Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pagi itu, Dina duduk dengan canggung di meja makan besar yang dipenuhi hidangan lezat. Bau roti panggang yang baru saja matang dan kopi hangat memenuhi udara, namun tak sepenuhnya mengurangi kegelisahan di hatinya. Rita tersenyum lembut padanya, seperti seorang ibu yang hangat, sementara di sisi lain, Ferdi duduk dengan ekspresi datar, menatap Dina penuh dengan rasa penasaran.
“Ferdi, perkenalkan dirimu pada Dina,” ujar Rita, mencoba mencairkan suasana. Namun, nada permintaan itu lebih terasa seperti perintah lembut. Ferdi menghela napas panjang, jelas menunjukkan rasa enggan.
Dengan singkat, tanpa basa-basi, Ferdi akhirnya berkata, “Ferdi.” ucapnya singkat, sebelum kembali menatap piring di depannya. Kalimat itu dingin, formal, seperti memperkenalkan diri kepada seseorang di acara resmi, bukan kepada seorang tamu yang ibunya coba tolong.
Dina bisa merasakan hawa dingin di antara mereka. Dia menunduk, merasa tak nyaman. “Senang bertemu dengan Anda, Ferdi. Namaku Dina” jawab Dina dengan suara pelan, mencoba menjaga sopan santunnya.
Rita menatap keduanya sejenak, lalu tersenyum pada Dina, mencoba memberikan dorongan tanpa kata. “Dina, kau sudah mulai terlihat lebih baik. Sarapan pagi ini akan memberikan energi yang kau butuhkan untuk pulih lebih cepat.” Kata-kata Rita terdengar penuh perhatian, seperti seorang ibu yang mencoba menenangkan hati anaknya.
Rita menatap Ferdi sejenak, memahami betul kenapa putranya bersikap dingin. Dia tahu Ferdi adalah sosok yang berhati baik, hanya saja kali ini, keadaannya berbeda. "Ferdi sebenarnya orang yang baik," kata Rita lembut, sambil tersenyum tipis kepada Dina. "Dia hanya sedikit waspada, terutama terhadap orang baru."
Dina mengangguk pelan, berusaha memaklumi sikap Ferdi. Dia sadar, kehadirannya yang tiba-tiba di rumah ini pasti menimbulkan banyak pertanyaan. Dia merasa berhutang budi pada kebaikan Rita yang memberinya tempat berlindung, meskipun belum bisa melakukan apa-apa sebagai balasannya
Rita melanjutkan, "Jadi, Dina, apa rencanamu sekarang? Bagaimana kau akan mendapatkan kembali Gio?"
Pertanyaan itu membuat hati Dina bergetar, "Saya harus mencari pekerjaan terlebih dahulu," jawab Dina, suaranya bergetar namun pasti. "Saya butuh uang untuk membiayai hidupku dan juga untuk menggugat Ronny. Saya akan melawan dia, tak peduli berapa lama atau sulitnya, saya harus mengambil kembali Gio. Saya dulu berkuliah di jurusan manajemen bisnis, saya yakin itu dapat membantuku mencari pekerjaan" jawab Dina penuh dengan tekad.
Rita mengangguk mendengarkan dengan seksama. "Tapi apakah kau sudah memikirkan di mana kau akan bekerja?" tanya Rita lagi.
Dina menghela napas. "Saya belum tahu, Nyonya. Tapi saya akan mulai dari hal kecil. Saya siap melakukan pekerjaan apa saja yang bisa saya lakukan. Yang penting saya bisa mengumpulkan cukup uang untuk memulai semuanya."
Rita menatap Dina, lalu sebuah pemikiran muncul di benaknya. Dia menepuk tangannya dengan girang, matanya langsung melirik ke arah Ferdi yang tengah makan dengan tenang, tak menyadari apa yang akan terjadi. "Kalau begitu, Dina, bagaimana kalau kau bekerja di perusahaan keluarga kami? Aku yakin kau bisa belajar banyak di sana, sekaligus membangun dirimu kembali."
Ferdi, yang mendengar pernyataan ibunya, langsung terbatuk kecil dan hampir tersedak makanannya. Matanya melebar, menatap ibunya dengan ekspresi tak percaya. "Mi... apa? Bekerja di perusahaan kita? Dia?" tanya Ferdi, suaranya mengandung nada protes yang tidak bisa ditahan.
Matanya membulat, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Rita. "Mi... kau tidak bisa begitu saja menawarkan pekerjaan di perusahaan kita pada orang yang baru saja kau temui di jalan," katanya dengan nada keberatan yang jelas. “Kita bahkan tidak tahu apa-apa tentang Dina.”
Rita menoleh ke arah Ferdi dengan tenang, "Ya, kenapa tidak? Dina kan bilang kalau dia berkuliah di jurusan manajemen bisnis, dan dia ingin mendapatkan kembali anaknya. Mami yakin bekerja di tempat yang tepat akan memberinya kesempatan untuk mempersiapkan diri. Lagipula, kau bisa mengetes kemampuannya dulu, kan?"
Ferdi menurunkan sendoknya dengan perlahan, tatapannya beralih dari ibunya ke Dina, yang tampak kebingungan dan sedikit terkejut dengan arah pembicaraan. Wajah Ferdi tegang, jelas dia tidak menyukai gagasan ini. "Kita tidak tahu apa pun tentang dia, Mi. Bagaimana kalau dia tidak kompeten? Ini bukan hal yang bisa kita lakukan begitu saja tanpa pertimbangan."
Rita, dengan senyum menenangkan, kembali menatap Ferdi. "Itu sebabnya, kau bisa mengetes dia dulu, Ferdi. Jika kau merasa kemampuannya tidak cukup, kita bisa mempertimbangkannya lagi. Tapi berilah dia kesempatan." Nada suaranya lembut tapi terdengar menuntut.
Dina, yang sedari tadi terdiam, merasa terjepit dalam percakapan diantara ibu dan anak ini. Dia tak pernah menyangka akan ditawarkan pekerjaan, apalagi di perusahaan sebesar milik keluarga Ferdi. Namun, melihat bahwa ini mungkin satu-satunya kesempatan baginya untuk bangkit, Dina memberanikan diri untuk berkata, "Saya siap untuk dites. Saya akan melakukan yang terbaik."
Ferdi menghela napas panjang, masih berusaha mencerna permintaan ibunya yang tiba-tiba. "Baiklah, kalau begitu," katanya akhirnya, menyerah pada keteguhan ibunya. "Kita bisa mulai dengan tugas kecil. Tapi jangan harap aku akan memperlakukanmu istimewa hanya karena Mami membawamu ke sini."
Rita tersenyum lebar. "Bagus! Aku yakin ini akan menjadi langkah awal yang baik untukmu, Dina." Suara lembutnya mengandung harapan besar, sementara Dina hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya campur aduk. Di satu sisi, ini adalah kesempatan besar untuk membangun kembali hidupnya dan mungkin bisa membantunya mendapatkan Gio. Di sisi lain, dia tahu bahwa Ferdi masih sangat waspada dan skeptis terhadap dirinya. Namun, tekad Dina sudah bulat. Demi Gio, dia akan membuktikan bahwa dirinya layak untuk kesempatan ini.
Setelah sarapan usai, Rita tersenyum lembut pada Dina sebelum beranjak menuju taman rumahnya. Di sana, dia akan menikmati waktu untuk merawat tanaman kesayangannya—ritual pagi yang selalu memberinya ketenangan. Sementara itu, Ferdi bersiap meninggalkan meja makan, mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi. Tatapannya singkat namun tegas, mengarah pada Dina.
“Kau harus bersiap-siap. Pastikan penampilanmu rapi saat ke kantor,” ucapnya, sedikit datar. "Perusahaan keluarga kami bukan tempat sembarangan. Kami menjalankan bisnis dengan standar tinggi. Aku tidak mau ada kesan buruk dari orang-orang di sana."
Dina mengangguk patuh,"Aku akan pastikan semuanya siap," jawab Dina, suaranya pelan tapi mantap. Meskipun hatinya sedikit gugup. Ferdi memandang Dina sejenak, seolah menimbang kata-katanya. Lalu dia mengangguk kecil sebelum berbalik menuju pintu. "Kita lihat bagaimana kau bekerja nanti," ucapnya, dengan nada penuh tantangan. Dina hanya bisa menghela napas setelah Ferdi pergi, Kebingungan memenuhi pikirannya. Permintaan Ferdi untuk berpenampilan sebaik mungkin di kantor membuatnya pusing. Dia memandangi pakaian sederhana yang dikenakannya, dan sadar bahwa pakaian ini jauh dari standar penampilan profesional di perusahaan besar.
Pikiran Dina berlarian, mengingat segepok uang yang dilemparkan Ronny padanya saat dia diusir. Uang itu masih tersimpan utuh, namun Dina sudah bersumpah tidak akan pernah menyentuh uang tersebut, uang yang seolah menegaskan penghinaan dari suaminya.
Sambil menatap piring kosong di depannya, Dina menarik napas panjang. Haruskah dia mencari pekerjaan lain terlebih dahulu? Bagaimana jika dia tidak memenuhi standar yang diinginkan Ferdi, hanya karena pakaian? Pikirannya berkelana penuh rasa tidak percaya diri.
Tak lama kemudian, Rita kembali dari taman, membawa setangkai bunga segar yang dia petik. Melihat Dina masih duduk di meja makan dengan ekspresi resah, Rita mendekat dan meletakkan bunga di vas di depan Dina. "Ada apa, Dina? Kau tampak cemas," tanya Rita dengan lembut.
Dina mencoba tersenyum, tapi kesulitannya jelas terlihat. "Pak Ferdi bilang saya harus bersiap ke kantor dan berpenampilan sebaik mungkin," katanya pelan. "Tapi... saya tidak punya pakaian kerja yang layak."
Rita tersenyum lembut, tampak mengerti kekhawatiran Dina. "Itu bukan masalah besar, sayang. Kita bisa mengurusnya," katanya sambil mengusap punggung Dina dengan penuh keibuan. "Kau tidak perlu memikirkan itu terlalu dalam. Aku bisa membantumu mendapatkan pakaian yang sesuai."
Dina tertegun sejenak. "Tapi... saya tidak bisa menerima bantuan sebanyak ini. Saya sudah terlalu banyak menerima bantuan nyonya" katanya dengan rasa sungkan.
Rita tertawa kecil. "Oh, Dina, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku senang bisa membantumu. Lagipula, apa gunanya punya banyak hal kalau tidak bisa digunakan untuk membantu orang lain yang membutuhkan?" katanya dengan bijak. "Ayo, kita pergi belanja pakaian bersama. Aku butuh teman untuk itu."
Dina terharu mendengar kebaikan hati Rita. Meski masih merasa sedikit sungkan, dia akhirnya mengangguk. Mungkin ini adalah langkah pertama untuk memperbaiki hidupnya, dan Rita dengan murah hati membantunya mengambil langkah tersebut.
“Kita akan pergi sekarang?” tanya Dina, suaranya masih ragu-ragu.
Rita mengangguk dengan semangat. "Tentu saja. Lebih cepat lebih baik, bukan?" jawabnya ceria.
Dina tersenyum samar, merasa sedikit lebih lega. Dia tak tahu bagaimana nasibnya di kantor nanti, terutama dengan sikap Ferdi yang masih dingin, tapi untuk sekarang dia akan melakukan apapun yang bisa dia lakukan.
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina