"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter Keenam Buku Itu
Ingatanku tentang Vika hilang begitu saja. Pikiranku yang tadinya khawatir pada keluarga Vika, lenyap sekejap mata. Rani yang saat itu berdiri di depan Toko buku yang ada di seberang jalan depan Rumah sakit, seakan menarik langkahku ke tempatnya.
Namun saat aku baru menginjak bibir aspal, seorang laki-laki seusiaku keluar dari Toko buku yang hanya berjarak sepuluh meter di depanku itu. Ternyata Rani sedang menunggu laki-laki itu. Ia tersenyum saat laki-laki itu menyapanya.
Aku mengurungkan niatku, kembali ke balik pagar Puskesmas. Di balik pagar besi berwarna putih, aku terus memperhatikan apa yang Rani lakukan bersama laki-laki itu. Pemuda yang juga berseragam putih abu-abu itu memperlihatkan tiga buah buku yang baru dibelinya kepada Rani. Percakapan di antara mereka terlihat lancar dan penuh keakraban. Tampak jelas, mereka sudah lama saling kenal.
Tidak lama berbincang di diberanda Toko buku, mereka berdua berjalan menuju sepeda motor yang terpakir di depan Toko itu. Dengan membonceng Rani di belakangnya, pemuda tadi mengendarai kendaraanya meninggalkan tempat itu.
Ada luka yang menggores hatiku di saat melihat kedekatan mereka. Luka yang tak beralasan namun jelas terasa mengacaukan perasaan. Pohon asam jawa yang tumbuh rimbun di depan Puskesmas menjadi saksi bagaimana kecemburuan pertama dalam hidupku menyiksa batin ini. Rasa kecewa yang muncul tiba-tiba, kekhawatiran takut kehilangan, dan kesedihan akan pengkhianatan, membubung tinggi dalam pemikiran.
Kulangkahkan kakiku yang terasa berat, meninggalkan perkarangan Puskesmas, menuju rumahku yang berjarak seratus meter dari tempat itu. Walau aku belum tahu apa hubungan Rani dengan pemuda yang baru saja bersamanya, namun luka yang terasa, sangat memporak-porandakan jiwa yang sedang penuh pengharapan. Bayang-bayang cinta bersama Rani di suatu hari nanti, berganti dengan kepedihan dan kecemasan, seandainya Rani memang benar tak menganggap perasaan ini.
Separuh perjalanan, handphoneku berdering. Rani mengirim pesan pertamanya di hari itu. Kebiasaannya yang selalu bercerita denganku setelah pulang dari sekolah, kembali dilakukannya.
“Hai Fan! Aku baru aja beli buku baru. Coba tebak, buku apa yang baru aja aku beli?” tulis Rani dalam pesan.
“Laki-laki yang baru saja bersamamu di Toko buku itu siapa?” balasku pada Rani tanpa menghiraukan isi pesannya.
“Ooo, itu Alwan. Kamu lihat aku? Kenapa nggak nyamperin?
“Aku takut mengganggu hubungan orang! Aku bukan siapa-siapa kamu.
“Kok kamu ngomongnya gitu? Kamu kan teman aku Fan!
“Aku hanya teman kan? Sedangkan dia…?
“Dia juga teman Fan! Kenapa?
Aku tak langsung membalas pesan itu. Aku berpikir di saat itu untuk merangkai kata-kata yang lebih tegas, agar Rani tahu bagaimana perasaanku kepadanya. Aku ingin Rani menganggapku lebih dari sekedar teman biasa. Mungkin kata-kata perasaan yang ku kirimkan selama ini padanya, hanya ia anggap sebagai candaan.
“Kenapa?” Pesan dari Rani kembali masuk. Sepertinya ia mulai gelisah karena belum mendapatkan balasan.
“Aku cemburu Ran! Aku nggak tahu entah apa alasanku cemburu melihatmu dekat dengan laki-laki lain. Tapi jujur! Aku nggak bisa mengendalikan perasaanku melihatmu bersama laki-laki lain. Sejak aku mengenalmu lewat pesan, aku mulai menyukaimu walaupun kita belum pernah bertemu. Sampai saat ini rasa suka itu terus tumbuh dan semakin besar! Aku ingin Rani tahu, aku sangat menyukaimu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman.” Balasan ku kirimkan.
Rani membalas pesan dariku. “Hubungan apa yang kamu maksud Fan? Jika hubungan yang kamu maksud itu adalah pacaran? Maaf, aku nggak bisa! kamu telah salah menilaiku.
“Maaf, aku telah salah menilaimu,” balasku singkat.
“Kita masih berteman kan?” tanya Rani kembali dalam pesannya.
Aku tak membalas pesan itu.
“Hanya aku yang terlalu berlebihan mengartikan perhatian Rani selama ini, dia tidak memiliki perasaan apapun terhadapku,” pikirku saat itu.
Rasa sedih, kecewa, dan hampa, bercampur aduk di dalam hatiku. Ada perasaan seolah dunia tiba-tiba berhenti sejenak, membuat hati terasa berat dan kosong. Pikiran dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya mungkin tak pernah jelas. Penolakan itu terasa seperti luka halus yang terus-menerus menggerus harapan.
Pesan dari Rani kembali masuk ke handphoneku, tapi aku tidak membuka pesan itu. Ada tiga buah pesan dari Rani yang ku abaikan di saat itu. Aku yakin, isi pesan itu hanya kalimat-kalimat penolakan yang lebih halus. Sampai akhirnya iapun menelponku. Aku tetap tak menghiraukan panggilan itu, dan membiarkan handphoneku terus bergetar di tanganku.
Namun Rani tidak menyerah, ia terus menelponku. Berpuluh-puluh kali panggilan tak terjawab tertulis di layar ponselku. Hingga sesampainya di beranda rumahku, akhirnya panggilan itu kujawab. Hatiku tiba-tiba menjadi luluh melihat usahanya menghubungiku.
“Fan, apa kamu kecewa padaku?” tanyanya dengan nada rendah.
Aku hanya diam, tak ingin menjelaskan apapun, dan Rani kembali berbicara.
“Apa yang ku katakan padamu, bukan berarti aku menolakmu. Aku hanya ingin kamu menunda perasaanmu itu sampai waktunya telah tiba. Aku bukan wanita yang bisa menerima hubungan yang disebut pacaran. Jadi kuharap, biarkan aku mengenalmu sampai takdir membawa kita pada hubungan yang sebenarnya. Jika kita memang jodoh, kita nggak perlu mengawali hubungan dengan berpacaran, pertemanan ini sudah lebih dari cukup,” ucap Rani menjelaskan alasan ia menolak hubungan yang aku inginkan.
“Tapi aku ingin hubungan kita lebih jelas Ran!” bantahku, tak sependapat dengan pemikirannya.
“Bukankah hubungan pertemanan itu jelas? Kita saling kenal dan berteman!
“Iya, tapi hubungan pertemanan di antara kita nggak akan mengikat perasaan. Kita tidak punya alasan yang kuat untuk saling menunggu dan menjaga perasaan satu sama lain. Status pertemanan itu lemah Ran!” jelasku menguatkan alasan.
“Apapun status yang kita buat akan tetap lemah jika kita tidak punya keyakinan satu sama lain. Kalau kamu memang lebih percaya kepada status dari pada hati orang yang kamu sukai, itu terserah padamu Fan!” Rani mematikan handphonenya. Kata-kata terakhir darinya terasa mengancamku di saat itu.
Aku memasuki rumahku, melangkah menuju kamarku. Rumahku masih kosong, sama seperti sebelumnya. Aku hanya anak satu-satunya di rumah itu, dan kedua orang tuaku belum jua kembali dari kota Pekanbaru. Ibuku merawat saudaranya yang tiba-tiba sakit setelah acara hajatan pernikahan anaknya yang berlangsung di sana, sementara Ayahku memang berkerja di kota itu.
Ku hempaskan tubuhku yang masih mengenakan seragam sekolah yang agak kusut di atas tempat tidur. Dengan wajah yang sedikit agak letih dan mata yang setangah terpejam, ku terus memikirkan kata-kata Rani. Tas sekolah yang berat terlempar di lantai kamar, dan sepatu yang masih terpasang ikut naik ke di atas kasur.
“Ini bukan hubungan pernikahan Fan!” Kata-kata Razis terngiang di telingaku.
Aku berpikir saat itu, “apa salahnya aku menjalani hubungan pertemanan dengan Rani? Bukankah pacaran juga berteman? Aku yakin, Rani juga menyukaiku! Hanya saja dia nggak ingin berpacaran. Lagi pula dia nggak mempunyai hubungan istimewa dengan siapapun. Ya! Aku harus terus menjalani hubungan ini dan berusaha meyakinkan hatinya bahwa akulah orang yang tepat untuknya!” tekadku bersemangat dan kembali mengirim pesan untuk Rani.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,