Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Raut wajah perempuan itu pucat pasi saat aku menanyakan tentang blouse putih. Matanya yang semula menatap tajam ke arah Mas Adnan kini teralihkan padaku, terlihat bingung dan was-was.
Mas Adnan sendiri terdiam, bibirnya bergetar seolah hendak berbicara namun tak satu kata pun terlontar. Ketegangan terasa menggantung di udara, seolah setiap detik yang berlalu semakin membebani.
Tanganku menunjuk ke arah kalung berlian yang melingkar di leher perempuan tersebut. "Kalung ini...," suaraku tercekat,
aku pernah menemukan struktur pembelian kalung berlian, jadi dia membelikan untuk selingkuhnya, Aku berusaha keras menahan emosi yang mulai memuncak.
"Apa itu kalung pemberian Adnan?" Tanyaku kepada perempuan itu
Perempuan itu tergagap, mulutnya membuka dan menutup seolah ingin menjelaskan namun tak ada suara yang keluar.
Kedua tangannya bergerak gugup membetulkan posisi kalung berlian itu, seakan berharap kalung tersebut bisa menghilang atau berubah bentuk.
"Sebenernya kamu siapa? Kenapa kamu kenal mas adnan?"
"Tanya saja sama pacar kamu itu, aku ini siapa" seruku sinis
Mas Adnan akhirnya memecah ketegangan ini suaranya serak, "a... Aku tidak tahu harus berkata apa." Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap mataku atau perempuan itu.
Aku menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dada. "Apakah ini alasan mengapa blouse itu penuh noda?" tanyaku lagi, kali ini lebih tenang namun tetap tajam.
"Blouse penuh noda?" Heran perempuan itu.."kenapa kamu tau juga tentang blouse itu?"
Kesedihan dan kekecewaan bercampur menjadi satu, namun lebih dari itu, aku merasa dikhianati oleh orang yang selama ini kucintai. Aku menarik nafas dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit ini.
Aku tidak menjawab pertanyaan perempuan itu, gak guna juga menjawabnya, dengan wajah yang datar aku menatap adnan..."sepandai pandai mengubur bangkai pasti tercium juga" sindirku
Mendengar ucapanku, perempuan itu tampak bingung. "Apa maksud kamu?" tanyanya dengan raut wajah yang heran. Aku menatap Adnan dengan penuh kekecewaan.
"Dan kamu, Adnan!" seruku. "Urusan kita belum selesai," ucapku dengan suara yang hampir tercekat lalu aku berlalu meninggalkan mereka berdua. Air mata tak bisa lagi kubendung.
Rasa sakit yang kualami ini benar-benar tak terkira. Aku telah mengorbankan masa mudaku demi menikah dengannya, bahkan saat hamil dan melahirkan pun aku tetap berjuang keras demi meraih kesuksesan dengan memperkenalkan desain-desainku.
Aku telah menghadapi banyak penolakan, hinaan, dan kebohongan. Semua itu kukerjakan demi Adnan dan Naura, agar kami bisa menikmati kehidupan yang jauh lebih baik. Namun, apa yang kukerjakan ternyata sia-sia belaka.
Adnan malah berselingkuh di belakangku, padahal dulu dia hanyalah seorang pengangguran yang aku bantu mencari nafkah. Saat aku berjuang mati-matian membantunya masuk ke perusahaan impianya, justru ia menyakitiku dengan tindakan tak termaafkan ini.
"Apakah perjuanganku selama ini tidak ada artinya bagimu, Adnan? Apakah aku sudah salah dengan mencintaimu dan ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kita?" bisikku lirih dalam hati, terluka oleh pengkhianatan yang tak pernah kuduga.
"Rania, tunggu! Aku bisa menjelaskan semuanya, kamu hanya salah paham!" teriak Adnan dengan lantang.
Aku hanya menoleh ke arahnya sebentar, lalu kembali membuang pandangan dan melanjutkan langkahku. Adnan menahan tanganku dengan erat, namun sebisa mungkin aku mencoba menepisnya.
"Lepaskan! Aku mau dengar penjelasanmu di taman kota, aku tunggu sekarang juga!" ujarku dengan nada berapi-api.
"Tapi Ran, aku..." Adnan mencoba berbicara, tapi aku memotongnya,
"Jika kau ragu untuk meninggalkan selingkuhanmu itu, tidak masalah. Aku juga harus segera pulang karena Naura membutuhkanku," sindirku dengan getir. Ku buka pintu mobil, lalu masuk ke dalam mobil.
Aku merasa sangat sakit hati, tak tahu bagaimana menjelaskan perasaan yang kurasakan saat ini. Air mata mengalir deras di pipiku, sesak di dada ini tak tertahankan lagi. Namun, aku mencoba tetap fokus menatap ke depan.
Aku terisak sambil memukul setir mobil, namun tetap mempertahankan kendali. "Kenapa dia melakukannya? Apakah aku tidak cukup baginya?" gumamku dalam hati. Tetapi, aku sadar bahwa hidupku masih sangat berguna, perselingkuhan suamiku bukan akhir segalanya.
Aku masih memiliki Naura dan keluargaku, mereka yang harus kuberikan kebahagiaan, dan aku tidak akan membiarkan patah hati ini menghancurkan semuanya.
Ting..
notifikasi pesan masuk di ponselku, kulihat Adnan mengirim pesan, [ "Aku akan datang."] Aku hanya membukanya lalu kembali menaruh ponselku sambil melajukan mobil menuju taman kota.
Begitu sampai, aku duduk di salah satu bangku, berusaha menenangkan diri sambil menunggu kedatangan Adnan.
Tak lama, terdengar suara panggilan namaku, "Rania." Adnan datang dari arah belakang.
Aku merasa seperti tersengat listrik, "Kenapa kau melakukannya, Adnan? Apa aku kurang untukmu?" tanyaku, mencoba untuk tidak menangis. Aku usap air mata yang mulai mengalir.
"Aku khilaf, Rania," jawabnya dengan nada bersalah.
"Sudah berapa lama kau selingkuh dengannya?" desakku, ingin tahu kebenaran.
"Be-belum lama," jawab Adnan ragu-ragu.
"Jawab yang jujur, Adnan!" bentakku, tak ingin terus-terusan dibohongi.
"Dua tahun," jawab Adnan akhirnya.
"Dua tahun?!" seruku tak percaya.
Rasa sakit yang kurasakan kian memuncak, kecewa karena kenyataan yang baru saja kuungkap. Air mataku semakin deras mengalir, tak mampu lagi aku tahan. Aku berdiri, menatap tajam ke arah Adnan yang berada di belakangku, lalu menampar wajahnya.
"Kenapa kamu tidak ceraikan aku saja?! Dua tahun itu lama, Adnan!" teriakku dengan penuh emosi.
Kini aku harus mencari cara untuk menyembuhkan hati yang hancur ini. Bagaimana aku bisa menghadapi ke depan dengan suamiku yang telah mengkhianatiku selama ini?
"Aku khilaf, Rania..." ucap Adnan dengan suara yang terdengar menyesal.
"Khilaf? Dua tahun itu lama, Adnan! Ini bukan lagi khilaf, tapi memang kamu cinta sama dia!" teriakku ketika perasaanku hancur lebur.
"Aku juga tidak mau kehilangan kamu, Rania. Sungguh, aku mencintaimu dan dia," jawab Adnan, sementara air mata tak terbendung lagi mengalir deras dari sudut mataku.
Kakiku terasa lemas, seakan tidak mampu menopang tubuhku yang luluh lantak mendengar pengakuan Adnan. Dia mengusap wajahnya dan mengacak rambutnya yang mulai berantakan.
"Maafkan aku, Rania. Sungguh aku minta maaf. Aku sangat menyesal... Aku tidak bisa mengontrol diri. Aku tergoda oleh dia, padahal kamu sangat sempurna untukku," ucap Adnan penuh penyesalan.
Namun, tak peduli apa alasan Adnan, ini tidak bisa dibenarkan. Aku mencoba mengendalikan suaraku yang parau, "Jadi waktu Naura sakit, apa kamu sedang bersama perempuan itu?" tanyaku.
Adnan terdiam, tak memberi jawaban. Aku tak bisa menahan amarahku, "Jawab, Adnan! Jawab!" desakku sambil menatapnya tajam, berharap dia memberi penjelasan yang masuk akal, meskipun hatiku merasa tak akan pernah mampu memaafkannya.
****