Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Membantah Rumor
Hari itu suasana kantor terasa tidak biasa.
Ruangan yang biasanya penuh dengan suara ketikan dan telepon berubah menjadi arena bisikan-bisikan yang menjalar cepat dari satu meja ke meja lainnya.
Naura yang sedang sibuk mengerjakan laporan merasa tatapan rekan-rekannya berbeda. Ada sorot sinis yang membuatnya tidak nyaman.
“Naura, katanya kamu pernah nikah sama Pak Bimo, ya?” suara salah satu teman kantornya, Wulan, tiba-tiba memecah keheningan.
Naura membeku.
“Apa maksud kamu?” tanyanya, suaranya bergetar.
“Ya, begitulah rumor yang beredar. Kamu nikah diam-diam sama dia, terus ditinggal karena dia menikah lagi sama yang sekarang. Katanya, kamu juga sengaja dekat sama Pak Raka buat cari harta,” sahut Wulan dengan nada rendah tapi jelas cukup untuk didengar banyak orang.
Rekan-rekan yang lain mulai berbisik lebih keras.
Naura menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Hatinya teriris mendengar tuduhan keji itu.
Di saat yang sama, Raka yang baru saja tiba di kantor merasa suasana aneh.
Langkahnya terhenti saat mendengar percakapan dua karyawan di dekat lift.
“Kasihan sih, tapi ya, kalau bener Naura nikah sama Pak Bimo terus ditinggal, kenapa dia sekarang deket sama Pak Raka? Kayak ada maunya banget.”
Raka mengernyit. Amarah mulai membakar dadanya. Panas tentu saja. Membuat emosinya memuncak.
Ia berjalan cepat menuju ruang kerja Naura.
Begitu sampai, ia menemukan Naura berdiri di tengah ruangan dengan wajah pucat, sementara Wulan dan beberapa karyawan lainnya masih membicarakannya dengan nada mencibir.
“Ada apa di sini?” suara Raka yang tegas membuat semua orang terdiam.
Ada yang terlihat terkejut, ada yang menahan takut, dengan berbagai ekspresi wajah yang tidak bisa mereka sembunyikan.
Raka mengamati setiap wajah satu persatu.
Naura mencoba menjawab, tapi tenggorokannya tercekat. Melihat itu, Raka melangkah maju, berdiri di samping Naura dengan tatapan tajam ke arah Wulan.
“Siapa yang menyebarkan rumor ini?” tanyanya, suaranya dingin tapi penuh wibawa.
Tidak ada yang berani menjawab. Wulan hanya menunduk, menghindari tatapan Raka.
Meski begitu Raka dengan sengaja memberinya tatapan tajam agar wanita itu sadar apa arti sikap Raka.
Raka menoleh ke seluruh ruangan.
“Naura belum pernah menikah dengan siapa pun. Kalau ada yang menuduh sebaliknya, tolong tunjukkan bukti. Akta nikah? Foto pernikahan? Apa pun yang bisa membuktikan omong kosong ini!” teriak Raka ketika melakukan pembelaan terhadap Naura.
Ya. Ia memang pasang badan di setiap kesempatan. Katanya, kesehatan mental Naura yang utama baginya.
SSuasana seketika berubah hening. Tidak ada yang berani mengangkat suara.
“Dan untuk yang berani menyebarkan fitnah ini, ingat bahwa perusahaan ini tidak mentolerir tindakan seperti itu,” lanjut Raka, nada suaranya semakin keras. “Saya akan menyelidiki siapa dalangnya.”
***
Beberapa saat kemudian, seorang karyawan wanita bernama Yuni terlihat gelisah.
Ia berusaha keluar dari ruangan tanpa menarik perhatian, namun langkahnya terhenti ketika suara Raka memanggilnya.
“Yuni, bisa saya bicara sebentar?” tanya Raka terdengar mengintimidasi.
Yuni berbalik dengan wajah pucat.
“A-ada apa, Pak?” Ia berbalik tanya sambil tergagap.
Raka mendekatinya dengan tatapan tajam.
“Kamu tahu sesuatu tentang rumor ini, bukan?” Sorot mata Raka tidak berkedip seolah memberi isyarat sedang mengintimidasi.
“A-anu, Pak, saya cuma dengar-dengar aja. Bukan saya yang mulai,” jawab Yuni terbata-bata.
“Kalau begitu, siapa yang mulai?” Raka menyipitkan mata.
Setelah didesak, Yuni akhirnya mengaku bahwa ia mendengar rumor itu dari salah satu staf perempuan di divisi administrasi.
Tanpa menunggu lebih lama, Raka meminta bagian HRD memanggil perempuan tersebut ke ruang rapat.
Di depan seluruh tim, perempuan bernama Dina akhirnya mengaku.
“Maaf, Pak. Saya hanya ... saya dengar dari luar, terus saya cerita ke teman-teman. Saya tidak bermaksud apa-apa,” katanya sambil menunduk.
“Tidak bermaksud apa-apa?” ulang Raka dengan nada sarkastik.
“Kamu menyebarkan fitnah, mencemarkan nama baik karyawan lain, dan itu kamu bilang tidak bermaksud apa-apa?”
Dina hanya bisa terdiam, wajahnya memerah menahan malu.
Terlebih suara Raka terdengar menggelegar mendominasi ruangan, terdengar jelas nada emosinya.
“Mulai hari ini, kamu tidak lagi bekerja di sini,” kata Raka dengan tegas. “Perusahaan ini butuh orang yang bisa menjaga integritas, bukan penyebar fitnah.”
Keputusan itu membuat ruangan hening. Semua karyawan terkejut melihat bagaimana Raka mengambil tindakan langsung tanpa ampun.
Setelah insiden itu, Raka membawa Naura keluar dari kantor, memberinya waktu untuk menenangkan diri.
Kali ini Naura duduk di dalam mobil Raka, mereka duduk sejajar. Naura terisak sambil memejamkan sepasang mata tanpa berani menatap Raka.
“Maaf karena kamu harus melalui ini,” kata Raka lembut saat mereka duduk di mobil.
Naura menggeleng. “Bukan salah Mas Raka. Ini semua karena masa lalu saya.”
“Dan masa lalu itu tidak seharusnya membayangi kamu,” jawab Raka dengan tegas.
Naura menatap pria itu, matanya berair.
“Terima kasih, Mas, sudah melindungi saya.”
Namun sebelum Raka sempat menjawab, ponsel Naura berbunyi. Pesan dari nomor tak dikenal masuk.
Pesan dari Bimo:
“Kamu pikir, dengan Raka di sampingmu, aku akan membiarkanmu bahagia? Jangan lupa siapa aku, Naura. Aku tahu semuanya tentang kamu.”
Naura menelan ludah, tubuhnya gemetar membaca pesan itu.
“Naura, ada apa?” tanya Raka, melihat perubahan ekspresi gadis itu.
Naura mengangkat ponselnya dengan tangan bergetar, menunjukkan pesan tersebut kepada Raka.
Mata Raka menyipit membaca isi pesan itu.
“Bimo belum selesai, ya?” gumamnya, nadanya penuh ancaman. “Kalau dia pikir bisa mengganggu kamu lagi, dia salah besar.”
Raka menatap Naura dengan tekad yang membara.
"Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti kamu lagi, Naura. Percayakan semuanya padaku."
"Sudah cukup, masalah ini biarlah menjadi urusan saya. Biar saya yang selesaikan urusan ini sendiri," tolak Naura.
Mungkin gadis itu tak enak hati melihat Raka terlalu baik kepadanya.
"Saya sudah terlanjur ikut campur sejak kamu memiliki keinginan mengakhiri hidup, Naura. Saya sudah terlanjur ikut campur melihat Ayah kamu meninggal karena kepedihan putrinya," cetus Raka.
"Tapi Bimo mengancam, Mas. Saya tidak mau terjadi apa-apa dengan Mas Raka," ujar Naura.
Raka tersenyum tipis.
"Kamu pikir aku ini lemah? Kamu belum mengenal siapa Raka dan siapa Bimo, Naura. Kamu lihat saja, apa yang akan terjadi dengannya setelah ini. Aku akan menemui dia sore ini," cetus Raka dengan rahang terlihat mengeras.
"Naura, boleh aku minta satu hal?" tanya Raka terlihat ragu-ragu.
"Apa itu, Mas. Jangan meminta hal yang tidak mungkin bisa kukabulkan," jawabnya.
Raka kembali tersenyum. Ia paham benar bagaimana trauma yang ditinggalkan oleh Bimo kepada Naura.
"Ganti nomor ponsel kamu, ya? Nanti malam saya jemput kalau kamu setuju. Saya yang beli, sekaligus kita makan di luar. Biar kamu gak dihubungi Bimo lagi," pinta Raka dengan ekspresi memohon, membuat Naura iba.
Gadis itu mengangguk setuju. Tak lama berselang Raka terlihat serius mengetik pesan singkat yang sengaja ia kirim untuk Bimo. Kali ini ia marah besar mengetahui sikap Bimo yang dinilai keterlaluan.
"Temui aku sore ini, jika kamu tidak berani ... saya akan datang langsung dan mengatakan semuanya di depan mertua kamu!"
"Ada apa, Mas?" tanya Naura setelah menangkap ekspresi tegang Raka menatap ponsel di genggamannya.
"Saya akan mengakhiri penderitaan kamu, Naura. Besok dan setelahnya ... saya janji tidak akan ada teror lagi dari Bimo," terangnya.
(Bersambung ....)