DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Apa calon istrinya?" tanya mereka dengan heran.
"Iya, kenapa? Aku harap kalian tidak menggangguku lagi. Sekarang menjauhlah!" ucap Bella lalu duduk kembali di bangkunya.
Setelah pulang kuliah.
Bella berjalan keluar dari gerbang kampus dengan langkah cepat. Hari ini cukup melelahkan, tapi setidaknya ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lega yaitu tidak ada yang mengganggunya lagi. Teman-temannya yang biasanya suka mengejek atau menatap sinis, mendadak diam dan menjauh.
Saat ia menengok ke pinggir jalan, matanya langsung menangkap kilauan mobil mewah hitam yang terparkir rapi di sana. Mobil yang sama seperti yang membawanya tadi pagi. Tanpa pikir panjang, ia bergegas menghampiri dan membuka pintu belakang.
Louis duduk di dalam, wajahnya seperti biasa yaitu dingin. Pria itu hanya menatap lurus ke depan, tanpa sepatah kata pun. Namun, begitu Bella masuk, ia mengulurkan tangannya tanpa melihat.
Bella tanpa ragu langsung memeluknya erat. "Louis, terima kasih," bisiknya.
"Untuk apa?" tanya Louis.
"Teman-temanku, mereka sekarang takut padaku. Mereka tidak akan berani lagi membully-ku dan itu semua karenamu," kata Bella.
"Mereka hanya anak-anak pengecut. Tak perlu berterima kasih," jawab Louis.
Bella tertawa kecil.
"Buat aku, itu penting. Aku tidak pernah punya keberanian untuk melawan mereka, tapi kamu entah bagaimana, kamu membuat semuanya berubah."
Louis tidak menjawab, hanya kembali menatap keluar jendela, seolah memikirkan hal lain.
"Kenapa kamu melakukan ini untukku?" tanya Bella.
"Karena aku akan melindungimu dari apapun yang membahayakanmu," kata Louis membuat Bella terdiam.
Mereka duduk dalam diam lagi, tapi kali ini bukan canggung. Bella merasa nyaman di samping Louis, meski pria itu jarang berbicara dan selalu tampak misterius. Mobil itu mulai melaju perlahan, membawa mereka menjauh dari kampus.
"Besok aku jemput lagi," ujar Louis.
Bella tersenyum kecil. "Aku akan menunggumu."
Mobil berhenti di depan rumah besar dengan halaman yang rapi. Bella dan Louis turun dari mobil, langkah mereka terhenti ketika melihat dua sosok yang sudah menunggu di teras. Gabriel berdiri di samping seorang wanita berparas anggun tapi tatapannya tajam yaitu Giselle.
Tatapan Giselle segera tertuju pada Louis, wajahnya dingin dan tidak bersahabat. Tapi yang membuat jantung Bella berdegup lebih cepat adalah ketika mata Giselle beralih padanya. Tatapan wanita itu menajam seolah menatap Bella dengan penuh amarah. Gabriel ada sedikit senyum yang bermain di sudut bibirnya.
"Louis, Kamu benar-benar gila, ya? Mau menikahi mantan pacar anakmu sendiri. Aku bahkan tidak tahu harus tertawa atau marah," kata Giselle.
Bella langsung merasa tegang, seluruh tubuhnya menegang mendengar kata-kata Giselle yang tajam. Louis, seperti biasa, tetap tenang. Dia hanya berdiri dengan sikap angkuh yang khas, seolah-olah serangan Giselle tidak sedikit pun mengusiknya.
"Apa masalahnya? Gabriel sudah tidak punya urusan lagi dengan Bella," kata Louis.
"Kamu benar-benar kehilangan akal sehat. Apa kamu tidak punya pilihan lain? Menikahi mantan pacar anakmu sendiri? Ini aneh."
Tatapannya beralih lagi ke Bella, kali ini lebih menusuk. "Dan kamu, Bella, apa yang kamu pikirkan? Mau menikahi pria yang pernah jadi suami ibunya mantan pacarmu? Ini lelucon!"
Bella menggigit bibirnya, merasa terpojok. Tetapi sebelum dia sempat menjawab, Louis melangkah ke depan, berdiri sedikit di antara Bella dan Giselle.
"Cukup, Giselle. Hidupku bukan urusanmu lagi, dan pilihan Bella juga bukan urusanmu. Jangan ikut campur!" kata Louis.
"Lucu sekali. Kamu pikir semuanya bisa sesederhana itu?" tanya Giselle.
"Mama, mungkin sebaiknya kita pulang," kata Gabriel.
"Kamu benar, Gabriel. Kita pulang saja dari pada mengurusi dua orang tidak tahu malu ini," ucap Giselle dengan sinis.
Bella menyahut. "Maaf, Tante. Yang mulai duluan adalah anakmu! Dia berkhianat setelah memberikan janji-janji manis kepadaku, bahkan dia juga melakukan kekerasan padaku dan membuat wajahku lebam seperti ini."
"Heh! Gadis tak tahu diri, anakku pantas berselingkuh dan mendapatkan gadis yang lebih darimu. Aku sudah mendengar pacar Gabriel sekarang jauh lebih cantik serta kaya darimu," ucap Giselle.
Setelah itu mereka pergi meninggalkan Bella yang sakit hati, Bella menunduk, ternyata orang miskin akan serba salah di mata orang-orang kaya seperti mereka.
Louis tetap diam sampai mereka benar-benar pergi, kemudian ia menoleh ke Bella.
"Jangan pedulikan mereka," katanya pelan.
Bella hanya mengangguk, meskipun dalam hati, rasa tidak nyaman itu masih terasa. Namun saat Louis menggenggam tangannya, perasaan itu sedikit berkurang. Bella tahu, saat ini Louis yang bisa menyembuhkan lukanya.
"Kita masuk?" tanya Louis.
Bella mengangguk.
Sesampainya di dalam kamar.
Bella duduk di tepi tempat tidur, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian di depan teras tadi. Giselle dan Gabriel membuatnya sedikit tak nyaman. Sambil menghela napas, ia membuka kancing baju luarannya dan menaruhnya di samping.
Louis berjalan melewatinya, hendak menuju kamar mandi. Langkahnya tenang seperti biasa, seolah tidak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi di luar.
"Kamu terlihat lelah," kata Louis tiba-tiba, berhenti sejenak di depan pintu kamar mandi.
Bella menatapnya dari tempat duduk. "Sedikit. Hari ini memang lumayan berat," jawabnya jujur.
"Mandi bisa membuatmu merasa lebih baik."
Bella mengangguk kecil. "Mungkin," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Louis mengangkat alis, tampaknya sedikit berpikir. Lalu tanpa ekspresi yang berubah, ia bertanya, "Mau mandi bersama?"
Bella mendadak terdiam. Ia menatap Louis dengan mata sedikit membesar.
"Mandi bersama?"
"Kenapa tidak?"
"Kamu serius?"
Louis mendekatkan diri padanya, berdiri di hadapannya. "Aku serius. Kamu butuh rileksasi setelah hari yang panjang."
Bella merasakan pipinya memanas, tapi entah kenapa ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Louis. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuatnya merasa tenang, meski idenya terdengar gila.
"Baiklah," jawab Bella.
Louis tersenyum tipis, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan masuk ke kamar mandi. "Aku siapkan airnya," katanya singkat.
Bella berdiri pelan, sedikit ragu, tapi ia mulai melangkah mengikuti Louis. Di ambang pintu kamar mandi, ia berhenti sejenak, melihat Louis yang sudah mulai melepaskan kemejanya.
"Kamu benar-benar serius?" tanya Bella sekali lagi.
"Aku tidak pernah bercanda soal hal seperti ini, Bella," jawabnya sambil membuka keran air, membiarkan uap hangat memenuhi ruangan.
Bella menggigit bibirnya, lalu akhirnya melangkah masuk. Di antara uap air dan suasana yang tenang, ia merasa semua rasa gugupnya perlahan mencair. Louis mendekat padanya, menyentuh pundaknya dengan lembut.
"Ayo," ujar Louis.
Bella pun mengangguk, mengikuti arahan Louis tanpa ragu lagi. Bella melepaskan semua pakaiannya dan tertunduk malu di depan pria di depannya ini.
"Santai saja, aku tidak akan macam-macam sebelum kita menikah," kata Louis.
Bella merasa senang mendengarnya. "Benarkah?"
"Tidak janji," jawab Louis membuat Bella tidak jadi tersenyum.