Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Setelah jam kuliah berakhir, Renaya dan Ivanka berjalan menuju pintu kelas. Namun, langkah mereka terhenti ketika Edwin tiba-tiba menghadang mereka. Cowok itu berdiri dengan senyuman santai, namun ada ekspresi sedikit kecewa di matanya.
"Ehm, kalian ada waktu nggak? Aku mau ajak kalian makan di kantin," kata Edwin, suaranya terdengar ramah namun ada sedikit rasa harap. Matanya sesekali melirik ke arah Renaya, seolah berharap mendapat respon positif.
Renaya tersenyum tipis dan sedikit menggelengkan kepala. "Kalau Ivanka mungkin bisa, tapi maaf aku nggak bisa," jawabnya dengan sopan. Ia sedikit merasa canggung, tapi tetap menjaga jarak. Pikiran tentang Mario dan rencana makan siang bersama sang Daddy kembali mengusik hatinya.
Edwin mengernyitkan dahi dan terlihat sedikit kecewa. "Yah, sayang... padahal aku ingin kenal kalian berdua lebih dekat," keluhnya, nada suaranya terdengar sedikit memelas, meskipun tetap santai.
Ivanka menoleh ke Renaya dengan senyum nakal. "Wah, sepertinya kamu bikin dia kecewa, Nay," godanya.
Renaya hanya tertawa kecil, sedikit merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Edwin. "Maaf ya, Edwin. Mungkin lain kali," jawabnya dengan senyum ramah, mencoba untuk tidak membuat situasi semakin canggung.
Edwin mengangguk, meskipun ekspresinya tampak sedikit suram. "Oke, nggak masalah. Mungkin lain kali," katanya sambil menyeringai, namun dari cara dia melangkah kembali ke bangku, Renaya bisa merasakan bahwa ia sedikit kecewa.
Setelah Edwin pergi, Ivanka langsung menyenggol Renaya dengan penuh semangat. "Wah, Nay! Bisa-bisanya kamu menolak ajakan cowok seganteng itu. Kalau aku jadi kamu, pasti udah langsung ikut!" katanya dengan tawa nakal.
Renaya hanya menggelengkan kepala dan tersenyum. "Aku sih, lebih suka makan siang sama Daddy Mario. Itu udah cukup buat aku," jawabnya dengan lembut, meskipun ada rasa geli di dalam dirinya mendengar candaan Ivanka.
Ivanka mengangkat alis. "Ah, kamu ini... setia banget sama Daddy Mario," godanya lagi, sambil beranjak keluar dari kelas.
Sementara itu, Edwin masih berdiri di lorong kampus, tampak dengan senyum simpul yang samar. Matanya mengamati Renaya yang semakin menjauh bersama Ivanka, dan meskipun ia mencoba menutupi ekspresi kecewanya, ada sesuatu yang tajam dalam tatapannya. "Kali ini kamu boleh menolakku, Renaya, tapi lain waktu, kamu pasti jatuh dalam pelukanku," desisnya pelan, seolah berjanji pada dirinya sendiri. Tanpa Renaya ketahui, Edwin sudah merencanakan langkah-langkah berikutnya.
Di parkiran kampus, Renaya langsung mengucapkan selamat tinggal kepada Ivanka dan melangkah cepat menuju mobil Mario yang sudah terparkir. Begitu membuka pintu mobil, Renaya langsung disambut dengan hangat oleh Mario, yang dengan senyum lebar menyambutnya.
"Sepertinya kamu lagi bahagia banget, Baby?" tanya Mario sambil menarik Renaya ke dalam pelukannya, memberinya ciuman lembut di bibir.
Renaya membalas ciuman itu dengan senyuman manis. "Tentu, Dad! Kan kita mau makan bareng. Jarang kan kita bisa makan siang bareng seperti ini?" jawab Renaya ceria, matanya berbinar. Ia merasakan kebahagiaan yang tulus, jauh dari segala kerumitan yang sering kali mengisi hidupnya. Hanya ada Mario, dan saat ini, itu sudah cukup untuk membuatnya merasa nyaman dan bahagia.
Mario mengangguk, seolah memahami perasaan Renaya. "Iya, memang jarang sekali kita punya waktu seperti ini, sayang. Tapi aku janji, kita akan lebih sering melakukannya," kata Mario dengan lembut.
Mario melajukan mobil dengan tenang, namun tatapan matanya sempat tertuju ke arah parkiran kampus, tempat Edwin tengah menuju motor sportnya yang mencolok. Mata Mario menyipit sedikit, mencoba mengingat sesuatu yang terasa familiar. "Dia mahasiswa baru?" tanya Mario sambil tetap fokus menyetir, suaranya terdengar tenang meskipun dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran.
"Iya, Dad," jawab Renaya, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Katanya pindahan dari Jepang. Sekelas sama aku, namanya Edwin."
Mario terdiam sejenak, pikirannya mulai berkecamuk. Ada sesuatu tentang Edwin yang terasa familiar, seperti pernah melihatnya di tempat lain, tapi dia tidak bisa mengingat di mana. Mungkin hanya perasaan aneh saja, pikirnya. Ia menghela napas dalam-dalam dan mencoba menyingkirkan rasa penasaran itu. Toh, tak ada alasan untuk terlalu memikirkannya. Lagi pula, perutnya sudah mulai merasa lapar, dan makan siang bersama Renaya adalah hal yang lebih penting sekarang.
"Mungkin hanya khayalan aku saja," bisik Mario dalam hati
Renaya menoleh ke Mario dengan tatapan penasaran. "Daddy mengenalnya?" tanyanya, suara lembutnya menunjukkan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan.
Mario melirik sekilas ke Renaya, lalu menggelengkan kepala dengan santai. "Enggak, hanya sepertinya pernah lihat saja," jawabnya cepat, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. "Sudahlah! Kita cari restoran saja, sayang! Kamu ingin makan apa?" Mario menambahkannya, mencoba mengalihkan perhatian Renaya dari pertanyaan tadi.
Renaya berpikir sejenak, matanya menyapu jalanan yang mereka lewati. "Ehm, kayaknya seafood enak, Dad," jawabnya, senyum manis di wajahnya saat membayangkan hidangan laut segar yang lezat.
Mario mengangguk sambil tersenyum, merasa senang bisa melihat Renaya tampak begitu menikmati saat-saat bersama. "Oke, kita cari restoran seafood saja," katanya, "tapi yang masakan China ya, Daddy suka kalau itu."
Renaya mengangguk penuh semangat. "Oke, Dad!" jawabnya, antusias. Ia tahu betul bahwa Mario selalu punya pilihan restoran favorit, dan kali ini pun dia dengan senang hati mengikuti pilihan Mario.
Mereka melaju semakin jauh, menikmati perjalanan santai menuju restoran pilihan Mario. Setibanya di restoran, Mario langsung meminta pelayan untuk menyiapkan tempat duduk yang agak di pinggir, jauh dari keramaian. Ia tahu Renaya tidak suka berada di tengah kerumunan orang, dan juga mereka berdua lebih bisa menikmati waktu bersama jika tidak terlalu banyak gangguan dari lingkungan sekitar.
Pelayan yang ramah segera mengantar mereka menuju meja di sudut restoran, yang terletak dengan sempurna di dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil. Suasana di sini jauh lebih tenang, hanya terdengar suara obrolan lembut dari beberapa pengunjung lain yang duduk di meja-meja sekitarnya. Lampu hangat yang menggantung di atas meja menciptakan suasana intim dan nyaman.
"Ini tempat yang sempurna," kata Renaya sambil duduk dengan nyaman di kursinya. Dia meletakkan tas di sampingnya, lalu melonggarkan ikatan pada jaket yang dipakainya. Wajahnya tampak rileks, menikmati ketenangan di sekitar mereka.
Mario duduk di hadapannya, menatap Renaya dengan senyum lembut. "Aku juga suka yang tenang-tenang begini. Lebih mudah menikmati makanannya, kan?" jawabnya, menatap menu yang terletak di atas meja.
Renaya mengangguk. "Iya, Dad. Aku suka suasana kayak gini. Jadi bisa ngobrol lebih leluasa." Matanya menyapu sekeliling restoran, memandangi dekorasi yang elegan namun tetap sederhana.
Pelayan datang dengan membawa daftar menu, dan mereka mulai memilih hidangan favorit mereka. Renaya dengan semangat memilih hidangan seafood yang menggugah selera, sementara Mario lebih selektif, memilih hidangan yang lebih ringan namun tetap lezat.
"Apa yang kamu pilih, sayang?" tanya Mario sambil menatap menu di tangannya.
Renaya tersenyum dan menunjuk beberapa pilihan. "Aku pilih kepiting lada hitam, sama udang saus mentega. Terus, kita coba nasi tim untuk pendampingnya, Dad."
Mario mengangguk setuju. "Oke, kita pesan itu semua. Aku juga ingin ada dim sum. Kita coba beberapa macam."
Setelah memesan, pelayan meninggalkan mereka untuk menyiapkan pesanan. Namun, tiba-tiba mata Mario membeliak. Pandangannya terfokus pada pintu masuk restoran, dan jantungnya berdegup lebih cepat. Bella dan Arnold baru saja masuk, dan mereka tampak langsung menuju meja yang tak jauh dari tempat duduk mereka. Bella mengenakan gaun berwarna cerah yang membuatnya terlihat anggun, sementara Arnold, seperti biasa, tampak tegas dengan setelan jas yang rapi.
Renaya yang melihat perubahan ekspresi di wajah Mario pun mengikuti arah pandangan pria itu. “Daddy?” tanya Renaya pelan, merasa ada sesuatu yang berbeda.
Mario terdiam sejenak, matanya tetap tertuju pada pasangan itu. Wajahnya berubah sedikit serius, namun ia segera mencoba menenangkan diri. "Mereka... mereka datang ke sini," jawabnya dengan suara rendah, berusaha mengalihkan perhatian Renaya.
Renaya menatap Mario dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. “Siapa mereka, Dad?” tanya Renaya, walau sudah bisa menebak siapa yang dimaksud.
Renaya mengikuti arah pandang Mario, dan dia pun ikut terkejut karena Papinya ada bersama ibu tirinya, di restoran yang sama.
“Kamu tidak masalah, sayang?” tanya Mario.
“Nggak! Biarkan aja Papi sekalian tahu kalau Daddy adalah kekasihku,” jawab Renaya dengan tenang.