Ditengah keterpurukannya atas pengkhianatan calon suami dan sahabatnya sendiri, Arumi dipertemukan dengan Bara, seorang CEO muda yang tengah mencari calon istri yang sesuai dengan kriteria sang kakek.
Bara yang menawarkan misi untuk balas dendam membuat Arumi tergiur, hingga sebuah ikatan diatas kertas harus Arumi jalani demi bisa membalaskan dendam pada dua orang yang telah mengkhianatinya.
"Menjadi wanitaku selama enam bulan, maka aku akan membantumu untuk balas dendam."_ Bara Alvarendra.
Simak dan kepoin ceritanya disini yuk 👇👇👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Ikatan Diatas Kertas.
"Tapi si ya terserah kamu ya Rum, pokoknya ayah kamu jangan sampai tahu, bisa-bisa nanti sakitnya gak sembuh-sembuh kalau dia tau hal ini," Sinta melipatkan kedua tangannya di dada, tatapannya kembali sinis.
Arumi tersenyum tipis, berusaha untuk bersikap tenang meskipun hatinya sudah sangat dongkol, "Mama ngancem Rumi?"
Sinta hanya diam, dia begitu enggan menatap wajah putri sambungnya.
"Kasih tau aja ayah, Rumi gak masalah kok! Malah bagus kalau ayah tau, biar mereka berdua bisa secepatnya dinikahkan,"
Sedikitpun, Arumi tidak takut dengan ancaman Sinta. Sudah cukup dulu ibunya yang menjadi korban keegoisan Sinta, tapi tidak dengan dirinya.
"Rum!"
"Teriak aja Ma, biar ayah dengar sekalian," masih dengan tenangnya Arumi menjawab, membuat Sinta semakin geram. "Apa perlu Rumi bantu ngomong ke ayah? Biar ayah tau sekalian kalau kak Sofia hamil dengan pacarnya yang bekerja sebagai tukang ojek online itu?"
Sinta menurunkan kedua tangannya dari dada, nafasnya bergerumuh hebat, "Dasar anak tidak tau terimakasih! Sudah capek-capek saya membantu membesarkan kamu, begini balasan kamu, hah!!!"
"Dan saya tidak meminta Anda untuk membantu membesarkan saya. Anda sendiri yang datang dengan sukarela, datang sebagai pelakor dalam rumah tangga kedua orang tua saya!"
Meninggalkan Sinta yang masih berdiri mematung dengan kedua tangan mengepal, Arumi masuk ke dalam dapur dan mengambil panci, meletakkannya diatas kompor. Sejenak, dia terdiam untuk mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Setelah mulai sedikit tenang, Arumi mulai membuatkan bubur untuk ayahnya dan mencoba melupakan obrolannya dengan Sinta tadi.
Sinta yang juga sangat kesal memilih pergi meninggalkan pintu dapur dan berjalan menuju ke teras depan rumah. Wanita itu menghembuskan nafasnya berat.
"Si Sofia emang bod-oh! Bukannya nyari laki-laki kaya malah bunt!Ng,"
_
_
_
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Didalam kamarnya, Bara tengah berdiri sambil mondar-mandir di depan ranjang, satu tangannya dia letakkan di pinggang, sementara tangan satunya lagi sibuk mengacak-acak rambutnya sendiri. Sesekali netranya menatap ke arah ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Sore tadi, Arumi memang sudah menelfonnya dan meminta ijin untuk menginap di rumah orang tuanya.
Hatinya begitu gelisah, dia yang sudah biasa tidur berdua dengan istri kontraknya, malam ini harus kembali dibuat tidur sendirian. Tangannya sudah sangat gamam ingin menelfon istrinya itu dan menanyakan apa yang sedang istrinya itu lakukan disana.
Merasa cukup frustasi sampai membuatnya merasa haus, Bara keluar dari dalam kamar untuk mengambil minum didapur. Dengan membawa segelas air putih dia berjalan melewati ruang tengah dan melihat kakek dan tantenya yang masih duduk-duduk santai sambil menonton televisi.
"Belum tidur Bar? Apa... gak bisa tidur gara-gara gak ada yang ngelonin nih," goda Sherly, wanita itu menutupi senyumnya dengan punggung tangan.
Bara menghela nafas panjang, tatapannya tertuju pada wajah sang kakek yang duduk disamping tantenya, "Kek, harusnya tadi kakek larang Arumi buat pergi dulu, biar Bara yang nganterin Arumi pulang ke rumahnya,"
"Kenapa jadi kakek yang disalahkan?" bela Tuan Abian. "Kalau ayah Arumi sampai kenapa-kenapa bagaimana? Kalau kamu tidak mau jauh-jauh dari istri kamu ya tinggal kamu susul saja kesana, begitu saja kok repot,"
"Benar juga, aku ini kan suaminya, jadi kenapa tidak aku susul saja dia kesana sekalian melakukan pendekatan dengan mertua,"
Bara terdiam mematung, mungkin karena saking gelisahnya dia sampai tidak kepikiran untuk menyusul Arumi sejak tadi.
"Ya sudah, Bara akan menyusul Arumi kesana. Sekalian mau jengukin ayah mertua!"
Tuan Abian dan Sherly tersenyum saling memandang. Tidak ingin menunggu lama lagi lagi karena dia sudah sangat rindu pada istrinya itu, Bara langsung kembali ke kamar dan mengganti pakaiannya. Sebelum pergi, Bara kembali berpamitan pada kakek dan tante Sherly.
Malam yang belum terlalu larut dan jalanan yang tidak begitu padat membuat Bara bisa melaju kencang mobilnya, tak lupa dia mampir ke toko buah dan toko kue dulu yang masih buka untuk membeli buah tangan untuk dibawa ke rumah orang tua Arumi.
Mendengar suara mobil terparkir di halaman rumahnya, Sinta yang sedang berada di dalam kamar bersama suaminya dan Arumi pun segera keluar untuk melihat. Kebetulan Arumi memang belum tidur dan sedang memijit kaki ayahnya setelah membantunya meminumkan obat.
Setelah mengintip dari balik tirai, Sinta langsung membuka lebar pintu rumahnya begitu melihat ternyata Bara yang turun dari dalam mobil. Sebuah senyuman lebar langsung dia berikan untuk menyambut menantu kesayangan.
"Menantu," sapanya begitu melihat Bara datang menghampirinya dengan membawa dua tenteng kresek ditangannya.
"Selamat malam, Mama. Maaf saya baru bisa datang kemari," ucap Bara dengan canggung, sebelumnya dia memang belum pernah berbasa-basi seperti ini dengan datang kerumah seorang wanita, dengan keluarga Monica saja dia belum pernah melakukannya.
Sinta mengibaskan satu tangannya sembari tersenyum lebar, "Oh, tidak apa-apa. Kebetulan sekali menantu datang, jadi nanti kita bisa ngobrol-ngobrol banyak, ada hal serius yang ingin mama bicarakan,"
Kening Bara mengernyit, "Hal serius apa yang ingin dibicarakan, Ma? Ceritakan saja, mungkin saya bisa bantu,"
Sinta terkekeh, "Sangat, sangat bisa membantu malah. Jadi begini, mama mau min..."
"Ma!!"
Arumi berjalan melewati Sinta dan menatap ke arah Bara. Sinta yang melihat kehadiran Arumi langsung memasang muka masam.
"Mas, kamu ngapain disini?" tanya Arumi.
"Kok ngapain sih Rum, ya mau nengokin ayah kamulah. Ayah kamu kan ayahku juga sekarang, iyakan Ma?" Bara menoleh ke arah Sinta dan tersenyum penuh arti.
"Oh iya, iya bener. Kamu ini gimana sih Rum, dia inikan suami kamu, kok malah ditanya ngapain kesini," bela Sinta pada menantunya.
Sinta mengambil alih tentengan ditangan Bara dan membawanya masuk, meninggalkan Arumi berdua dengan Bara di teras rumah.
"Harusnya kamu tidak perlu repot-repot datang Mas, besok juga aku pulang kok. Tenang saja, aku tidak akan kabur dari perjanjian kita,"
Bara menghela nafas panjang, "Tidak merepotkan sama sekali Rum. Mas datang kesini karena Mas... Mas tidak bisa tidur tanpa kamu disamping Mas!"
Arumi tertawa mendengarnya, "Ya ampun Mas, ini lagi gak ada orang, jadi gak usah akting. Ya udah yuk masuk!"
Bara meraih lengan Arumi sebelum gadis itu sempat berbalik, dia mendekatkan tubuhnya dan menatap dalam-dalam pemilik netra indah itu, seolah ingin membawa si pemilik mata ikut terhipnotis hanya dengan tatapannya. Sementara jantungnya didalam sana mulai terpompa dengan kencang, wajahnya terlihat begitu serius.
"Ini bukan sekedar akting Rum." Bara menjeda kalimatnya dan semakin menatap dalam mata Arumi. "Mas mau bilang kalau Mas..."
"Bilang apa Mas?" suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik. Sejak tadi matanya dibuat tidak bisa berpaling dari mata suaminya, hembusan nafas lelaki itu bahkan begitu terasa menyapu kulit wajahnya.
Sebisa mungkin Bara mencoba menutupi kegugupannya, "Rum, Mas cin..."
"Rum, ajak suami kamu masuk! Jangan diluar kelamaan, nanti masuk angin!"
Terdengar suara Sinta memanggil dari dalam rumah. Arumi segera menurunkan pandangannya dan menjauhkan sedikit tubuhnya dari Bara.
"Iya Ma..." balas Arumi setengah berteriak. "Ayo Mas kita masuk," ajak Arumi pada Bara.
Sedikit kecewa, Bara membiarkan Arumi masuk lebih dulu ke dalam rumah. Bara berkacak pinggang, kedua matanya terpejam, wajahnya mendongak dan hembusan nafasnya terdengar berat.
Berhubung ayah Arumi sudah tertidur, Arumi langsung mengajak Bara masuk ke dalam kamarnya. Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu hanya memiliki sebuah ranjang dengan ukuran yang tidak terlalu besar, dipojok kanan ada lemari pakaian dan disampingnya ada meja rias yang biasa digunakan Arumi untuk berdandan. Sofapun bahkan tidak ada.
"Mas... tapi ranjangnya sempit," ucap Arumi dengan ragu-ragu, menatap Bara yang berdiri di sampingnya.
Bara mengulas senyum nakal dan mengedipkan sebelah matanya, "Bukannya emang enak yang sempit-sempit ya Rum."
"Mas!!"
...🍁🍁🍁...
......
siap nontonnn💃💃💃🏃♀️🏃♀️🏃♀️
sembur aja semburrr☕️