jadi tambah ganteng loh kalau marah. Poci yang suka nangkring di pohon bambu di belakang rumah aku aja kalah gantengnya loh sama kamu. Yang, jangan marah dong. Muka kamu kayak patung manekin tuh." Tyas, dengan nada bercanda, melempar ejekan kepada Kaesang.
Tak disangka, Kaesang langsung menoleh, raut wajahnya berubah masam. Sepertinya Tyas belum menyadari betapa mudahnya Kaesang tersinggung.
"Udah selesai ngejeknya?!" tanya Kaesang, nada suaranya sedikit tajam. Tyas, yang melihat Kaesang mulai kesal, langsung cemberut. Dia menarik tangannya yang tadinya menggenggam erat tangan Kaesang.
"Kok kamu marah sih? Kan aku cuma bercanda. Jangan marah dong, Sayang." ucap Tyas sambil terkekeh. Ia kembali meraih tangan Kaesang, namun Kaesang menepisnya.
"Hey," lanjutnya, "kamu lucu kalau ngambek. Kayak anak kucing yang lagi ngambek sama majikannya karena nggak dikasih tuna kalengan." Bibir Kaesang mengerucut ke depan, membuat Tyas semakin gemas.
Tyas menghela napas panjang, menyerah. "Kamu beneran ngambek sama aku? Ya udah deh, aku minta maaf. Cuma bercanda kok tadi. Eh, kamu malah beneran ngambek. Maafin aku ya, Sayang, aku nggak akan ngulangin lagi." Tyas memasang wajah memelas, berharap bisa meluluhkan hati Kaesang. Dan benar saja, melihat ekspresi Tyas dan mendengar kata-katanya, Kaesang perlahan tersenyum dan mengangguk.
"Nggak papa kok, aku aja yang rada baperan sama ejekan kayak gitu. Sebenarnya tadi sih aku ngerti kamu lagi bercanda, tapi entah kenapa kupingku langsung panas dengernya. Maaf ya, Dear, Aku nggak bermaksud marah sama kamu." Kaesang menggaruk kepalanya, wajahnya sedikit memerah.
"Tau deh, aku kadang terlalu sensitif. Mungkin kalau cewek wajar-wajar aja. Tapi aku kan cowok, masa sensitif sih? Hahaha."
Tyas yang menyadari Kaesang sudah tidak marah lagi dan mengerti apa alasan dibalik kemarahan Kaesang, segera tersenyum lebar. Ia meraih tangan Kaesang yang terulur di atas meja, jari-jarinya bertaut lembut.
"Yang, aku ada sesuatu buat kamu." ucap Tyas sambil menyeringai misterius. Ia buru-buru mengorek tas selempangnya, mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna hitam, lalu menyerahkannya kepada Kaesang.
Kaesang mengerutkan keningnya melihat Tyas memberikannya barang itu. Dia bertanya, "Ini apa, Dear? Kok dari bentuk-bentuknya kayak ..." Kaesang tidak melanjutkan ucapannya. Tyas yang tahu ke mana arah ucapan Kaesang segera menatapnya tajam.
"Kayak apa? Kayak benda-benda dari dukun gitu?! Aneh-aneh aja kamu ya," celetuk Tyas sambil mengerutkan kening.
"Enggaklah! bukan. Itu sesuatu barang yang mungkin agak kuno tapi bagus. Buka aja, kamu pasti suka," lanjutnya, kali ini dengan senyum mengembang. Tatapan tajamnya tadi perlahan sirna, digantikan oleh tatapan penuh harap.
"Aku nggak ngomong gitu loh ya," ujar Kaesang sambil menahan tawa. Jari-jarinya mulai membuka perlahan bungkusan itu, penasaran dengan isi di dalamnya. Setelah bungkusan terbuka sepenuhnya, dari lubang yang masih gelap samar-samar, Kaesang melihat sesuatu barang berwarna emas yang membuatnya penasaran.
Dengan perlahan, Kaesang memasukkan beberapa jarinya ke lubang itu dan mengambil barang yang ada di dalamnya. Setelah barang itu ada di tangannya, Kaesang terkejut.
Itu adalah gantungan kunci! Gantungan kunci berbentuk beruang madu berwarna emas, memakai selendang dan juga mahkota yang juga berwarna emas. Terlihat sangat lucu!
Kaesang tersenyum lebar dan menoleh ke arah Tyas.
"Buat aku, Dear?" tanya Kaesang memastikan. Tyas mengangguk.
"Iya itu buat kamu. Maaf kalau jel3k ya. Sejauh ini cuma itu yang bisa aku berikan sama kamu. Mungkin lain kali aku bisa memberikan kamu barang yang lebih bagus, yang sekiranya senilai sama kalung yang kamu berikan ke aku," jawab Tyas.
Dia ingin memberikan Kaesang sesuatu barang yang senilai dengan kalung yang Kaesang berikan kepadanya. Tapi apalah daya, gajinya sebagai guru tidak cukup untuk membeli barang-barang mewah.
Kaesang menggeleng pelan, senyum tipis terukir di bibirnya. Matanya berbinar menatap gantungan kunci beruang madu yang ada di tangannya, pemberian dari Tyas.
"Siapa bilang ini jel3k? Cantik kok. Aku suka. Makasih ya, Dear udah ngasih aku gantungan kunci ini." Kaesang benar-benar menghargai dan menyukai pemberian dari Tyas. Baginya barang-barang sederhana ini adalah sesuatu yang mahal dan lebih berharga dari apapun.
Tyas tersenyum senang melihat Kaesang menyukai barang yang ia berikan. Bahkan Kaesang terus memandanginya dan tersenyum lebar.
"Oh iya, Yang. Aku mau nanya nih. Kamu kan punya rumah bagus ya dan tadi istrinya pak Indra, ehm Mama kamu bilang kalau dia tinggal sendirian di rumah. Kamu kenapa malah milih tinggal di apartemen, saat kamu punya rumah bagus gitu?
Kenapa nggak tinggal di rumah aja sama mama kamu? Kasihan loh, Mama kamu sendirian di rumah besar gitu." Tyas mengutarakan rasa penasarannya, pikirannya masih terngiang-ngiang cerita Mama Kaesang tadi. "Punya rumah bagus tapi malah tinggal di apartemen sendirian, kok bisa ya?" batinnya.
Kaesang menghela napas panjang, mendengar rentetan pertanyaan Tyas yang seperti hujan deras. Seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa dia tak bisa terus menyembunyikan masa lalunya dari Tyas.
Rahasia-rahasia yang selama ini dia pendam, perlahan mulai terasa berat untuk terus ditanggung sendiri. Sebagai pasangan, dia ingin jujur dan terbuka kepada Tyas. Dia ingin Tyas mengetahui semuanya, baik yang baik maupun yang burvk.
"Aku tahu kamu pasti akan bertanya seperti itu. Hufff," Kaesang menghela nafas lagi.
"Sebenarnya ...," Kaesang menarik napas dalam-dalam, memulai ceritanya dengan suara pelan. Ia menceritakan semuanya kepada Tyas, tanpa ada yang disembunyikan. Dari masa lalunya yang kelam hingga perubahan yang dialaminya, ia mengungkapkannya dengan jujur.
Bahkan alasan di balik perubahan sikapnya yang dingin dan cuek, ia ceritakan dengan detail. Tyas mendengarkan dengan saksama, matanya tak lepas dari wajah Kaesang. Setelah mendengar semua cerita Kaesang, ia menggeleng pelan, sebuah helaan napas berat keluar dari bibirnya.
"Jadi cuma karena hal itu kamu marah dan kamu berubah?" tanya Tyas dan Kaesang menggeleng.
"Nggak. Masih ada lagi." Kaesang kembali melanjutkan ceritanya, suaranya mengalun pelan. Namun, kali ini, sebuah kejutan terukir di wajah Tyas. Matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Deg!
"Jadi, Bu Zora ... Kamu??" Cerita Kaesang membuat Tyas terpaku. Mulutnya ternganga, matanya membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Seolah-olah dunia sekelilingnya berhenti berputar, hanya tersisa suara detak jantungnya yang bergemuruh di telinganya.
Kaesang mengangguk pelan, wajahnya muram. "Ya, alasan perubahan sikapku ya karena hal itu. Mungkin bagi sebagian anak aku bisa dianggap lebay ...
Tapi mereka nggak tau aja apa perasaanku saat menerima hal itu. Mereka nggak ngerasain apa yang aku rasain makanya mereka mengatakan itu," kata Kaesang. Dulu saat dia masih di sekolah menengah pertama banyak anak-anak yang mengejeknya.
Anak-anak, yang belum tahu siapa sebenarnya ayah Kaesang, Indra, penyumbang dana terbesar di sekolah, seringkali mencibirnya. Sikap dingin dan pendiam Kaesang menjadi sasaran empuk bully mereka.
Tyas menatap kasihan kepada Kaesang. Dia mungkin belum pernah mengalami hal serupa, tapi dia tahu rasanya bagaimana. "Yang, kamu yang sabar ya. Aku tahu pasti rasanya sakit banget menerima hal itu. Tapi mama kamu udah menyesali perbuatannya, Yang ...
Dia kelihatan sayang banget sama kamu. Kemarin aja dia cerita kalau dia kangen banget sama kamu dan pengen tinggal bersama lagi. Kamu ... nggak mau maafin Mama kamu?" tanya Tyas, berusaha meluluhkan hati Kaesang yang sekeras batu itu.
Dengan tegas Kaesang menggeleng. "Aku akan berusaha, tapi sejauh ini belum. Aku masih nyaman tinggal sendirian di apartemen. Lagi pula itu apartemenku kok, bukan apartemen papa. Jadi terserah aku dong aku mau tinggal dimana." jawabnya, sedikit ketus.
Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan, tapi Kaesang berusaha menahan amarahnya.
Bersambung ...