Nuka, siswa ceria yang selalu memperhatikan Aile, gadis pendiam yang mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, Nuka menawarkan payungnya, berharap bisa melindungi Aile dari dinginnya rintik air. Suatu hari, di bawah payung itu, Aile akhirnya berbagi kenangan masa lalunya yang penuh luka, dan hujan pun menjadi awal kedekatan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aolia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah dan tekanannya
Langit sudah mulai gelap ketika Aile sampai di depan rumah. Langkahnya terhenti sejenak, menatap pintu kayu di depannya. Entah kenapa, hari ini rasanya lebih berat dari biasanya. Setelah menghembuskan napas panjang, ia membuka pintu.
Begitu ia masuk, pandangannya langsung jatuh pada ruang tamu yang berantakan. Pecahan kaca berserakan di lantai, sofa yang miring, dan kursi yang jatuh ke lantai. Di antara serpihan kaca itu, ia melihat beberapa noda darah kecil di karpet. Ini pasti bekas pertengkaran.
“Ayah…” gumam Aile pelan. Ia tahu ayahnya tidak di rumah saat ini, mungkin pergi mencari hiburan lain setelah menumpahkan kemarahannya. Dan seperti biasa, ibunya pasti diam di kamarnya, mengurung diri setelah pertengkaran hebat seperti ini.
Aile melangkah hati-hati melewati pecahan kaca dan menuju ke arah kamar ibunya. Pintu kamar tertutup rapat, tanpa tanda-tanda kehidupan di dalam. Tangannya terulur mengetuk pelan pintu itu.
“Bu?” Aile memanggil dengan nada lembut. Tidak ada jawaban.
“Bu, ini Aile,” katanya lagi, mencoba lebih sabar. Ia menempelkan telinganya ke pintu, berharap bisa mendengar sesuatu dari dalam. Masih sunyi.
“Ibu baik-baik aja?” tanyanya, suaranya lebih pelan kali ini, penuh rasa khawatir. Namun, keheningan di seberang pintu hanya memekakkan telinga.
Beberapa detik kemudian, suara dari dalam terdengar. “Kenapa kamu baru pulang?” Suara ibunya lemah namun terdengar penuh kritik.
“Aku tadi ikut olimpiade, Bu,” jawab Aile, mencoba memberi penjelasan.
Di balik pintu, Aile bisa mendengar ibunya mendengus. “Olimpiade... Olahraga, akademik, apa bedanya? Prestasi itu nggak ada gunanya, Aile. Kamu tahu, kan?” Suara ibunya terdengar dingin, hampir sinis. “Dulu ibu juga berprestasi. Tapi lihat apa yang ibu dapat sekarang? Hanya jadi tulang punggung keluarga. Semua beban ada di ibu—ayahmu berhutang di mana-mana, kakakmu Gema terus berjudi. Kamu pikir prestasi bisa menyelamatkan hidupmu?”
Kata-kata itu menghantam hati Aile seperti pukulan keras. Setiap kata ibunya terasa seperti menutup pintu masa depannya sedikit demi sedikit. Sebagai seorang anak, Aile seharusnya merasa bangga atas pencapaiannya, tapi ibunya selalu berhasil membuat semua pencapaiannya terasa tidak berarti.
Aile menelan kepahitannya, berusaha menahan perasaan kecil hati yang perlahan-lahan menyelimutinya. Namun, kali ini ia tak ingin hanya diam. “Tapi, Bu, aku bukan Ibu. Prestasi itu penting buat aku, dan mungkin Ibu nggak bisa melihatnya sekarang, tapi aku percaya bisa melakukan sesuatu yang baik dari semua ini.”
Keheningan panjang menggantung di antara mereka. Suara di balik pintu itu terdiam, tapi Aile tahu ibunya mendengar.
Ketika Aile bersiap untuk masuk ke kamarnya, sebuah suara keras tiba-tiba terdengar dari arah ruang tamu. Pintu kamarnya terbuka dengan kasar, dan Gema muncul di ambang pintu, tampak kusut dengan rambut berantakan dan mata merah.
“Rumah berantakan begini!” Gema memekik, matanya liar. “Gak ada apa yang bikin nyaman di rumah”
Aile memutar tubuhnya, menghadap kakaknya. “kak, tolong jangan mulai. ibuk masih sakit—”
"Kenapa sih kita harus punya orang tua yang berantakan gini" kesal gema
Aile menggertakkan giginya geram "lo lebih_"
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Gema melangkah cepat, menepis keterangan Aile seakan tidak penting. “Selalu aja ayah, selalu kalian yang bikin masalah!” teriaknya.
Aile tahu ini tidak akan berakhir baik. Setiap kali kakaknya kehilangan kontrol seperti ini, selalu ada hal yang hancur, baik fisik maupun emosional. Tapi sebelum ia bisa merespons, Gema meraih gelas yang tergeletak di meja, lalu dengan satu ayunan, melemparnya ke arah Aile. Waktu seakan melambat saat Aile melihat gelas itu melayang. Gelas itu menghantam pipinya, pecah berkeping-keping di lantai.
Aile terhuyung mundur, merasakan panas di pipinya yang kini memerah. Nyeri menyebar dari titik benturan, tapi yang lebih menyakitkan adalah ketidakpedulian di mata kakaknya. Gema tak berkata apa-apa lagi, hanya mendengus sebelum keluar dari rumah, membanting pintu dengan keras.
Aile berdiri di sana, terpaku. Air matanya menggenang di sudut mata, namun dia menggigit bibirnya, menolak untuk menangis di situ. Pipinya berdenyut sakit, tapi lebih dari itu, hatinya yang terasa sesak. Suara pintu kamar ibunya yang tiba-tiba terbuka kembali mematahkan lamunan Aile. Ia melangkah cepat menuju arah itu, berharap ibunya akan keluar dan menenangkannya.
Namun, saat Aile baru beberapa langkah mendekat, pintu itu tertutup lagi dengan keras.
Dia terdiam. Harapan kecil yang tadi muncul dengan cepat dipadamkan. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya, tapi dia menolak untuk membiarkan dirinya hancur di depan pintu yang tak akan pernah terbuka untuknya.
Dengan napas yang pendek dan berat, Aile berjongkok di lantai, memunguti pecahan kaca yang berserakan. Tangannya bergetar, namun ia terus memunguti satu per satu serpihan itu, mengabaikan air mata yang mulai mengalir tanpa bisa ditahan lagi.
***
Setelah rumah sedikit lebih rapi dan pecahan kaca dibuang, Aile menyeka pipinya yang nyeri dan memutuskan untuk keluar. Udara malam yang dingin menyambutnya ketika ia berjalan tanpa tujuan, mencoba menjauh dari segala masalah yang menghimpit di rumah.
Langkah-langkahnya akhirnya membawanya ke kafe kecil di sudut kota, tempat yang sering dikunjungi banyak orang. Dari jendela besar, ia melihat sosok yang akrab—Nuka. Dia sedang melayani pelanggan di depan meja, bekerja sebagai pelayan di kafe itu. Aile berhenti sejenak, mengamati Nuka yang tengah tersenyum ramah pada pelanggan. Ada rasa lega yang tiba-tiba menyusup ke dalam dirinya hanya dengan melihat sosok Nuka di sana.
Saat Nuka akhirnya melihat Aile, senyumnya memudar sedikit. Matanya dengan cepat menangkap memar di pipi Aile yang masih terlihat merah meski agak samar. Tanpa menunggu lebih lama, Nuka memberi tanda pada rekan kerjanya sebelum menghampiri Aile dengan ekspresi khawatir.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan, tapi jelas penuh perhatian.
Aile mengangguk, meski ia tahu Nuka tidak akan puas dengan jawaban itu. “Cuma... sedikit masalah di rumah,” jawabnya singkat, berusaha menghindari detail yang lebih dalam.
Nuka menatapnya beberapa saat, lalu tanpa berkata apa-apa, dia mengambil tangan Aile dan menuntunnya ke bagian atas kafe—ke rooftop yang tenang dan sepi.
Begitu sampai di rooftop, Nuka mengajak Aile duduk di kursi kayu di bawah langit malam yang penuh bintang. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya ditemani suara angin yang berhembus pelan.
“Nuka,” Aile memulai, suaranya pelan namun terdengar berat oleh beban perasaan yang ia tahan sejak tadi. “Kenapa rasanya berat banget ya? Rumahku… orangtuaku… kakakku…” Aile terhenti, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan.
Nuka, yang sedari tadi hanya mendengarkan, menggeser tubuhnya mendekat, lalu dengan lembut menghusap rambut Aile. “Aku di sini,” katanya lembut. “Kamu nggak sendiri.”
Dan di bawah langit malam itu, di rooftop yang sunyi, Aile akhirnya melepaskan semua yang selama ini ia tahan, membiarkan dirinya menangis.