Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesalahpahaman
George membuka paksa pintu kamar mandi, dan apa yang mereka lihat di dalam membuat mereka terkejut luar biasa.
“Astaghfirullahalazim! Kian!” teriak George, matanya melotot lebar tak percaya.
Pemandangan yang mereka lihat benar-benar di luar dugaan. Kepala Kian sedang tertindih di antara dua payudara Keira, sementara tangan kanannya mencengkeram salah satu payudara dengan erat, seolah terjebak di sana.
“Ian! Bangsat!” teriak Deren, dengan cepat beraksi. Ia meraih kerah baju Kian dan menariknya dengan kuat, membebaskan Keira dari posisi memalukan itu. Tanpa berpikir panjang, Deren melempar Kian keluar dari kamar mandi dengan kasar.
Brak!
Kian terjatuh ke lantai, meringis kesakitan, sementara George dengan cepat menutup pintu kamar mandi dengan keras, berusaha melindungi privasi Keira yang sekarang wajahnya memerah karena malu.
Setelah menutup pintu, George dan Deren berbalik menghadap Kian, tatapan mereka penuh dengan kemarahan. Kedua tangan mereka mengepal kuat, seakan siap untuk menghujani Kian dengan pukulan.
"Miss! Cepat mandinya ya!" teriak George dari luar kamar mandi. Setelah memastikan Keira mendengar, ia menarik kerah baju Kian dengan kasar dan menyeretnya keluar, kembali ke kamar Kian.
Sesampainya di kamar, George mendudukkan Kian di sofa dengan keras. Wajah Kian terlihat panik, campuran rasa bersalah dan ketakutan. “Mohon maaf abang-abangku sekalian, sumpah, ini semua cuma salah paham. Gua bisa jelasin detail,” katanya, suaranya bergetar mencoba meredakan ketegangan.
Deren, dengan tatapan tajam penuh ancaman, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Yaudah, sekarang ceritain apa yang terjadi, sebelum tangan gua melayang ke muka lu,” ucap Deren dengan nada rendah namun tegas, membuat Kian semakin gugup.
“Oke, oke. Gini ceritanya...”
Flashback on
Kian, setelah beberapa menit mencoba memejamkan matanya, berusaha keras untuk kembali ke dunia mimpi, namun kegagalan terus menghampiri.
“Ah elah, dari tadi gua merem, gak tidur-tidur. Giliran pas gua pengen main Valorant, gampang banget tidur,” keluhnya pada diri sendiri sambil duduk di tepi kasur Keira.
Dengan mata setengah terbuka, Kian melihat sekeliling kamar, mencari Keira. Namun, ia tidak menemukannya di mana pun. “Mungkin dia keluar bentar buat beli makanan,” pikirnya santai.
Kian bangkit dari tempat tidur, tubuhnya masih terasa berat karena kelelahan. Tanpa terlalu memikirkan situasi, ia berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah malas. Suara gemericik air terdengar samar, tapi Kian tidak terlalu memperhatikannya. Dia hanya ingin membasuh wajah agar lebih segar.
Tanpa menunggu lebih lama, Kian langsung membuka pintu kamar mandi. Dan saat itulah semuanya berubah.
“Aaaaaaa!”
Teriakan Keira memenuhi kamar mandi yang sempit. Di depan matanya, Keira berdiri di bawah shower, tubuhnya terlihat tanpa sehelai kain pun, air mengalir deras dari kepala hingga bahunya. Wajahnya merah padam karena malu dan kaget.
Kian membeku seketika, seperti patung yang tak bisa bergerak. “Sialan! Gua gak lihat apapun, gua gak lihat apapun!” batinnya panik.
Sementara itu, Keira berusaha menutup tubuhnya lebih rapat dengan handuk yang ada, namun dalam kekacauan itu, Kian malah tergelincir. Tubuhnya terhuyung ke depan, kehilangan keseimbangan. Dan, dalam detik berikutnya, ia terjatuh tepat di depan Keira, dengan wajahnya yang tak sengaja menabrak dadanya.
Keira yang tak siap, mencoba menahan tubuh Kian agar tidak jatuh lebih jauh, tapi posisi mereka semakin membuat segalanya kacau.
Flashback off
“Dan itulah yang terjadi!” Kian berkata cepat, mengakhiri ceritanya dengan napas tersengal. “Gua beneran gak sengaja! Itu kecelakaan total!”
George dan Deren menatap Kian dengan wajah tak percaya. Mata mereka menyipit, seolah mencoba menentukan apakah cerita itu benar adanya.
“Jadi, lo jatuh terus...?” tanya Deren, masih dengan nada mencurigai.
“Jatuh, bro! Gua bahkan gak nyadar posisi gua sampe lo berdua dateng,” jawab Kian putus asa.
George, masih berdiri dengan kedua tangan di pinggang, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mendesah. “Kita bakal cek sama Keira nanti. Kalau dia bilang lo bohong atau ada yang gak bener, lo siap-siap aja, Ian,” katanya dengan nada peringatan.
Kian mengangguk cepat, “Beneran, cek aja ke dia. Gua gak bakal ngelakuin hal yang gak bener ke Keira, kalo gua boong, gua potong titit!”
George dan Deren akhirnya sedikit melunak, meski rasa panik dan amarah masih jelas terasa di antara mereka. Mereka sadar, jika Kian memang sengaja melakukan itu, Devin dan Norman pasti akan bersatu untuk memarahi Kian habis-habisan sampai telinganya merah.
Tak lama kemudian, Keira muncul, mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan rok selutut. Wajahnya tertunduk malu, pipinya bersemu merah mengingat kejadian tadi. Rasa malu itu terus menghantui pikirannya.
“Kak George, ayo,” suara Keira terdengar pelan tapi jelas, menandakan ia ingin segera keluar dari situasi canggung ini.
“Ayo,” balas George sambil menghampiri Keira.
Baru saja mereka akan keluar, Kian tiba-tiba menghampiri Keira dari belakang, senyuman jahil tercetak di wajahnya. “Kak, rapi banget. Mau kemana?” tanyanya, menundukkan kepala sedikit karena Keira memang lebih pendek darinya.
Keira berbalik tanpa berani menatap mata Kian, tubuhnya kaku karena perasaan malu yang masih belum hilang. "Ada rapat," jawabnya lirih. "Rapat lanjutan dari kemarin, sekaligus ada pertemuan dengan investor."
Kian tersenyum tipis, melihat Keira yang menghindari tatapannya. Ia kemudian mendekat, meletakkan jari di dagu Keira, memaksanya untuk menatap langsung ke arahnya. "Kak, kalau lagi ngomong sama orang, tatap matanya. Itu penting apalagi kalau lu presentasi di depan investor atau dewan direksi," ujarnya tegas tapi lembut.
“Imut banget ini cewek.” batin Kian.
Setelah beberapa detik terdiam, Kian akhirnya berkata, “Kak, gua boleh ikut rapat juga gak?”
Keira masih terdiam, seolah masih terlalu malu untuk menjawab. Namun, sebelum Keira bisa memberikan respons, George yang berada di dekat mereka menjawab, “Boleh.”
Kian tersenyum puas mendengar persetujuan itu. Dengan percaya diri, ia langsung menggenggam tangan Keira, membuat gadis itu terkejut sejenak. Mereka pun berjalan bersama menuju lift, meninggalkan George dan Deren yang hanya bisa melongo.
George menatap heran pada Deren. “Kian beneran udah move on dari Stella?”
Deren menggelengkan kepala sambil mengerutkan dahi. “Entahlah, biasanya dia butuh sebulan buat move on. Tapi kok bisa ya, baru sehari udah move on. Mungkin Stella terlalu nyakitin hati Kian kali ya?”
George mendesah pelan, masih kebingungan. “Yaudahlah, biarin aja. Yang penting rencana bos Norman dan kakek Devin jalan sesuai rencana,” ujarnya dengan nada santai.
Mereka berdua pun akhirnya berjalan menyusul Kian dan Keira—yang kini tampak seperti pasangan baru—menuju lift.