“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Sembilan
“Daddy ....”
Juna langsung berlari mendekati Raka yang sedang bersama Heru di ruangan meeting. Entah apa yang mereka bicarakan berdua di ruangan meeting, Arini tidak mau mengetahuinya. Arini memang mengantarkan Juna ke kantor Raka, karena Raka sudah selesai urusannya hari ini, jadi banyak waktu luang setelahnya.
“Hai, Boy? Gimana hari ini? Apa menyenangkan?” tanya Raka dengan mengangkat tubuh Juna lalu memangkunya.
“Senang dong, kan sama Mommy?” jawabnya.
“Jadi kalau sama Daddy gak senang nih?” ucap Raka.
“Senang juga dong?”
“Eh ada Om Heru, salim dulu sama Om Heru,” perintah Raka.
Arini masuk ke dalam tanpa ragu, meski ada Heru di sana. Dia duduk di samping Raka, melihat Juna salim dengan Heru.
“Tadi Juna manggil Tante Arini apa?” tanya Heru.
“Mommy, kan Tante Arini mau jadi Mommy aku?” jawabnya.
“Oh begitu?”
“Iya, Om.”
Heru tidak menyangka, ternyata secepat itu mereka melangkah. Padahal mereka terlihat seperti tidak ada hubungan apa-apa, akan tetapi tiba-tiba setelah perceraian, Heru mengamati mereka semakin dekat.
“Oh iya, Her. Tadi aku lihat Papa kamu, sama Nuri di kedai es krim. Sudah akrab sekali ya mereka?” ucap Arini.
“Papa sama Nuri? Bukannya papa hari ini ada urusan ke luar kota? Tadi pagi dia gugup mau urus kerjaan di luar kota?” ucap Heru bingung.
“Ya mana ku tahu? Tanya saja Juna, tadi kita bertemu di sana. Kata papa kamu, sama mamamu juga kok, tapi mama lagi beliin baju ganti buat Nuri, karena semalam kalian menginap, dan Nuri gak bawa ganti,” jelas Arini.
Biar saja Arini bilang apa adanya pada Heru, kalau dia bertemu dengan papanya bersama Nuri. Arini yakin sih mereka hanya berdua, dan Arini yakin mereka punya rahasia berdua. Apalagi tidak sengaja Arini melihat dengan mata kepala sendiri kalau Papanya Heru mencium tangan Nuri dan mengelus perut Nuri yang sudah terlihat membuncit. Tapi, Arini tak mau mengatakan itu, karena tidak ada bukti. Kalau saja tadi dia memotret mereka, mungkin bisa saja Arini bilang pada Heru kejadian yang seperti itu, karena ada bukti yang jelas.
“Mama itu ada arisan hari ini, kalau arisan pasti pulangnya setelah makan siang, atau malah menjelang sore? Masa malah pergi sama Papa dan Nuri?” ucap Heru.
“Ya mungkin mama kamu tidak ikut kumpul kali? Yang penting sudah setor arisannya saja. Kan ada calon menantu kesayangan menginap?” ucap Arini.
“Ya, mungkin begitu,” jawab Heru, akan tetapi hatinya ragu. Pikirannya masih berperang sendiri, mana mungkin papa dan mamanya pergi dengan Nuri?
“Kalian makin dekat saja sepertinya?” tanya Heru.
“Ya kami dekat, kami mungkin akan menikah nanti. Entah kapan, tapi kami sudah ada rencana,” ucap Raka.
“Benarkah? Benar, Rin?” tanya Heru.
“Ya begitu, tapi nanti. Tunggu saja undangannya,” jawab Arini santai.
“Oh iya, ini undangan pernikahanku dengan Nuri. Kalian datang, ya?” Heru memberikan undangan pada mereka.
Arini menerima dan membacanya. Sepintas bayangan dulu menyapa saat akan merencanakan pernikahannya dengan Heru dulu. Bayangan itu kembali muncul menyapa memori Arini yang sudah ia kubur dalam-dalam. Rasa sakit masih Arini rasakan, kenapa pernikahannya bisa hancur karena orang ketiga? Kenapa Heru tak bisa setia padanya? Hanya karena ingin memiliki anak saja?
Ingin rasanya Arini menangis, tapi tidak! Tidak mau Arini dicap seperti belum bisa melepaskan Heru, padahal kenyataannya memang begitu, masih ada rasa sakit, masih ada rasa yang tertinggal di hatinya untuk Heru. Tidak mudah melupakan semua kenangan indah dengan Heru dulu, meski Heru adalah laki-laki kedua di hatinya setelah dulu dia mencintai Raka. Cinta yang bertepuk sebelah tangan pada Raka.
“Selamat ya, Her. Kalau ada waktu aku pasti datang,” jawab Arini.
“Aku pasti datang, aku akan datang dengan Arini nantinya, karena dia adalah calon istriku,” ucap Raka.
Heru hanya mengangguk. Ia pandangi wajah Arini yang masih lekat menatap undangan miliknya, dan tidak ada respon apa pun saat Raka bilang dia adalah calon istrinya. Ada tatapan sendu di mata Arini saat melihat undagan itu. Heru tidak tahu, kenapa perasaannya sesakit ini melihat Arini yang diam seperti itu. Heru melepaskan Arini karena Nuri, akan tetapi hatinya masih ada yang tertinggal untuk Arini. Dia melepaskan Arini, karena dia tidak mau Arini terus tersakiti olehnya.
“Maafkan aku Arini,” batin Heru perih.
Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Raka pun tahu, sebetulnya Arini masih sangat mencintai Heru. Tidak mudah bagi Arini melupakan Heru yang sudah lama mendampingi hidupnya, meskipun dulu Arini pernah mencintainya.
“Ah ya sudah, aku pamit, ya? Jadi seperti itu saja ya, Ka? Makasih ya masih diberikan kesempatan untuk bergabung di perusahaan kamu. Aku masih bisa membuktikan pada papaku,” ucap Heru pada Raka.
“Ya, karena kerjamu benar, cara kerjamu bagus, teliti, jadi aku masih memakai tenaga kerjamu. Tapi, sekali kamu merusak kepercayaanku, aku tidak segan-segan memecatmu secara tidak hormat!” ucap Raka.
Heru keluar dari ruangan, Raka langsung merebahkan tubuh Juna yang tadi ketidura di pangkuannya. Sedangkan Arini masih terpaku menatap surat undangan pernikahan Heru dan Nuri.
Raka mendekati Arini, lalu duduk di sebelahnya. Ia meraih tangan Arini lalu menggenggamnya, dan mencium tangannya.
“Aku tahu perasaanmu, Rin,” ucap Raka.
“Gak tahu, kenapa gini rasanya sih, Ka? Padahal aku ini sudah ikhlas melepaskannya? Aku sudah melakukan semuanya supaya rasa ini hilang, tapi aku belum bisa, Ka? Maafkan aku,” ucap Arini.
Raka meraih tubuh Arini, lalu membawanya ke dalam pelukannya. “Sudah gak usah minta maaf, aku tahu bagaimana perasaan kamu saat ini. Perlahan kamu pasti bisa, aku siap menunggu hatimu terbuka hanya untukku, Rin. Kamu tidak perlu meminta maaf padaku, karena rasa memang tidak bisa dibohongi,” tutur Raka.
“Melupakan orang yang pernah singgah di hati kita begitu lama itu tidak mudah, Rin. Meskipun orang itu sudah melukai hati kita begitu dalam, aku paham itu. Jadi kamu gak usah minta maaf, aku yakin suatu hari nanti kamu bisa melupakannya, perlahan kamu pasti bisa, Rin,” ucap Raka.
Meski Arini sudah mau menerimanya, mau menikah dengannya, akan tetapi hatinya tidak bisa bohong. Hatinya belum siap menerima laki-laki lain untuk menetap menggantikan Heru.
“Benar kata kamu, Ka. Meski Heru melakukaiku dengan seperti itu, perasaanku ini tidak bisa bohong, masih ada rasa yang tertinggal untuknya. Itu kenapa kamu masih bisa menerima Asti yang juga sudah menyakiti hatimu, karena tidak mungkin kamu melupakan begitu saja kenangan yang sudah kamu ukir dengan Asti. Karena cinta, yang bisa menjadi penawar luka, meski orang yang kita cintai melukai kita sedalam itu,” ucap Arini.
“Kita sama-sama terluka karena orang ketiga, Rin. Aku harap kamu bisa move on dari semua ini, meski sulit. Sama sepertiku dulu. Untung ada Juna yang menjadi penghibur laraku, meski dia bukan anak kandungku, dia adalah anak dari laki-laki yang sudah membuat hidupku hancur, tapi aku tak tega melukai Juna, karena aku mencintainya, aku sangat menyayanginya,” ucap Raka.
Sedangkan Heru, dia dari tadi berperang dengan pikirannya sendiri, karena cerita dari Arini, yang bilang kalau papanya pergi dengan Nuri. Sedang jelas-jelas tadi mamanya telefon dan bilang pulang terlambat, karena masih ada urusan dengan teman-temannya.
“Mereka pergi berdua saja? Kok bisa-bisanya? Papa saja gak pernah ajak Arini pergi berdua selama Arini menjadi menantunya, meski Arini sangat dekat dengan papa dibandingkan dengan mama? Mereka mau apa ke kedai es krim berdua? Apa Nuri sedang ngidam es krim, jadi papa mengantarnya, karena sangat bahagia Nuri hamil, dan akan memberikannya cucu?” batin Heru.
si Nuri ini menjijikkan banget. sana sini mau....
mudah mudahan kena penyakit mematikan....