Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang Tertinggal
Malam telah menyelimuti desa Jatiroto dengan keheningan. Namun, di sebuah ruangan kecil yang dipenuhi peralatan mekanik, Dina masih duduk terdiam, merenungi keputusan yang baru saja menghantamnya. Kegagalan dalam seleksi proyek itu seperti badai yang mengguncang keyakinannya. Tapi jauh di dalam dirinya, sebuah suara kecil terus memanggil: Jangan berhenti.
Mira, yang sejak siang tadi tidak meninggalkan sisi Dina, menyeduhkan secangkir teh hangat dan meletakkannya di meja kerja yang berantakan. "Dina, kamu tahu, kegagalan bukan berarti berhenti. Kadang, itu hanya caranya semesta mengarahkan kita ke jalan yang lebih benar."
Dina tersenyum kecil, meski lelah terlihat jelas di wajahnya. "Aku tahu, Mira. Tapi tetap saja, rasanya sulit untuk menerima."
Mira mengangguk pelan, memahami perasaan sahabatnya. "Kamu ingat apa yang kita bicarakan dulu? Tentang bagaimana ini bukan hanya soal menang atau kalah? Kamu selalu bilang, ini untuk desa kita. Jadi, kenapa harus berhenti sekarang?"
Perkataan Mira itu menggugah sesuatu di dalam Dina. Ia teringat alasannya memulai semuanya. Kincir angin itu bukan sekadar proyek kompetisi, melainkan mimpi untuk membuat perubahan nyata di Jatiroto, sebuah desa kecil yang terus berjuang melawan keterbatasan.
~
Hari-hari berikutnya, Dina mulai mengumpulkan semangat yang tersisa. Dengan bantuan Mira, ia kembali ke bengkel, memperbaiki detail yang sebelumnya terlewatkan. Flywheel yang sempat menjadi kebanggaannya kini dilihatnya dengan cara berbeda. Dina mulai berpikir untuk mengembangkan sistem yang lebih sederhana, yang tidak hanya murah tapi juga mudah dirakit oleh warga desa.
Malam itu, sambil menggambar sketsa baru, Dina merasa tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Jika sebelumnya ia hanya berfokus pada inovasi teknis, kini ia ingin melibatkan masyarakat. Sebuah ide muncul di benaknya: membuat program pelatihan sederhana agar warga desa bisa memahami teknologi yang ia rancang.
Mira yang memperhatikan Dina dari sudut ruangan tersenyum melihat perubahan itu. "Aku tahu kamu nggak akan menyerah, Din."
Dina menoleh dengan senyum penuh keyakinan. "Kita nggak akan menyerah, Ra. Aku butuh bantuanmu. Ini bukan hanya mimpi aku lagi."
~
Pagi berikutnya, Dina dan Mira memulai langkah baru. Mereka mengumpulkan beberapa warga desa, berbagi cerita tentang proyek kincir angin, dan bagaimana teknologi itu bisa menjadi solusi energi bagi Jatiroto. Awalnya, tidak banyak yang tertarik. Sebagian besar merasa bahwa teknologi seperti itu terlalu rumit untuk mereka pahami.
Namun, Dina tidak menyerah. Dengan sabar, ia menjelaskan idenya. Ia bahkan menunjukkan cara kerja flywheel yang sudah dimodifikasi agar lebih sederhana. Hari demi hari, lebih banyak warga mulai tertarik. Dina dan Mira membuat jadwal pelatihan kecil-kecilan di bengkel, mengajari cara merakit komponen dasar.
Di tengah proses itu, Dina menemukan kembali semangatnya. Setiap tawa, setiap pertanyaan dari warga desa memberinya kekuatan baru. Ia sadar, mimpi itu tidak hanya miliknya. Kini, mimpi itu menjadi milik bersama, dan setiap orang di desa memiliki peran dalam mewujudkannya.
~
Sebulan kemudian, kincir angin pertama yang dibuat secara kolektif oleh warga Jatiroto akhirnya berdiri di atas bukit kecil. Meski tidak besar, kincir itu menjadi simbol dari apa yang bisa dicapai ketika orang-orang bekerja bersama. Dina merasa matanya berkaca-kaca saat melihat baling-baling itu mulai berputar, didorong oleh angin yang begitu setia menemani perjuangannya.
Mira berdiri di sampingnya, tersenyum bangga. "Lihat, Din. Ini baru permulaan."
Dina mengangguk. "Kita akan buat lebih banyak. Desa ini tidak akan lagi gelap di malam hari."
Di kejauhan, langit mulai berubah warna. Matahari yang hampir tenggelam meninggalkan jejak keemasan di cakrawala. Dina tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh.
Jejak pertama telah tertinggal, dan ia percaya, angin akan terus membawa mereka ke arah yang lebih cerah.
Malam itu, Dina berdiri di dekat kincir angin, membiarkan pikirannya mengembara. Cahaya redup dari lampu-lampu kecil yang ditenagai oleh kincir itu memantulkan bayangan di tanah. Itu adalah malam pertama desa mereka menikmati listrik tanpa harus mengandalkan genset mahal atau lampu minyak yang tak seberapa terang.
Namun, meskipun rasa syukur menyelimuti hatinya, Dina tahu bahwa ini hanya langkah awal.
"Din," panggil Mira yang datang mendekat, membawa dua gelas teh hangat. "Kamu nggak ikut ke perayaan di balai desa? Semua orang nunggu kamu, tahu."
Dina tersenyum kecil. "Aku cuma butuh waktu sebentar. Mau menikmati ini dulu."
Mira menyerahkan teh itu, lalu berdiri di samping Dina. Mereka berdua memandang kincir yang terus berputar dengan stabil.
"Kamu tahu," kata Mira, memecah keheningan, "meski ini cuma kincir kecil, dampaknya besar banget buat semua orang di sini. Aku dengar Bu Nur mulai mikir buat bikin warung kecil dengan lemari es. Pak Karim juga bilang listrik ini bisa bantu alat irigasi sawahnya."
Dina mengangguk pelan. "Itu yang bikin aku nggak bisa berhenti, Ra. Ini baru satu, tapi bayangkan kalau kita bisa bikin lebih banyak, bukan cuma di sini. Desa lain juga pasti butuh."
Mira memandang sahabatnya dengan penuh rasa kagum. "Kamu tahu, kadang aku iri sama kamu, Din."
Dina menoleh, keningnya berkerut. "Iri? Kenapa?"
"Karena kamu selalu punya keberanian buat bermimpi besar, dan bukan cuma mimpi—kamu beneran ngejalanin semuanya."
Dina terdiam. Kata-kata Mira mengingatkannya pada perasaan ragu dan takut yang sempat menghantuinya. Tapi kini, semua itu terasa jauh, tertinggal di belakang saat dia melihat apa yang sudah mereka capai bersama.
~
Hari-hari berikutnya, Dina semakin sibuk. Ia mengunjungi rumah-rumah warga, memastikan setiap sistem bekerja dengan baik. Di sisi lain, ia juga mulai mengajukan proposal ke beberapa lembaga swasta yang mungkin tertarik mendanai pengembangan proyeknya.
Salah satu surat balasannya datang dari seorang dosen teknik elektro yang sebelumnya pernah menjadi juri di kompetisi yang ia ikuti. Dosen itu, Pak Bimo, mengaku tertarik dengan inovasi Dina dan ingin membantu menghubungkannya dengan beberapa investor yang peduli pada pengembangan energi terbarukan di desa terpencil.
"Aku nggak nyangka dia masih ingat aku," kata Dina dengan penuh semangat kepada Mira.
"Kenapa nggak? Proyekmu kan emang keren," jawab Mira sambil tersenyum lebar.
Namun, semangat Dina itu harus diimbangi dengan tantangan baru. Beberapa warga desa mulai khawatir tentang siapa yang akan mengelola kincir angin itu ke depannya. Ada juga isu soal pembagian hasil dari listrik yang dihasilkan. Masalah-masalah ini membuat Dina menyadari bahwa teknologinya saja tidak cukup. Ia butuh sistem yang jelas dan adil untuk memastikan semua orang bisa merasakan manfaatnya.
~
Sebuah pertemuan besar diadakan di balai desa untuk membahas hal ini. Dina memimpin diskusi, mencoba mendengarkan masukan dari semua pihak.
"Kalau listrik ini cuma dipakai sama beberapa orang, kita nggak merasa adil," kata salah satu warga.
"Betul, tapi kalau kita pakai listrik ini buat semuanya, nanti malah rusak karena dipakai berlebihan," tambah yang lain.
Dina berdiri di tengah, mencoba meredakan kekhawatiran. "Kita bisa bikin sistem yang mengatur pemakaian listrik ini. Mungkin kita tentukan siapa yang bisa pakai dan kapan, supaya semuanya kebagian. Selain itu, aku juga sedang mengusahakan supaya kita bisa bangun kincir tambahan. Tapi aku butuh waktu."
Diskusi itu berlangsung hingga larut malam, dan meski ada beberapa ketegangan, Dina berhasil meyakinkan mereka untuk bersabar. Dalam hati, ia tahu bahwa tantangan seperti ini akan terus muncul. Namun, ia juga tahu bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang.
~
Sebulan kemudian, hasil usahanya mulai terlihat. Pak Bimo menghubungi Dina dengan kabar baik: salah satu lembaga nirlaba siap memberikan dana untuk membangun tiga kincir angin tambahan di Jatiroto. Namun, ada satu syarat: Dina harus datang ke kota besar untuk mempresentasikan rencananya di depan para donatur.
Mira adalah orang pertama yang Dina kabari. "Aku harus ke Surabaya minggu depan," kata Dina sambil menunjukkan email dari Pak Bimo.
Mira terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Ini kesempatan besar, Din. Aku bangga sama kamu."
Namun, di balik senyum itu, Dina bisa melihat ada sesuatu yang Mira sembunyikan.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Dina.
Mira mengangguk cepat. "Aku cuma senang lihat kamu akhirnya dapet kesempatan ini. Jangan pikirin aku, ya. Fokus aja sama presentasimu."
Dina mengangguk, meski rasa ragu masih menyelinap di hatinya.
~
Ketika hari keberangkatan tiba, Mira datang ke stasiun untuk mengantar Dina. Mereka berdiri di peron, saling tersenyum meski ada sedikit kesedihan di antara mereka.
"Jangan lupa kabari aku setiap hari," kata Mira sambil memeluk Dina erat.
"Tentu. Kamu yang pertama kali aku hubungi kalau ada kabar baik," jawab Dina.
Kereta mulai bergerak, membawa Dina menjauh dari Jatiroto. Dari jendela, ia melihat Mira melambaikan tangan, semakin kecil hingga akhirnya menghilang dari pandangan.
Dina menarik napas panjang. Perjalanan ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Ia tahu, banyak hal yang harus ia perjuangkan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Jatiroto dan semua mimpi yang ia bagi bersama sahabatnya.
Di luar jendela, bayangan desa kecilnya mulai digantikan oleh lanskap kota yang penuh hiruk-pikuk. Namun, di dalam hatinya, Jatiroto tetap menjadi kompas yang membimbing setiap langkahnya.
Bersambung...