Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Badai di Tengah Tenang
Sore itu, Zahra sedang duduk di teras rumahnya, memandangi hujan yang turun deras. Suara tetesan air hujan biasanya menenangkan, tapi kali ini ia merasa cemas. Hatinya masih digelayuti keraguan, dan meski Zidan telah berusaha menjelaskan segalanya, bayangan Siska terus menghantui pikirannya.
Tak lama kemudian, ponsel Zahra berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal kembali muncul di layar.
"Kamu mungkin percaya Zidan, tapi apakah kamu tahu siapa dia sebenarnya? Aku punya bukti yang akan membuka matamu."
Pesan itu disertai dengan sebuah foto. Dalam foto tersebut, Zidan tampak bersama Siska di sebuah kafe. Senyuman di wajah Siska terlihat lebar, sementara Zidan tampak serius.
Hati Zahra mencelos. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin ini foto lama, tetapi rasa curiga sudah terlanjur tumbuh. Apa yang sebenarnya terjadi?
Di tempat lain, Zidan sedang berbicara dengan Kiai Idris. Masalah dengan Siska telah membuat suasana pesantren menjadi tegang. Beberapa santri mulai membicarakan kedatangan Siska, dan Zidan khawatir hal ini akan memengaruhi reputasi pesantren.
“Abi, saya merasa Siska tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan,” kata Zidan dengan nada putus asa.
Kiai Idris mengangguk perlahan. “Nak, setiap ujian pasti ada jalan keluarnya. Tapi kamu harus kuat dan tetap berpegang pada prinsipmu.”
“Saya khawatir, Abi. Bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk Zahra. Dia tidak pantas mendapatkan semua ini.”
Kiai Idris menatap Zidan dengan penuh kebijaksanaan. “Kalau begitu, tunjukkan pada Zahra bahwa kamu ada di sisinya, apapun yang terjadi. Jangan biarkan keraguan menghancurkan kepercayaan di antara kalian.”
Zidan mengangguk. Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
Namun, cobaan semakin berat. Keesokan harinya, sebuah video tersebar di media sosial. Dalam video itu, Zidan terlihat sedang berbicara dengan Siska di depan pesantren. Meski percakapan mereka tidak terdengar jelas, ekspresi wajah Siska yang penuh emosi dan Zidan yang terlihat seperti mencoba menenangkannya menciptakan kesan yang salah.
Video itu dengan cepat menjadi bahan gosip. Bahkan beberapa keluarga Zahra mulai mempertanyakan hubungan mereka.
“Zahra, apa kamu yakin Zidan tidak menyembunyikan sesuatu?” tanya salah satu tantenya saat mereka bertemu di acara keluarga.
“Aku percaya pada Zidan, Tante,” jawab Zahra, meski hatinya ragu.
“Ya, tapi kalau terus begini, apa kamu tidak takut akan masa depanmu? Jangan sampai kamu terluka, Nak.”
Kata-kata itu semakin menekan Zahra. Ia merasa diombang-ambingkan antara kepercayaannya pada Zidan dan keraguan yang terus tumbuh akibat gosip dan bukti-bukti yang tampak meyakinkan.
Di malam yang sama, Zahra memutuskan untuk menghubungi Zidan. Mereka bertemu di sebuah taman yang sepi, tempat yang biasanya menjadi tempat mereka mencari ketenangan.
“Gus,” kata Zahra pelan, “aku ingin mendengar semuanya langsung darimu. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Siska?”
Zidan menarik napas panjang. “Zahra, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Siska. Dia datang ke pesantren tanpa pemberitahuanku, dan aku sudah memintanya untuk berhenti mengganggu kita. Video itu, itu diambil tanpa seizin kami, dan aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya.”
“Tapi kenapa dia tidak mau berhenti? Apa yang dia inginkan darimu?”
Zidan menggeleng. “Dia ingin aku kembali ke masa lalu, Zahra. Tapi aku tidak akan melakukannya. Aku sudah memilihmu, dan aku akan terus memilihmu. Sejak dulu aku tidak pernah meliriknya.”
Zahra ingin percaya, tapi luka di hatinya terlalu dalam. “Aku butuh waktu, Gus. Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menghadapi semua ini.”
“Zahra, aku mohon... Jangan biarkan Siska atau siapa pun memisahkan kita. Kita bisa melewati ini bersama.”
Namun, sebelum Zahra sempat menjawab, suara langkah kaki mendekat. Mereka berdua menoleh dan mendapati Siska berdiri di sana dengan senyuman sinis.
“Maaf mengganggu, tapi aku rasa aku perlu ikut dalam percakapan ini,” katanya, suaranya dipenuhi kepalsuan.
Zahra menatap Siska dengan tajam. “Apa yang kamu inginkan?”
“Aku hanya ingin memastikan kamu tahu siapa Zidan sebenarnya. Dia tidak sebaik yang kamu pikirkan, Zahra. Dia mungkin bilang mencintaimu, tapi dia masih peduli padaku.”
“Itu bohong!” Zidan membentak, membuat Zahra tersentak.
“Benarkah, Gus?” Siska menyeringai. “Kalau begitu, kenapa kamu tidak pernah benar-benar memutuskan kontak denganku? Kenapa kamu selalu mencoba menyelesaikan semuanya dengan baik-baik? Itu karena kamu masih peduli, bukan?”
Zidan mengepalkan tangan. “Aku peduli karena aku tidak ingin menyakitimu, Siska. Tapi itu bukan berarti aku mencintaimu. Aku hanya tidak ingin memperburuk keadaan.”
Namun, kata-kata Zidan justru membuat Zahra semakin bingung. Ia merasa seolah sedang berada di tengah badai yang tidak kunjung reda.
Setelah Siska pergi, Zahra memutuskan untuk pulang tanpa banyak bicara. Zidan mencoba menahannya, tapi ia tahu Zahra butuh waktu untuk sendiri.
Di rumah, Zahra menangis dalam diam. Ia mulai mencintai Zidan, tapi semua ini terlalu berat baginya. Ia mulai bertanya-tanya apakah hubungan mereka benar-benar bisa bertahan di tengah semua tekanan ini.
Sementara itu, Zidan berdoa di kamar kecil pesantrennya. Ia memohon petunjuk dari Allah, berharap ada jalan keluar dari semua kekacauan ini.
Namun, masalah belum selesai. Keesokan harinya, Zahra menerima sebuah paket misterius. Di dalamnya terdapat sebuah amplop dengan beberapa foto Zidan dan Siska. Foto-foto itu tampak seperti diambil baru-baru ini, meski Zahra tahu Zidan tidak pernah bertemu Siska lagi setelah pertemuan terakhir mereka.
Ada juga sebuah catatan singkat di dalam amplop.
"Aku bilang dia tidak setia, tapi kamu tetap percaya. Sekarang lihatlah bukti ini dan pikirkan lagi."
Zahra merasa dunianya runtuh. Ia ingin percaya pada Zidan, tapi bukti-bukti ini terus menghantamnya tanpa henti.
Ia tidak tahu bahwa di tempat lain, Zidan juga sedang menghadapi ancaman. Seseorang mengirimkan pesan ke ponselnya, mengancam akan menyebarkan lebih banyak foto dan video jika Zidan tidak memenuhi permintaan mereka.
“Siapa ini? Apa yang kalian inginkan dariku?” Zidan mengetik dengan marah.
Pesan balasan datang dengan cepat.
"Aku ingin kau meninggalkan Zahra. Jika tidak, aku akan memastikan hidupmu hancur."
Zidan merasa seperti terjebak dalam jebakan yang semakin menjerat. Ia harus menemukan cara untuk melindungi Zahra, meskipun itu berarti ia harus mengambil keputusan yang menyakitkan.
Ketegangan semakin memuncak. Hubungan Zahra dan Zidan berada di ujung tanduk. Sementara itu, Siska terus memainkan perannya, dan ancaman dari orang tak dikenal semakin mengancam kebahagiaan mereka.
Bisakah cinta mereka bertahan di tengah badai ini? Ataukah semuanya akan runtuh sebelum mereka sempat mewujudkan mimpi-mimpi mereka bersama?
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??