Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 - Sihir atau Kemampuan?
Naina dengan kesadaran penuh memilih untuk melepas kain yang menutup tubuhnya dengan tangan sendiri ketimbang pria itu yang melakukannya. Masih terbayang bagaimana brutalnya Tuan Minos mencabik-cabik gaun merah tadi pagi, bahkan bekas goresan luka di tubuhnya masih basah.
Setelah kain itu tertanggal dari tubuh Naina dan terpampang nyata lekuk tubuhnya yang polos, Tuan Minos mengulurkan tangan padanya. Menyuruhnya untuk mendekat.
Tidak tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh pria bertubuh monster tersebut, Naina tidak berani bertanya ataupun menolak. Hanya patuh saja, sudah tidak memiliki rasa malu, toh suaminya itu sudah melihat semua apa yang ada dalam dirinya tanpa terlewat.
“Tutup matamu dan tenanglah,” titahnya lagi, tangan panjangnya sudah merangkul tubuh Naina, membawanya ke dalam dekapan.
Naina dengan napas yang ngap-ngapan berusaha setenang mungkin, perlahan mulai menutup kedua mata sesuai perintah. Tubuhnya menggeligis hebat, dingin merayap sebadan-badan.
Sorot mata Tuan Minos mengabsen lekuk tubuh sang istri dalam dekapannya, tepatnya mengamati setiap luka akibat ulahnya tadi pagi. Meski penuh dengan luka, Tuan Minos tidak dapat menampik bahwa tubuh Naina tetap terlihat menarik dan indah.
“Ada apa dengan responmu ini? Apa kamu pikir kita akan melakukannya?” Tuan Minos mendesis dengan mimik datar.
Naina bergeming. Ia tidak merespon apa-apa. Mata dan mulutnya terkunci rapat. Setelah disuruh bertelanjang, memangnya ada hal lain yang menjadi alasan kuat untuk tidak berpikir ke sana?
Terlebih ketika telapak Tuan Minos mulai mendarat pada kulit Naina, gadis itu semakin panas dingin dibuatnya. Pikirannya sudah ke mana-mana, berpikir keperawanannya akan direnggut hari ini olehnya.
Tapi ternyata Tuan Minos memang tidak melakukan hal yang merujuk ke sana, meski sepintas dirinya menginginkan hal itu, tapi dia lebih dulu sadar diri. Dan apa yang akan dilakukannya saat ini serta merta hanya sebatas untuk menebus kesalahannya.
Melalui telapak tangannya yang sudah menjamah bagian tubuh gadis itu, sebuah cahaya biru terpantul dari setiap jarinya yang meraba-raba, merangsek masuk. Cahayanya berpendar-pendar. Dan ajaibnya, dalam hitungan detik, goresan luka di sana perlahan memudar dan tak menyisakan apapun sehingga membuatnya benar-benar pulih tanpa bekas.
“Apapun yang kau rasakan, jangan pernah buka matamu. Tetap tenang dan pasrahkan saja, jangan dilawan jika ada energi yang berusaha untuk masuk,” bisik Tuan Minos, tangannya berhenti pada dua gumpalan yang menonjol milik gadis itu, luka goresan yang memanjang dan abstrak di sana pelan-pelan memudar juga.
Entah apa yang dirasakan Naina, tapi semakin banyak cahaya biru itu merangsek ke dalam tubuh melalui kulit, tenaganya seperti disedot habis-habisan. Sehingga kedua kakinya di bawah sana sudah tertekuk lemas, punggungnya semakin jatuh ke dalam rangkulan Tuan Minos, jika tidak ditahan dapat dipastikan saat ini tubuhnya sudah terjatuh ke atas lantai.
Sampai luka-luka bekas cabikan tak lagi nampak di sana, barulah Tuan Minos mulai menarik kedua tangannya dari tubuh Naina. “Bangunlah, buka matamu. Lalu berdirilah perlahan.”
Alisnya bergerak-gerak, perlahan jelaga hitamnya mulai terlihat. Membulat sempurna, langsung bersitatap dengan wajah pria yang berada beberapa centi di atasnya.
Detik itu juga, selepas melihat ekspresi terhenyak mengukir jelas di wajah gadis tersebut, Tuan Minos langsung melepas dekapannya. Membuat tubuh Naina yang lemas seketika terduduk lunglai di lantai.
“Barang-barang yang kau butuhkan bisa kau ambil dari ruangan-ruangan lain, biar Tora yang membantu dan memberitahumu nanti,” ujar Tuan Minos yang sudah berbalik badan, kaki panjangnya berjalan meninggalkan ruangan.
Naina menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, menghilang dari balik pintu. Kebingungan masih bersarang dalam dirinya, bisa terlihat dari raut wajahnya yang butuh penjelasan.
Ketika kepalanya tertunduk, matanya melotot saat luka-luka yang ia ingat ada di beberapa bagian tubuhnya saat ini hilang sempurna bahkan setitik pun tak membekas di sana. Tapi tetap luka-luka yang ia miliki sebelum sampai di sini masih terukir jelas, pria itu hanya mengobati luka yang diperbuatnya saja.
“Ini karena sihir atau dia memang diberkahi kemampuan untuk mengobati?” Naina bergumam sendiri, semakin membuatnya bertanya-tanya tentang sosok suaminya yang masih penuh dengan misteri.
***
Semenjak itu, Naina tidak lagi bertemu dengan Tuan Minos selama tiga hari. Pria dengan tubuh dan rupa mengerikannya itu tak menunjukkan keberadaannya, dan Naina juga tidak menerima panggilan untuk menghadap padanya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Naina di kastil ini. Semuanya serba terbatas, masih canggung jika ingin melakukan ini atau itu, salah-salah Tuan Minos bisa kembali mengamuk seperti saat itu.
“Apa kau suka dengan kamar ini?”
Naina dengan cepat memindahkan pandangannya dari jendela, menoleh sambil membalik tubuhnya. Menatap burung gagak yang terbang ke arahnya, lalu hinggap di bingkai jendela yang terbuka.
Naina tersenyum tipis, menarik napas sembari mengedarkan pandangan, lalu mengangguk samar. Mengamati ruangan yang setidaknya lebih layak dari sebelumnya. Lebih bersih dan tentunya diisi oleh barang-barang yang dibutuhkan.
Ranjang yang terlalu besar jika ditempati sendirian, membuat Naina lebih leluasa saat merebahkan badan. Satu lemari tua yang sudah diisi dengan beberapa pakaian teronggok di pojok ruangan, dan terakhir diisi nakas tepat di samping ranjang.
Tidak ada lampu, penerangan mengandalkan dari jendela yang terbuka, dan menuju malam dipastikan gulita. Sedikit terang dari rembulan yang menyinari jika tidak tersaput awan.
“Ini lebih dari cukup. Dan untuk pertama kalinya aku punya kamar sendiri.” Naina menahan napas sambil melebarkan senyum jujur, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu.
Naina mungkin tidak tahu bahwa Tora dan Tuan Minos sudah melihat kehidupannya semasa tinggal dengan ibu tiri, dan jelas saat ini Tora tahu apa maksud dibalik perkataan itu. Karena sejak dulu, Naina tidak dibiarkan tidur di tempat yang layak, kadang harus tidur di gudang ataupun berbagi tempat dengan hewan ternak.
“Mungkin ini bukan tempat yang baik untuk bisa memenuhi harapanmu yang ingin menemukan kehidupan lebih baik. Tapi semoga, kau bisa bertahan sedikit lebih lama, setidaknya sampai kau menemukan jawaban kenapa kau bisa sampai pada takdir ini.”
Perkataan Tora barusan tidak bisa dimengerti dengan mudah oleh Naina, gadis dengan surai panjang yang dibiarkan tergerai tersebut hanya angguk-angguk saja. Semua yang terjadi padanya masih diselimuti banyak misteri, dipaksakan untuk mencari jawabannya pun tidak mungkin, sebab yang memiliki segala jawabannya hanya menyuruhnya untuk menunggu waktu.
“Oiya, ada pesan dari Tuan Minos untukmu.” Tora mengganti topik baru, jangan sampai gadis itu terlena ke dalam pikiran yang hanya dipenuhi banyak pertanyaan.
Naina segera mengerjap, wajah bingungnya berubah dipenuhi gurat penasaran saat mendengar nama pria itu disebut. Matanya buru-buru menatap lamat-lamat burung gagak dihadapannya, menunggu sampai dia melanjutkan ucapannya.
“Berhubung kau pernah berkata bisa memasak, Tuan Minos ingin menyicipi makananmu. Lagi pula, sepertinya kau tidak terlalu suka dengan makanan di sini bukan?” Tora terkekeh mengingat kemarin ini Naina muntah-muntah setelah memakan makanan yang disuguhkan.
Bagaimana tidak muntah, apa yang terhidang mirip seperti bangkai. Dan tidak mungkin ada manusia yang bisa memakannya. Daging mentah yang bau busuk, entah daging apa yang dipakai, sampai sekarang pun Naina bergidik merinding jika mengingat bagaimana makanan itu berusaha mati-matian dirinya telan.
“Kalau begitu, di mana aku bisa mendapatkan bahan-bahan makanannya?” Seingat apa yang tertanam dalam ingatan, Naina tidak melihat ada persediaan makanan dalam kastil ini.
“Aku akan menunjukkannya padamu nanti. Dan juga sebenarnya aku ingin mengajakmu ke suatu ruangan. Ngomong-ngomong, bukankah aku belum mengajakmu berkeliling? Kalau kau bosan, aku bisa mengajakmu mengitari seluruh penjuru kastil ini,” papar Tora rasa antusiasnya terdengar jelas dari barisan kata yang terlontar.
Naina diam sebentar, matanya menyipit, menatap ragu gagak di depannya. Tora yang peka apa yang dirasakan gadis itu, buru-buru langsung memberi penjelasan kembali.
“Tenang, kali ini aku sudah mendapat izin dari Tuan Minos. Dan dari seluruh ruangan yang ada di kastil ini, hanya kamar itu dan ruangan pribadi Tuan Minos saja yang tidak bisa sembarang kau masuki. Selebihnya, kau boleh tahu dan melihat-lihat. Jika kau ingin, aku bisa mengajakmu sekarang, sebelum langit menggelap dan kau akan ketakutan jika diajak berkeliling nanti,” terang Tora panjang lebar.
“Bagaimana?” Tora masih menunggu jawaban, gadis itu nampaknya masih ragu-ragu dan sorot matanya bercampur ketakutan.
***