Dokter Heni Widyastuti, janda tanpa anak sudah bertekad menutup hati dari yang namanya cinta. Pergi ke tapal batas berniat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi pada Bumi Pertiwi. Namun takdir berkata lain.
Bertemu seorang komandan batalyon Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang antipati pada wanita dan cinta. Luka masa lalu atas perselingkuhan mantan istri dengan komandannya sendiri, membuat hatinya beku laksana es di kutub. Ayah dari dua anak tersebut tak menyangka pertemuan keduanya dengan Dokter Heni justru membawa mereka menjadi sepasang suami istri.
Aku terluka kembali karena cinta. Aku berusaha mencintainya sederas hujan namun dia memilih berteduh untuk menghindar~Dokter Heni.
Bagiku pertemuan denganmu bukanlah sebuah kesalahan tapi anugerah. Awalnya aku tak berharap cinta dan kamu hadir dalam hidupku. Tapi sekarang, kamu adalah orang yang tidak ku harapkan pergi. Aku mohon, jangan tinggalkan aku dan anak-anak. Kami sangat membutuhkanmu~Mayor Seno.
Bagian dari Novel: Bening
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Hak dan Kewajiban
Glugg...
Dokter Heni menelan salivanya dalam-dalam usai mendengar kata tentang malam pertama. Awalnya, wajahnya terkejut namun dengan cepat ia bisa merubahnya kembali seraya tersenyum tipis.
"Maaf, Mas. Aku belum bisa beri soal itu," jawab Dokter Heni.
"Enggak apa-apa. Aku tahu kok," ucap Seno.
Deg...
Dokter Heni melihat makna lain yang tersirat dari jawaban serta raut wajah suaminya. Ia khawatir Seno salah paham atas jawaban yang ia berikan barusan. Maka dengan segera ia harus meluruskannya.
"Maaf, Mas. Sebelum tidur tadi, datang bulanku mendadak berkunjung."
"Oh, begitu."
"Apa Mas mau aku bantu dengan cara lain?" tawar Dokter Heni yang merasa tak enak hati.
Ini pertama kalinya Seno berbicara dengan nada yang berbeda padanya. Jauh terdengar lebih lembut dari biasanya. Walaupun masih kategori datar. Tetapi jauh lebih baik daripada yang sebelum-sebelumnya selalu jutek bin ketus terkadang marah-marah tidak jelas. Sebuah kemajuan, pikirnya.
"Tidak perlu," jawabnya singkat.
Mayor Seno meneguk kopi buatan Dokter Heni hingga habis setengahnya. Tak ada yang bertukar kata kembali antara mereka berdua. Keduanya hening dengan pikiran masing-masing. Hanya terdengar suara dentingan cangkir dan lepek yang bertemu dalam pekatnya malam. Seno sejak tadi terus teringat dengan kata-kata Riko beberapa waktu yang lalu saat keduanya berbicara empat mata di cafe perkebunan yang tak jauh dari rumah dinasnya.
"Sebagai sahabat, aku hanya sekedar mengingatkanmu."
"Tentang apa?" tukas Seno.
"Dokter Heni sudah sah menjadi istrimu. Walaupun status kalian berdua saat ini masih menikah secara siri. Artinya dia itu sudah menjadi milikmu, istrimu, wanita yang halal untuk kamu sentuh atau gauli sekali pun. Terlepas apa pun alasan pernikahan kalian saat itu yang terjadi karena sebuah kesalahpahaman dan penuh keterpaksaan akibat keadaan, tapi kalian tetaplah suami istri yang sah. Pernikahan kalian itu sungguhan bukan sebuah permainan manusia pada Tuhannya,"
Kalimat panjang dari Riko seketika memenuhi pikirannya. Bahkan sahabatnya itu juga menuturkan bahwa sebagai suami, dirinya harus mengetahui hak dan kewajiban terutama di dalam rumah tangganya bersama Dokter Heni yang saat ini sudah berjalan.
Ikrar suci pernikahan sudah terucap dari lisannya, maka sepatutnya hak dan kewajiban juga mengikuti setelahnya. Sebuah hal penting yang nyaris luput dari pikiran Seno. Ia terlalu larut dalam kungkungan trauma masa lalu dan luka batin yang terus menyiksanya.
"Setiap pernikahan di muka bumi ini pasti terjadi karena kehendakNya. Walaupun kamu dipersatukan dengan Dokter Heni dengan jalan yang tak lumrah, tapi ingatlah selalu bahwa Sang Pencipta tak selalu memberi apa yang kita inginkan dan panjatkan dalam doa. Akan tetapi yakinlah apa yang diberikan Tuhan, sesungguhnya adalah yang kita butuhkan."
"Mas," panggil Dokter Heni.
"Eh, iya. Ada apa?" tanya Seno mendadak tersadar dari lamunannya.
"Dari tadi kok melamun terus. Kalau ada yang Mas pikirkan, boleh berbagi sama aku. Terkadang dengan bercerita pada orang lain, kita tidak mengharapkan solusi tapi hanya butuh didengarkan saja. Beban di pundak dan hati kita pasti jauh lebih plong jika mau berbagi. Anggap saja selain istri, aku juga bisa menjadi temanmu."
Seketika Seno berdiri dari duduknya. Dokter Heni otomatis ikut berdiri.
"Ikut ke kamarku," pinta Seno dengan tegas.
"Hah," Dokter Heni terkejut mendengarnya.
"Ayo,"
"Kopinya belum habis, Mas." Dokter Heni seketika mencoba mengalihkan dengan hal lain sambil membuang rasa gugupnya.
"Tadi bilangnya enggak mau pakai cara lain. Lalu aku diajak masuk ke kamarnya, ngapain coba?" batin Dokter Heni.
"Tolong bawakan kopiku sekalian ke kamar. Nanti aku minum di sana,"
"Baik, Mas."
Seno pun berjalan perlahan menuju ke kamar pribadinya. Sedangkan Dokter Heni mengekori di belakangnya sambil tangannya membawa kopi milik Seno dengan perasaan grogi bercampur bingung.
Ceklek...
Derit pintu dibuka dan didorong oleh Seno. Ia mempersilahkan istrinya masuk. Seketika jantung Dokter Heni berdetak dengan kencang. Bukan karena melihat kerapian atau kebersihan serta pemandangan di kamar Seno untuk pertama kalinya. Akan tetapi, ia masih bingung ketika dirinya datang bulan dan Seno menolak cara lain, namun dirinya justru disuruh masuk ke dalam kamar utama.
"Taruh kopiku di atas meja. Duduklah di atas ranjang," pinta Seno.
Dokter Heni hanya terdiam mendengar perintah Seno. Seakan bibirnya bingung ingin menjawabnya. Tetapi ia tetap melakukan semua yang diperintahkan suaminya dengan baik. Kini ia sudah mendaratkan b0kongnya di atas ranjang dengan posisi kaki yang masih menjuntai ke bawah.
Seno membuka salah satu lemari di dalam kamarnya. Tak lama terdengar bunyi seakan ia menekan tombol. Ya, ia membuka brankasnya lalu mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelah itu, ia menutup lemarinya dan berjalan ke tempat Dokter Heni duduk. Seno duduk di samping Dokter Heni. Keduanya saling berpandangan satu sama lain.
"Ini, buat kamu. Maaf, aku lupa. Jadi terlambat memberikan padamu,"
"Buat aku? Untuk apa, Mas?" tanya Dokter Heni yang belum paham maksud dari suaminya yang memberikan sebuah kartu debit berwarna gold dan satu bendel uang kertas pecahan lima puluh ribu senilai total lima juta rupiah padanya.
"Nafkah lahir dariku untukmu. Salah satu kewajiban yang harus aku lakukan sebagai suami karena sekarang kamu adalah istriku. Passwordnya tanggal pernikahan kita,"
Dokter Heni sontak tertegun. Ia terkejut saat Seno memberikan kartu dan uang tunai tadi pada tangannya secara langsung.
"Tolong diterima dengan baik. Nanti setiap bulan aku akan mengisi kartu tersebut. Semoga nominal yang aku beri bisa cukup untuk kebutuhan rumah tangga kita dan juga keperluan pribadimu sebagai wanita. Jika ada yang kurang, katakan padaku. Tegur aku jika salah. Tapi jangan pernah curangi aku,"
Seketika suasana yang awalnya tegang di benak Dokter Heni akibat kata malam pertama, justru kini berubah menjadi haru. Ia tak menyangka akan mendengar semua ini dari bibir suaminya. Bahkan kini matanya sudah tampak berembun.
Tes...
Tes...
Tes...
Luruh juga air mata Dokter Heni tanpa bisa dikomando. Seno otomatis terkejut melihatnya.
"Kenapa menangis? Apa aku salah lagi? Maaf, aku memang pria yang kaku, enggak romantis, aku_" ucapan Seno yang terdengar lesu itu pun seketika menggantung.
Sebuah pelukan hangat dari Dokter Heni tanpa diduga mendarat pada tubuhnya. Tanpa sengaja saking kencangnya, tubuh Seno terhuyung hingga ke belakang dan terjatuh. Namun tetap berada di atas ranjang. Tubuh Dokter Heni kini berada di atas tubuh Seno. Keduanya saling memandang dalam satu garis lurus yang sama.
Bersambung...
🍁🍁🍁
eh salah hamil maksudnya