Menjadi wanita gemuk, selalu di hina oleh orang sekitarnya. Menjadi bahan olok-olokan bahkan dia mati dalam keadaan yang mengenaskan. Lengkap sekali hidupnya untuk dikatakan hancur.
Namanya Alena Arganta, seorang Putri dari Duke Arganta yang baik hati. Dia dibesarkan dengan kasih sayang yang melimpah. Hingga membuat sosok Alena yang baik justru mudah dimanfaatkan oleh orang-orang.
Di usianya yang ke 20 tahun dia menjadi seorang Putri Mahkota, dan menikah dengan Pangeran Mahkota saat usianya 24 tahun. Namun di balik kedok cinta sang Pangeran, tersirat siasat licik pria itu untuk menghancurkan keluarga Arganta.
Hingga kebaikan hati Alena akhirnya dimanfaatkan dengan mudah dengan iming-iming cinta, hingga membuat dia berhasil menjadi Raja dan memb*antai seluruh Arganta yang ada, termasuk istrinya sendiri, Alena Arganta.
Tak disangka, Alena yang mati di bawah pisau penggal, kini hidup kembali ke waktu di mana dia belum menjadi Putri Mahkota.
Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rzone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Penyergap
Mereka sampai di gudang yang ingin didatangi Alena, Alena melakukan survey dan akhirnya puas untuk menjelang musim dingin itu semuanya sudah baik.
Sekarang Alena harus bergegas kembali, namun sebuah kertas di tangannya sudah membuatnya bingung sejak tadi. Kertas itu berisi ajakan bertemu dari Mattias, namun tak ada alamat yang dituliskan dalam kertas itu.
“Kita kembali sekarang,” Alena mengajak para Ksatria-nya kembali, namun saat perjalanan pulang salju nampak dipenuhi warna merah. Para Ksatria nampak siaga, karena saat mereka berangkat noda merah itu tak ada.
“Apa itu darah?” Tanya Alena, seorang Ksatria memeriksa dan mengangguk membenarkan. Alena melihat sekeliling dan merasakan hawa mencekam menusuk kulitnya.
“Sembunyi!” Perintah Alena, namun agaknya mereka terlambat. Puluhan panah nampak melayang siap menyapu para Ksatria, namun para Ksatria terlatih itu dapat menangkis semua panah itu dengan sangat indah.
“Siapa mereka?” Tanya Alena memperhatikan daerah sekeliling, para Ksatria juga berjaga untuk bersiaga.
“Halo, serahkan wanita itu dan akan aku bebaskan kalian semua!” Teriak seorang pria dari atas pohon, salah satu Ksatria yang bersama Alena terkekeh sumbang.
“Dasar mulut gentong! Kau sebaiknya yang menyerah!” Dia mengambil salah satu panah yang semula digunakan untuk menyerang mereka dan panah itu dilempar hingga melesat dengan kecepatan tinggi.
Clep!
Panah itu mengenai kening salah satu anak buah dari pengepung tersebut, Alena terkesima melihat kemampuan Kesatria yang dipilih sang Ayah.
Namun, suaranya agak familiar pikir Alena. Para Kesatria memang mengenakan jubah hitam untuk menghangatkan tubuh mereka, hingga Alena sendiri tak dapat melihat dengan pasti siapa sosok Ksatria itu.
“Ban*sat!” Pekik pemimpin penyergap itu, namun para Ksatria lain juga tak tinggal diam. Mereka mulai menyerang dan membunuh para penyergap itu dengan mudahnya.
“Astaga, tanganmu bahkan seperti lidi.” Ejek salah satu Kesatria lainnya dan mematahkan tangan lawannya dengan mudah.
Pemimpin dari penyergap itu nampak siap untuk mengambil kesempatan guna menculik Alena, namu salah satu Kesatria sadar dan langsung menghadangnya dengan cepat.
“Siapa kalian sebenarnya!” Teriak pria penyergap itu, melihat kerugian besar yang telah dia alami. Dia tak ingin pulang dengan tangan kosong sama sekali.
“Aku, pemimpin Ksatria Naga Putih dan Ksatria harimau putih.” Pria yang menyelamatkan Alena itu menunjuk ke arah belakang para penyergap itu, di mana terdapat puluhan orang yang siap bertarung.
Dia juga membuka jubahnya hingga pakaian khas bangsawan terlihat, lambang dari Duke tertera dalam gelar pakaiannya. Alena menggelengkan kepalanya, ternyata bukan hanya ingin bertemu. Namun pria itu sejak awal memang sudah berada di sampingnya dan mengawalnya.
“Apa anda terluka?” Tanya Mattias, Alena menggelengkan kepalanya dan tersenyum tulus.
“Syukurlah, sisakan satu dari mereka untuk diinterogasi.” Perintah Mattias pada bawahannya, sedangkan mereka yang berada di bawah komando Mattias menurut dan menyisakan satu orang. Dan sisanya di bunuh di tempat tanpa ampun.
“Tuan, kami akan membersihkan sisinya. Anda dan Nona muda sebaiknya kembali ke kediaman.” Salah seorang Ksatria mengambil inisiatif.
“Dua orang dari Naga putih tetap tinggal, dan dua lainnya ikut denganku. Pasukan Harimau putih kembali ke Kediaman Mattias, sedangkan Kesatria dari Tuan Duke Arganta tetap tinggal untuk membersihkan wilayah ini.” Semua orang langsung berseru, siap!
Alena terkesima dengan jiwa pemimpin yang dimiliki oleh Mattias, bahkan para Ksatria yang bukan bawahannya saja dapat patuh pada ucapannya tanpa membantah satu katapun.
Mereka semua berpencar pada akhirnya, sesuai dengan apa yang diucapkan Mattias. Sedangkan Alena dan Mattias kini berangkat menuju kediaman Alena.
“Tuan Duke, apa anda tidak mau masuk saja?” Goda Alena saat mereka berada di jalan pulang, Mattias memilih untuk mengendarai kudanya sendiri dibandingkan ikut masuk ke dalam kereta kuda bersama Alena.
“Air telah membeku menjadi es, dan jalanan licin. Sangat berbahaya bila kita menumpangi kereta kuda bersamaan. Mengapa? Apa anda merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya?” Mattias nampak menatap Alena, namun tak ada kata gelisah yang tersirat dalam wajah Alena kala itu.
“Tidak, aku justru senang.” Ucap Alena, entahlah dia akan seperti apa di masa depan. Membalas cinta dari seseorang yang tulus agaknya akan lebih baik dibandingkan dengan balas dendam tanpa perasaan sedikitpun.
Alena menanamkan rasa belas kasih dalam hatinya sejak dia kecil, dia belajar memahami manusia dengan sangat mendetail hingga dapat memahami mereka yang kesulitan.
“Mengapa anda senang?” Tanya Mattias nampak ragu, Alena nampak berpikir sejenak.
“Aku merasa aman karena ada Tuan Duke di sini, aku juga jadi tak takut ada penyergap lagi tuh.” Alena tersenyum, Mattias juga tersenyum tulus. Sedangkan dua Kesatria nampak merinding melihat sang Tuan yang tersenyum seperti itu.
Selama ini mereka tak pernah melihat sang Tuan tersenyum kecuali menyeringai, dia sangat kaku hingga tak dapat membedakan antara senyum dan seringai. Namun kali ini semuanya telah terbantahkan, Tuan mereka memang sering menyeringai saat bersama mereka. Dan mereka yang dulu menganggap seringai itu adalah senyum Duke Mattias kini sirna sudah.
“Tuan Duke, kemarin aku menemukan sebuah buku yang menarik. Musim dingin juga sudah tiba, aku juga sudah kehabisan pekerjaan. Bagaimana bila kita membedah buku itu besok, sepertinya menikmati secangkir teh hangat saat liburan tidak buruk juga.” Alena menawarkan, Mattias mengangguk.
“Baiklah, di mana saya harus menemui anda?” Tanya Mattias, Alena cemberut melihat wajah dingin Mattias.
“Hem, apa ada yang salah dengan ucapan saya barusan.” Tanya Mattias, Alena mendengus. Sebenarnya dia tidak benar-benar marah, dia hanya menggunakan trik yang sama saat menggoda sang Ayah untuk peka, dan kini dia gunakan pada Mattias.
“Tentu saja, anda mengatakan baiklah. Bukankah itu anda seolah terpaksa untuk bertemu dengan saya?” Mattias terdiam, apakah salah kata-kata itu? Pikirannya.
“Maaf, saya tidak begitu tahu tentang bersosialisasi dengan Bangsawan. Hingga saya terkadang mengatakan apa yang ada di kepala saya tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Itu bukanlah sebuah kata keterpaksaan, saya mengatakan itu dengan senang hati.” Ucap Mattias, Alena nampak bingung melihat wajah menyedihkan Mattias.
“Maaf, bahkan terkadang saya tidak pernah berkata, iya. Itu dikarenakan saya malas berbicara, saya tak suka menanggapi ucapan orang hanya sesuatu itu adalah hal yang penting. Namun saya akan menanggapi seseorang yang menurut saya pantas.” Alena kian merasa bersalah membuat Mattias berada dalam posisi itu.
“Saya juga tidak bermaksud demikian, saya hanya merasa bila apa yang anda katakan sebelumnya itu kurang enak didengar. Maaf saya mengatakan sesuatu yang tidak sepantasnya saya katakan Tuan Duke.” Alena menciut seperti kerupuk tersiram air, Mattias tersenyum tulus.
Mattias juga bukan orang bodoh yang hanya dapat diperdaya dengan trik semacam itu, sejak kecil sang Raja yang selalu memanjakannya sering menggunakan berbagai cara agar dapat menarik perhatian Mattias.
Jadi Mattias sudah terbiasa dengan trik semacam itu, dan dia dengan mudah dapat menanganinya. Dia juga tersenyum tulus, karena dia juga merasa bersalah pada Alena yang kini nampak ikut terbebani.