Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8. Istri Yang Tak Di Inginkan.
Mobil telah melaju, dari balik jendela Alina menyaksikan rumahnya yang ia tinggalkan perlahan lahan menjauh. Perasaannya campur aduk seolah ada ruang kosong di dalam hatinya yang sulit dijelaskan.
"Apakah ini benar? Apakah aku siap menjalani kehidupan yang baru ini?"
Hati Alina bergetar. Rumah yang dulu menjadi tempatnya berlindung, penuh dengan tawa dan nasihat ayahnya yang selalu menenangkan, kini hanya bisa ia lihat dari kejauhan. Semua itu akan menjadi kenangan. Yang tersisa kini hanyalah Liam, suaminya, sosok yang terasa begitu asing meski telah sah menjadi bagian dari hidupnya.
Teringat akan malam pertama mereka, hati Alina seketika mencelos kembali merasakan getaran dingin dalam relungnya. Malam yang seharusnya penuh kehangatan justru terasa dingin dan kaku. Liam dengan sikap arogan dan acuh seakan mengabaikan kehadirannya. Tak ada kelembutan, tak ada sapaan hangat. Hanya tatapan tajam dan penuh jarak yang sulit dia pahami.
"Kenapa dia seperti itu? Aku tahu bahwa pernikahan ini karena perjodohan paksa, tapi tak seharusnya dia bersikap kasar seperti itu, bukan? kenapa seolah olah aku adalah musuhnya, kenapa dia seperti itu?" pikirnya getir.
Di malam itu, bukan kedekatan yang terbangun, melainkan jarak yang semakin nyata. Sentuhan yang seharusnya lembut terasa tegang, dan Liam seakan menjaga tembok tak terlihat di antara mereka. Hatinya terasa semakin berat. Alina tahu, keluarganya berharap kebahagiaan untuknya, namun hanya ia yang menyadari kenyataan yang berbeda.
Lalu angannya melayang pada kenangan bersama Fauzan. Meski dia dan pria itu tidak memiliki hubungan yang spesifik. Namun, mereka sudah cukup lama saling mengenal dan berkomunikasi dengan baik, tentunya dengan tetap menjaga batasan batasan agama.
Alina mengenal Fauzan adalah pria yang lembut dan kata katanya selalu lugas dan bijaksana. Alina seoalah melihat duplikat ayahnya pada sosok Fauzan, hal itulah yang membuat Alina tak pikir panjang untuk segera menerima lamaran pria itu. Sayangnya takdir tak memihak mereka untuk bersatu meski saling mencintai. Benar kata pepatah dulu, Sesuatu yang bukan di takdirkan untukmu tidak akan menjadi milikmu meski kamu mengejarnya sampai ujung dunia sekalipun, dan sesuatu yang sudah ditakdirkan untukmu akan sampai kepadamu meski kamu tidak menginginkannya.
Alina menghela nafas, mengendurkan rasa sesak di dadanya yang semakin menghimpit. Berusaha ikhlas, berusaha tabah. Fauzan kini adalah masa lalunya, dan ia bertekad untuk cepat melupakannya saat detik pertama menjadi istri Liam. Namun pria arogan itu membuat hatinya yang sakit semakin terluka di malam pertama mereka. Kecewa Sebab yang ia bayangkan dari suaminya adalah sentuhan kalimat yang menyejukkan berharap dapat menghibur hatinya yang patah, tapi nyatanya hanya ungkapan kata-kata kebencian yang membuat lukanya semakin melebar.
"Apa aku hanya beban baginya? Bagaimana aku bisa hidup bersama seseorang yang bahkan tidak mau menyentuhku dengan rasa hormat?"
"Ya Allah, kuatkan aku... Jika ini jalanku, beri aku hati yang tabah untuk menjalani semuanya."
Doa itu terbisik dalam hati, diiringi air mata yang tertahan. Di sampingnya, Liam duduk diam, tanpa ekspresi, matanya terus fokus mengendalikan laju kendaraan, membawa mereka menuju rumah baru yang akan mereka tempati.
...[•••]...
Mobil berhenti di depan rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang terasa begitu asing bagi Alina. Jantungnya berdegup kencang saat pintu mobil dibuka, dan Liam keluar lebih dulu tanpa berkata apa-apa.
Alina menghela napas dalam-dalam sebelum turun dari mobil, tangannya menggenggam ujung gaunnya dengan gelisah. Ia merasa ragu, takut melangkah ke dalam ruang yang seharusnya menjadi rumah mereka. Lalu pintu mobil dibuka dan kakinya menyentuh tanah, ia mendongak, memandangi pintu besar di hadapannya.
Alina mendapati betapa megahnya bangunan itu, tapi tidak ada rasa hangat yang menyelimutinya. Rumah baru ini tampak lebih seperti tempat yang penuh dengan kehampaan, sebagaimana hubungannya dengan Liam.
Liam berjalan mendahului Alina menuju lantai atas, tanpa berkata sepatah kata pun. Sikapnya tetap dingin dan tak terbaca, seolah kehadiran Alina hanyalah bagian dari formalitas yang harus diterima, bukan sesuatu yang ia inginkan. Alina mengikuti di belakangnya, perasaan tidak nyaman menyusup ke dalam hatinya.
Begitu sampai di lantai atas, Liam berhenti di depan sebuah kamar.
"Ini kamarmu," katanya singkat, sambil menunjuk pintu di sebelah kanan. "Kamarku ada di sebelah."
Alina terkejut, matanya membulat.
"Kamar kita... terpisah?" tanyanya dengan suara ragu, mencoba memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
Liam menoleh dengan ekspresi tak sabar.
"Ya, apa masalahnya?"
Alina mengerutkan kening, kebingungan dan sedikit kesal karena Liam bersikap seolah semua ini adalah hal yang wajar.
"Di malam pertama kamu menolak tidur seranjang denganku, sekarang kamu memintaku untuk tidur terpisah denganmu. Ini Pernikahan, Liam. Bukankah seharusnya kita tidur di kamar yang sama? kenapa kamu tidak menyukaiku? " Suaranya berusaha terdengar tenang, meskipun hatinya penuh dengan keraguan.
Liam mendengus pelan, menatapnya dengan sorot dingin dan arogan.
"Pernikahan atau bukan, aku tidak ingin dipaksa melakukan sesuatu yang tidak nyaman bagiku. Tidur bersama seseorang yang bahkan belum sepenuhnya aku kenal? Aku tidak butuh itu, dan seharusnya kamu juga tidak."
Kata-kata Liam menusuk perasaan Alina.
"Tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini padaku, kita suami istri, Liam, dan kau sudah berjanji pada keluarga untuk memperlakukanku dengan baik.
Liam menatapnya tajam, penuh arogansi.
"Memperlakukanmu dengan baik bukan berarti menjadikanmu sebagai prioritasku. Aku menikahimu karena alasan yang jelas dan tujuanku bukan untuk membangun keluarga bersamamu!"
Di balik cadar, Alina mengeraskan rahangnya sepasang manik indahnya berkaca kaca, merasa sakit dengan cara Liam memperlakukannya seperti ini.
"Kau mungkin tidak memukulku, tapi apa kau sadar kata katamu itu selalu membuatku terluka. Apa Salahku, Liam?"
Liam melipat tangannya, wajahnya semakin kaku.
"Salahmu? Tidak ada, dan Aku sudah cukup jujur, Alina. Aku membenci pernikahan ini, dan sikapku hanya untuk menjaga diri. Aku tidak mau terikat hubungan apapun dengan wanita karena aku sangat membenci mereka. Aku akan memperlakukanmu dengan baik tapi tidak lebih dari sekedar saling membantu. Jadi jangan berpikir lebih dari itu!"
Mendadak Nafas Alina semakin sesak, paru parunya seolah tak memompa udara dengan baik. Air matanya jatuh dan namu dia masih berusaha terlihat tegar. Meski sakit dan merasa terjebak dalam hubungan ini.
"Baiklah, jika memang kamu menganggap pernikahan ini tidak berarti," jawab Alina, suaranya lirih tapi penuh luka.
"Aku tidak akan memaksamu. Tapi jangan salahkan aku kalau suatu saat aku juga merasa lelah menjalani ini semua."
Liam menatapnya sejenak, tersenyum miring.
"Jangan khawatir, aku juga tidak akan membuatmu bertahan denganku, lebih dari yang kau inginkan." katanya dingin lalu berbalik dan masuk ke kamarnya sendiri, menutup pintu tanpa menoleh lagi.
Alina berdiri di sana, hatinya terasa hancur. Dia tahu pernikahan ini akan sulit, tapi tidak pernah membayangkan akan secepat ini terasa seperti neraka. Dengan berat hati, dia melangkah ke kamarnya sendiri, menutup pintu di belakangnya, dan membiarkan kesedihan itu menyusup ke dalam dirinya.
"Membenci wanita? Kenapa?" Pertanyaan itu terniang di kepala Alina bersama rasa sakit yang lain.
...[••••]...
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.