"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan
Setelah mendengar instruksi dari Tomi, semua anggota tim satu segera beranjak pergi. Mereka akan mendatangi semua keluarga yang kehilangan anggota keluarga secara berpasangan. Tujuan mereka datang adalah untuk mendapatkan sample DNA yang akan dibandingkan dengan DNA tulang yang ditemukan.
Tristan ditugaskan bersama dengan Aditya. Kedua pria itu berjalan menuju mobil Aditya yang berada di pelataran parkir. Aditya merangkul bahu pria yang digadang-gadang Mamanya menjadi calon adik iparnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan rekan satu timnya tidak ada yang mendengar perkataannya.
"Kita ke Jakarta sekarang," bisik Aditya di telinga Tristan.
Sontak saja pria itu terkejut. Pria itu memandangi rekannya yang berjalan di sebelahnya dengan pikiran penuh tanda tanya. Aditya tidak menanggapi Tristan, pria itu mengajak rekannya itu segera masuk ke dalam mobil.
"Kita ngapain ke Jakarta?" tanya Tristan begitu berada di dalam mobil. Dia tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
"Aku curiga tulang yang kita temukan berkaitan dengan kasus yang kita tangani dan aku masih curiga pada Gading. Jadi aku minta Sean selidiki soal orang-orang yang berkaitan dengan Gading. Sebenarnya bukan Gading aja, tapi juga Dawan, Remi dan Ivan. And guess what? Dari semuanya, hanya Gading yang cocok dengan kasus ini. Ayah angkatnya Gading berusia 64 tahun dan sudah satu setengah tahun hilang."
Mata Tristan membulat mendengarnya. Dibalik keterkejutannya tentu saja terselip perasaan senang sekaligus lega. Itu artinya pekerjaan mereka bisa terpangkas dengan cepat jika benar korban yang ditemukan adalah ayah angkat Gading.
"Ayo kita berangkat ke Jakarta. Eh tapi tugas yang dikasih Pak Tomi gimana?"
"Masih ada waktu buat kita datangi mereka sepulang dari Jakarta. Yang penting kita datangi dulu keluarga angkat Gading."
"Sip."
Aditya segera menyalakan mesin mobilnya. Perlahan kendaraan roda empat itu bergerak maju. Mata Aditya melihat ke kaca spion tengah. Nampak Aang sudah duduk anteng di jok belakang. Aditya menambah kecepatan mobilnya. Mumpung hari masih pagi, dia harus segera tiba di Jakarta, hingga bisa melakukan tugas dari Tomi juga.
***
Pukul setengah sebelas siang, mobil yang dikendarai Aditya sudah sampai di Jakarta. Pria itu langsung menuju kediaman keluarga angkat Gading yang berada di daerah Pasar Rebo. Mengikuti petunjuk yang diberikan Sean, Aditya akhirnya tiba juga di kediaman Helmi. Rumah tersebut berukuran besar namun ada beberapa bagian yang sudah tidak terawat lagi. Aditya dan Tristan segera keluar dari mobil. Aditya memijit bel yang ada di dekat pintu pagar.
Seorang wanita paruh baya berjalan tergopoh untuk membukakan pintu. Wanita itu terdiam memandangi dua pria muda di depannya. Aditya mengeluarkan tanda pengenalnya lalu memberikannya pada wanita tersebut.
"Apa kami bisa bertemu dengan Ibu Wida atau Bapak Dygta?"
"Silakan masuk."
Aditya dan Tristan segera mengikuti wanita paruh baya tersebut. Dia mempersilakan keduanya menunggu di ruang tamu. Tristan memandangi sekeliling lalu pandangannya tertuju pada foto keluarga berukuran besar yang terpajang di dinding. Di sana ada Helmi, Wida dan Dygta. Mereka memang hanya memiliki satu anak saja. Alasan mereka mengadopsi Gading waktu itu agar anak tunggalnya memiliki teman. Namun nyatanya Gading justru mendapatkan perlakuan buruk selama diadopsi oleh mereka.
Seorang wanita dan pria berumur tiga puluhan datang menghampiri. Aditya dan Tristan segera berdiri dan memperkenalkan diri. Wida mempersilakan kedua tamunya untuk kembali duduk. Dygta terus memandangi Aditya dan Tristan bergantian.
"Saya dengar kalian berdua adalah petugas polisi," ujar Wida membuka pembicaraan.
"Iya, Bu. Kami berasal dari kantor Polrestabes Bandung."
"Ada apa kalian mengunjungi kami?" tanya Dygta.
"Saya dengar kalau Pak Helmi hilang sejak satu setengah tahun lalu."
Wajah Wida nampak terkejut. Dia tidak menyangka kedua polisi muda yang bukan berasal dari kotanya datang membahas tentang suaminya yang hilang tanpa kabar. Wanita itu sudah melapor ke polisi, bahkan sampai membayar detektif swasta untuk mencari keberadaan suaminya, namun jejaknya tidak ditemukan sampai sekarang.
"Apa kalian membawa kabar soal suami saya?" tanya Wida bersemangat.
"Kami juga belum tahu pasti. Sebenarnya kami menemukan tulang belulang dan tengkorak di lokasi pembangunan proyek hotel. Dipastikan identitasnya adalah pria berusia 60 sampai 65 tahun. Diperkirakan korban meninggal sekitar satu setengah tahun yang lalu."
Wida memegang tangan anaknya dengan erat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Kalau benar itu adalah tulang milik suaminya, maka dunianya benar-benar hancur. Selama ini dia tetap menjaga harapan kalau suaminya masih hidup. Begitu juga dengan anak tunggalnya.
"Kapan Pak Helmi pergi dari rumah?"
"Sekitar satu tahun setengah. Ya aku ingat betul, dua hari yang lalu, tepat satu setengah tahun dirinya pergi," jawab Wida sambil berurai airmata.
"Apa yang menyebabkannya pergi dari rumah?" tanya Tristan.
"Tidak ada masalah dengan kami. Dia pergi karena klien yang hendak berinvestasi ingin bertemu langsung dengannya. Waktu Dygta menawarkan dirinya yang pergi, klien itu menolak dan tetap ingin suamiku yang bertemu dengannya. Akhirnya Mas Helmi memutuskan pergi karena perusahaan sedang membutuhkan modal. Selesai meeting, suamiku tidak pernah kembali ke rumah."
"Di mana dia melakukan meeting. Siapa klien yang bekerja sama dengan kalian?"
"Meeting dilakukan di salah satu hotel di Pantai Indah Kapuk. Setelahnya Mas Helmi bersama kliennya berjalan-jalan ke Pulau Seribu. Mereka berpisah di sana. Klien Mas Helmi kembali ke Jakarta karena ada urusan penting, sementara Mas Helmi menginap di sana. Tapi Mas Helmi tidak pernah kembali ke rumah sampai sekarang. Dygta, polisi bahkan detektif swasta yang kami sewa tidak bisa menemukannya. Jejaknya seperti hilang ditelan bumi. Sampai sekarang Mas Helmi tidak pernah kembali."
Tangis Wida kembali pecah. Pria yang masih dicintainya dan sudah menemaninya selama empat puluh tahun, pergi begitu saja tanpa kabar. Meninggalkan dirinya dan anak semata wayangnya. Dygta memeluk sang Mama yang selalu saja menangis ketika mengingat ayahnya yang tak kunjung kembali.
"Sebenarnya kami juga belum yakin apakah potongan tulang yang ditemukan adalah potongan tulang Pak Helmi. Kami hanya berkesimpulan berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari dokter forensik. Kalau Pak Dygta tidak keberatan, kami ingin mengambil sample air liur Pak Dygta untuk kami bandingkan dengan DNA korban."
"Silakan saja. Bagaimana saya harus melakukannya?"
"Apa Bapak ada makan atau minum sesuatu selama tiga puluh menit terakhir?"
"Terakhir saya makan dan minum pukul sembilan lebih dua puluh menit."
Tristan melihat jam di pergelangan tangannya. Berarti sudah lewat satu jam dari makan dan minum terakhir yang dikonsumsi oleh Dygta. Pria itu mengeluarkan tabung kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dia meminta Dygta meludah ke tabung tersebut. Aditya menuliskan nama Dygta di stiker label nama. Usai meludah, Dygta menutup tabung lalu memberikannya pada Tristan. Aditya memasang stiker dengan nama Dygta lalu memasukkannya ke dalam plastik ziplock.
"Terima kasih atas kerjasamanya. Kalau begitu kami permisi."
Dygta berdiri kemudian mengantarkan kedua polisi itu sampai ke teras. Sebelum keduanya pergi, Dygta menyampaikan informasi yang sengaja disembunyikannya sejak lama dari sang Mama.
"Saat di Pulau Seribu, Papa menyewa seorang wanita bayaran untuk menemaninya. Papa menghabiskan malam dengannya. Aku yakin perempuan itu tahu kemana Papaku pergi, tapi dia tidak mengatakan apapun dan ketika aku mencarinya lagi, dia sudah menghilang. Apa kalian bisa menemukan perempuan itu? Siapa tahu ada informasi yang bisa kalian dapatkan darinya."
"Apa kamu punya fotonya?"
"Sebentar."
Dygta mengeluarkan ponselnya. Dia mencari foto wanita yang pernah menjadi selimut hidup Papanya selama berada di Pulau Seribu. Pria itu memperlihatkan foto seorang wanita yang berusia dua puluh akhir. Aditya meminta Dygta mengirimkan foto tersebut ke nomornya.
"Siapa namanya?"
"Ranira. Tapi aku tidak tahu apa itu nama sebenarnya atau bukan."
"Baiklah, kami akan menyelidikinya."
Aditya dan Tristan bergegas menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Keduanya harus segera kembali ke Bandung. Aditya mengirimkan foto yang didapatnya dari Dygta pada Sean. Usai mengirimkan foto, Aditya menghubungi Sean.
"Assalamualaikum. Apalagi sih?" terdengar suara Sean dari seberang.
"Waalaikumussalam. Tolong cari tahu soal perempuan itu."
"Ck.. benar-benar menyusahkan. Baiklah."
Tanpa mengatakan apapun lagi, Sean langsung mengakhiri panggilannya. Walau Sean terus mengeluh ketika Aditya memberinya tugas, namun pria itu tetap melakukan apa yang diminta oleh sepupu dari Arsyad tersebut. Aditya melihat ke belakang setelah panggilannya berakhir.
"Aang.. apa kamu bisa cari tahu soal Helmi? Dia terakhir terlihat di Pulau Seribu."
"Bisa."
"Apa kamu tahu di mana Pulau Seribu?"
"Tentu saja," sewot Aang yang hanya dibalas kekehan saja oleh Aditya.
"Baiklah. Aku tunggu kabar darimu secepatnya."
Kepala Aang mengangguk. Sedetik kemudian jin bocil itu sudah menghilang. Aditya segera menyalakan mesin mobil lalu menjalankan kendaraannya.
***
Pukul lima sore, Aditya dan Tristan baru kembali ke kantor. Sepulang dari Jakarta, mereka langsung mendatangi keluarga korban hilang dan mengambil sample DNA mereka. Lalu keduanya segera menuju Rumah Sakit Ibnu Sina untuk memberikan sample tersebut, termasuk milik Dygta. Kedatangan mereka ke kantor langsung mendapat teguran dari Tomi.
"Kemana saja kalian? Kenapa baru sampai?"
"Maaf Pak, sebenarnya kami pergi ke Jakarta dulu. Kami bertemu dengan keluarga Helmi dan mengambil sample DNA-nya."
"Siapa Helmi?"
Dengan cepat Aditya menceritakan tentang Helmi. Kecurigaannya pada Gading yang membuat pria itu akhirnya menyelidiki semua tentang Gading. Dia berinisiatif mendatangi keluarga Helmi saat tahu kalau pria itu sudah menghilang satu setengah tahun yang lalu.
"Kenapa kamu tidak mengatakan pada saya dan yang lain? Apa kamu tidak tahu apa arti kerja sama tim?"
"Maaf, Pak. Sebenarnya ini baru kecurigaan saya dan Tristan saja. Kami baru akan memberitahukan jika sudah ada bukti yang jelas."
"Baiklah. Untuk saat ini, kalian saya maafkan. Tapi saya tidak mau hal sama terulang lagi."
"Baik, Pak."
Semua sample DNA yang diambil dari keluarga korban yang kehilangan anggota keluarganya sudah didapat dan diserahkan ke tim forensik. Sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasilnya saja. Tomi mempersilakan anggota timnya untuk pulang. Ketika hendak menuju mobilnya, ponsel Aditya berdering. Wajah pria itu menyunggingkan senyuman melihat sang pemanggil adalah Sean.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Soal cewek yang kamu kasih tahu, semua tentangnya udah gue kirim via e-mail."
"Oke thanks."
"Untuk seminggu ke depan gue ngga terima orderan."
Belum sempat Aditya menjawab, Sean sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya.
"Dasar kampret!"
***
Terima kasih buat semua yang ngga nabung bab. Love you all😘