Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Keesokan harinya, Dasha melangkah masuk ke kantor dengan perasaan campur aduk. Ia sudah memberi tahu Karin tentang penugasan barunya, dan reaksi teman-temannya di divisi lamanya tidak jauh dari rasa iri dan kagum.
"Beruntung banget kamu, Dash. Bisa kerja langsung di bawah CEO. Itu seperti tiket emas buat karir kamu" komentar Karin saat mereka berbicara di pantry.
Dasha hanya mengangguk meskipun ia sendiri tidak yakin apakah ini benar-benar keberuntungan. Beban bekerja langsung di bawah Gavin terasa berat. Ia tidak hanya harus menghadapi ekspektasi tinggi, tetapi juga pandangan tajam rekan-rekannya yang mulai menyadari perhatian Gavin padanya.
Hari pertama di tim khusus Gavin dimulai dengan pertemuan kecil. Ruangan itu dipenuhi oleh anggota tim senior yang terlihat kompeten dan berpengalaman. Dasha merasa dirinya tidak sebanding, hanya karyawan biasa yang tiba-tiba terlempar ke dalam lingkaran elite ini.
"Selamat pagi," Gavin membuka pertemuan dengan nada tenang, tetapi auranya memancarkan otoritas. "Tim ini dibentuk untuk mengembangkan strategi ekspansi besar-besaran. Saya ingin semua ide kreatif dan solusi inovatif datang dari kalian. Tidak ada hierarki di sini semua suara sama pentingnya."
Kemudian tatapan Gavin beralih ke Dasha. "Dan saya ingin mengenalkan anggota baru kita, Dasha. Saya yakin kontribusinya akan membawa perspektif segar bagi tim."
Seluruh mata langsung tertuju padanya. Beberapa terlihat ramah, tapi tidak sedikit yang tampak skeptis. Dasha mencoba tersenyum dan memberikan sapaan singkat, meskipun tangannya terasa dingin.
Setelah pertemuan berakhir, Gavin memanggil Dasha untuk berbicara empat mata.
"Bagaimana menurutmu pertemuan tadi?" tanyanya sambil melipat tangan di atas meja.
Dasha ragu-ragu sebelum menjawab. "Sejujurnya, saya merasa sedikit terintimidasi. Semua orang di sini terlihat sangat berpengalaman."
Gavin mengangguk, seolah sudah menduga jawaban itu. "Itu wajar. Tapi alasan saya memasukkanmu ke tim ini adalah karena saya melihat sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Jangan ragu untuk berbicara, bahkan jika idemu tampak sederhana. Kadang kesederhanaan adalah kunci."
Kata-kata itu memberikan sedikit kelegaan bagi Dasha. Ia mulai merasa bahwa Gavin benar-benar menginginkannya sukses, bukan hanya sebagai formalitas.
Namun, tantangan nyata datang saat Dasha mulai ikut dalam diskusi proyek. Beberapa anggota senior mengabaikan ide-idenya, bahkan ada yang secara terang-terangan mengkritik.
"Maaf, tapi usulan itu terlalu naif," ujar salah satu anggota Aditya saat Dasha mencoba memberikan saran tentang pendekatan pemasaran baru.
Dasha hanya terdiam, merasa malu. Namun, sebelum ia bisa merespons, Gavin memotong. "Saya tidak setuju Aditya. Justru ide seperti itu yang kita butuhkan pemikiran yang tidak terjebak dalam pola lama Dasha lanjutkan."
Dasha melanjutkan dengan hati-hati, dan kali ini Gavin mendengarkan dengan serius. Setelah pertemuan selesai, ia mendekati Dasha dan berkata, "Jangan biarkan komentar seperti tadi menjatuhkanmu. Mereka akan belajar menghargai kontribusimu dengan waktu."
Hari-hari berikutnya menjadi semakin menantang, tetapi Dasha mulai menemukan ritmenya. Ia bekerja keras, belajar dari rekan-rekannya, dan memastikan setiap tugas yang diberikan Gavin diselesaikan dengan sempurna.
Namun, di balik semua tekanan kerja, ada momen-momen kecil yang membuat Dasha semakin mengenal sisi lain Gavin. Seperti ketika ia secara tak sengaja melihat Gavin duduk di balkon kantor, menatap kota dengan ekspresi yang jauh lebih manusiawi dibandingkan biasanya.
"Kenapa sendirian di sini?" tanya Dasha saat memberanikan diri mendekatinya.
Gavin menoleh, tampak sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum tipis. "Kadang di tengah semua kekacauan, saya butuh waktu untuk berpikir. Dunia ini terlalu sibuk, kan?"
Dasha hanya mengangguk merasa aneh melihat sisi rapuh dari pria yang selama ini terlihat begitu tegar dan berwibawa.
Percakapan itu menjadi awal dari hubungan yang lebih personal antara mereka. Meski tetap profesional di depan semua orang, Gavin mulai menunjukkan perhatian lebih pada Dasha. Dan meskipun Dasha mencoba mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh, ia tidak bisa menyangkal bahwa setiap tatapan atau pujian darinya membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Namun, perhatian Gavin pada Dasha tidak luput dari pengamatan orang lain. Bisikan mulai menyebar, dan Dasha sadar bahwa tidak semua orang di kantor senang dengan keberadaannya di tim tersebut.
Di balik senyuman ramah, ada beberapa yang mulai merencanakan sesuatu untuk menjatuhkannya. Dan Dasha tanpa ia sadari, sudah berada di tengah pusaran konflik yang lebih besar dari sekadar hujan malam itu.
.
.
.
.
.
Suasana kantor pagi itu terasa lebih santai dari biasanya. Tidak ada rapat besar atau deadline mendesak, tetapi perhatian semua orang tertuju pada sesuatu yang tidak biasa.
Seorang bocah laki-laki kecil berusia sekitar tiga tahun terlihat menggandeng tangan Gavin, CEO mereka yang biasanya serius dan tegas. Bocah itu mengenakan kemeja kecil yang rapi dengan dasi kupu-kupu, terlihat lucu dan menggemaskan.
"Siapa itu? Anak Pak Gavin?" bisik Karin pada Dasha, yang juga ikut menatap.
"Sepertinya iya" jawab Dasha pelan, tak bisa menahan senyum melihat ekspresi Gavin yang terlihat lebih santai daripada biasanya.
Gavin berhenti di tengah ruangan dan berbicara dengan nada tenang. "Ini Nathan, anak saya. Dia akan ikut di kantor hari ini karena pengasuhnya sedang sakit."
Semua orang langsung tersenyum, beberapa mencoba menghibur Nathan, tapi bocah itu tampak malu-malu dan bersembunyi di balik kaki ayahnya.
Ketika Gavin masuk ke ruangannya bersama Nathan, kantor mulai kembali sibuk. Namun, tidak lama kemudian, Gavin memanggil Dasha ke ruangannya.
"Dasha saya butuh bantuanmu" katanya ketika Dasha masuk.
"Bantuan apa Pak?" Dasha bertanya sambil melirik Nathan yang duduk di sofa kecil memegang mainan tetapi terlihat bosan.
"Nathan sedikit rewel. Saya ada rapat penting sekarang, jadi bisakah kamu mengawasinya untuk sementara? Dia biasanya cepat akrab dengan orang baru" kata Gavin dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Dasha terkejut, tapi ia mengangguk. "Tentu saja Pak Saya akan menjaga Nathan."
Nathan awalnya hanya menatap Dasha dengan penasaran, tapi setelah beberapa menit, bocah itu mulai melunak. Dasha mengeluarkan mainan kecil dari mejanya sebuah miniatur mobil yang kebetulan ia simpan sebagai dekorasi dan itu langsung menarik perhatian Nathan.
"Wow, mobil!" seru Nathan dengan mata berbinar.
"Kamu suka mobil?" tanya Dasha sambil tersenyum.
Nathan mengangguk antusias. "Aku punya banyak di rumah! Tapi yang ini keren banget!"
Dalam waktu singkat, Nathan dan Dasha sudah terlihat seperti teman lama. Mereka bermain bersama di sudut ruangan dan suara tawa Nathan yang ceria mengisi kantor.
Ketika Gavin selesai dari rapatnya, ia kembali ke ruangan dan menemukan Nathan duduk di pangkuan Dasha, sibuk mewarnai di buku yang entah dari mana Dasha temukan.
"Sudah akrab rupanya," kata Gavin sambil tersenyum tipis.
Nathan menoleh dan langsung berseru, "Ayah! Kak Dasha baik banget! Dia kasih aku mobil, terus ngajarin aku gambar mobil juga!"
Gavin menatap Dasha, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut dari biasanya. "Terima kasih Dasha sepertinya Nathan benar-benar suka padamu."
"Tidak masalah Pak Nathan anak yang menyenangkan," jawab Dasha, merasa hangat melihat bocah itu begitu ceria.
Sejak hari itu Nathan sering menjadi topik obrolan antara Dasha dan Gavin. Bahkan, beberapa kali Nathan meminta ayahnya untuk mengajak Dasha bermain di rumah mereka.
"Dia terus bertanya kapan kamu akan datang," kata Gavin suatu hari saat mereka sedang bekerja.
Dasha hanya tertawa kecil, merasa aneh tapi juga senang mendengar itu. Tanpa ia sadari, Nathan telah menjadi jembatan kecil yang mendekatkan dirinya dengan Gavin bukan hanya sebagai atasan, tetapi sebagai seorang ayah yang penyayang.
Hari itu menjadi awal baru dari hubungan mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar profesional.
.
.
.
Maaf ya kalau cara ngomong nya anak usia 3 tahun engga cadel, jujur aku sendiri juga bingung gimana bahasa cadel jadi aku bikin normal aja yaa.
Makasih