Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Alia duduk bersandar di tempat tidurnya, memandangi langit malam dari jendela besar kamar apartemennya. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang, tapi keindahan itu tak mampu mengusir kesepiannya. Malam ini terasa begitu sunyi tanpa kehadiran pamannya, Dylan.
Ia memeluk bantal kecil yang sering digunakan Dylan saat menemani tidurnya. Aroma samar cologne paman kesayangannya masih tertinggal di sana, membuatnya merasa lebih dekat meski jarak fisik memisahkan mereka.
"Paman pasti datang," gumam Alia pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi waktu terus berlalu, dan bayangan Dylan belum juga muncul di depan pintu.
Alia tahu ia mungkin terlalu bergantung pada pamannya, tapi siapa lagi yang ia miliki? Sejak kecil, Dylan adalah sosok yang selalu ada. Ia adalah pelindung, penghibur, dan sahabat terbaik yang pernah Alia miliki. Bahkan ketika Dylan mulai menjalin hubungan dengan Rose, ia selalu menomorsatukan Alia.
Mungkin itu yang menjadi masalah, pikir Alia. Mungkin karena paman terlalu memprioritaskan dirinya, hingga membuat Rose merasa tidak cukup penting. Alia pernah mendengar beberapa percakapan mereka yang penuh ketegangan, tentang bagaimana Dylan harus membagi waktu antara dirinya dan Rose.
"Tapi aku tidak pernah meminta apa-apa," bisik Alia, suaranya penuh dengan kesedihan. "Aku hanya ingin paman ada di sini."
Ia mencoba mengingat kembali kebersamaan mereka—tawa, cerita sebelum tidur, dan pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa aman. Dylan adalah orang yang tidak pernah mengecewakannya, hingga malam ini.
Alia melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Tidak ada pesan dari Dylan, tidak ada panggilan. Ia ingin menghubunginya, tapi ia juga tahu Dylan mungkin sedang sibuk dengan urusannya sendiri.
Sebuah rasa bersalah menyelinap di hati kecilnya. Apakah ia terlalu egois? Apakah ia menjadi alasan Dylan dan Rose sering bertengkar? Pikiran itu membuatnya semakin gelisah.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang perlahan ingin keluar. Ia tidak ingin merasa seperti beban bagi siapa pun, terutama bagi Dylan.
"Semoga paman tahu aku menunggunya," ujar Alia pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia meraih selimut dan membungkus tubuhnya, berharap rasa hangat itu bisa menggantikan kehadiran pamannya. Namun, jauh di dalam hatinya, Alia tahu bahwa malam ini, apartemen itu akan tetap sunyi tanpa Dylan.
***
Alia mengusap matanya yang sedikit basah, mencoba menghalau rasa kecewa yang merayap di hatinya. Ia sudah memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap keesokan hari membawa kabar lebih baik. Namun, suara pintu apartemen yang terbuka membuatnya tersentak.
"Alia?" suara Dylan terdengar dari ruang tamu.
Alia langsung melompat dari tempat tidur, rasa sedihnya berubah menjadi kelegaan yang sulit ia sembunyikan. Ia berlari menuju ruang tamu, dan benar saja, Dylan berdiri di sana dengan sebuah paperbag besar di tangannya.
"Paman!" serunya, suaranya dipenuhi dengan campuran rasa rindu dan kebahagiaan.
Dylan tersenyum tipis, lalu mengangkat paperbag itu ke udara. "Aku bawa makanan favoritmu. Kukira kau pasti belum makan."
Alia menghampirinya, memeluk Dylan erat seperti anak kecil yang menemukan pelindungnya. Dylan mengusap kepala Alia lembut, rasa bersalah terlintas di benaknya karena sempat membuat gadis kecil ini merasa diabaikan.
"Sudah, sudah," kata Dylan dengan nada lembut. "Mari kita makan dulu. Aku lapar, dan kurasa kau juga."
Alia mengangguk, mengambil paperbag dari tangan Dylan, dan membawanya ke meja makan. Mereka duduk bersama, menikmati makanan dengan suasana yang jauh lebih hangat dibandingkan beberapa jam sebelumnya.
Namun, setelah selesai makan, Dylan merasa pikirannya kembali dipenuhi dengan kegelisahan. Ia memang ada di sini, bersama Alia, tapi bayangan Rose terus menghantuinya. Ia merasa seperti terjebak dalam dua dunia yang sama pentingnya, namun tak pernah bisa ia satukan.
Untuk mengusir kejenuhan, Dylan meraih remote televisi dan menyalakan saluran internasional secara acak. Ia bersandar di sofa, mencoba mengalihkan pikirannya dari semua hal yang membuatnya merasa terbebani.
Namun, yang muncul di layar justru semakin mengusik hatinya.
Rose.
Sosoknya memenuhi layar televisi, berdiri anggun di atas panggung dengan gaun hitam berkilauan. Kamera menangkap setiap ekspresi wajahnya yang penuh emosi saat ia menyanyikan "Mantan yang Beracun."
Dylan terpaku. Suara Rose mengalun indah, tetapi bait demi bait lagu itu menusuk hatinya seperti belati.
"Kamu datang, mencuri hatiku, lalu pergi seakan tiada arti…
Kamu bicara tentang cinta, tapi hanya racun yang kau beri…"
Alia, yang ikut duduk di samping Dylan, menatap layar dengan bingung. "Itu... Rose, ya? Kekasih paman?" tanyanya pelan.
Dylan mengangguk, namun tak berkata apa-apa. Matanya tetap terpaku pada layar. Ia bisa melihat air mata yang perlahan mengalir di pipi Rose saat ia mencapai bait terakhir lagu itu.
"Kini aku tahu, cinta tak selalu indah…
Kadang hanya luka yang kau tinggalkan."
Saat Rose menyelesaikan lagu itu, Dylan merasa seolah-olah ia baru saja dihantam oleh sesuatu yang besar. Ia tahu Rose sedang menyampaikan sesuatu melalui lagu itu—pesan yang hanya bisa ia pahami.
Ia menghela napas panjang, mematikan televisi, dan bersandar kembali di sofa. Alia menatapnya dengan raut wajah khawatir.
"Paman, apa kau baik-baik saja?"
Dylan mengangguk pelan, meskipun jauh di dalam hatinya, ia merasa segalanya sedang kacau balau. "Aku baik-baik saja, Alia. Hanya... perlu waktu untuk berpikir."
Namun, satu hal yang ia tahu pasti malam itu: ia tidak bisa terus begini. Ia harus berbicara dengan Rose, menjelaskan semuanya, dan mencoba memperbaiki apa yang telah ia rusak sendiri. Tapi bagaimana caranya? Itu adalah pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya.
Dylan meraih ponselnya dengan hati yang berdebar. Ia baru saja menyaksikan Rose bernyanyi di televisi, dan perasaannya campur aduk. Ia berjalan keluar dari apartemen Alia, keponakannya, sambil menggenggam ponselnya erat.
Dengan jari yang gemetar, Dylan mengetikkan nomor Rose. Ia menunggu dengan hati yang berharap dan cemas, takut nomornya masih diblokir. Tapi, layar ponselnya menampilkan sinyal yang berputar, menandakan panggilan sedang tersambung.
Dylan menahan napas, menunggu suara Rose di seberang telepon. Tapi, panggilan itu tidak diangkat. Dylan merasa kecewa, tapi tidak menyerah. Ia mencoba menghubungi Rose lagi, berharap kali ini akan diangkat.
Sementara itu, Rose sedang berada di ruang ganti, masih terbawa euforia setelah penampilannya di televisi. Ia belum menyadari panggilan dari Dylan. Apakah Rose akan mengangkat panggilan Dylan?