DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM18
"DARMI ...!"
Bapak berdiri membentak Bulek dengan keras sampai Bian menangis karena terkejut. Langsung ku berikan Bian ke Bu Karto untuk dibawa ke kamar, biar sedikit menjauh dari keributan ini.
Bulek Darmi sudah kelewatan. Aku tidak pernah melihat Bapak semarah ini. Bulek Darmi sedikit beringsut di posisi duduknya.
"Apa hakmu menghina cucu ku?! Punya andil apa kamu terhadap anak cucu ku sampai mulut mu begitu nyinyir mengatai mereka?! Kamu mau, mulut mu itu ku sobek biar tidak bisa ngomong lagi?! Sudah habis kesabaran ku terhadap kamu. Sekarang pergi dari rumah anakku. Jangan menampakkan wajah mu di depan kami lagi! Aku tidak punya ipar sepertimu."
"Dan kamu, Bu, jika tidak terima perkataan Bapak ini ... kamu bisa ikut dia. Minta adik mu yang tidak tahu diri dan tidak tahu adat ini, untuk merawatmu. Cepat putuskan sekarang! Mau tetap bersama ku dan mengubah kelakuan mu atau ... sana, pergi ikut adikmu yang sudah membunuh bapakmu!" wajah Bapak begitu murka.
Bulek Darmi cepat-cepat berdiri dan berjalan cepat keluar. Sementara ibu berdiri bimbang mau ikut adiknya atau tetap di sini. Sampai bulek keluar pintu, ibu masih berdiri mematung.
"Aku juga gak sudi ada di rumah kandang burung begini. Jadi gatal-gatal kan badanku, masih miskin saja lagaknya sudah selangit!"
Hina Bulek sebelum menghilang ke teras.
Bapak menatap nanar ke arah pintu, lalu menghela napas panjang beberapa kali. Ibu berdiri mematung dengan ekspresi yang sulit ku mengerti. Tapi, ibu tidak ikut bulek pergi, artinya ibu mau mengubah sikapnya ke Mas Rama kan? Semoga.
Ku dengar helaan napas yang dalam dari Mas Rama yang dari tadi menunduk. Aku sekarang bahkan tidak menangis mendengar hinaan bulek. Hinaan itu seperti tantangan untukku. Aku yakin kok, dengan doa dan usaha kami, serta restu bapak dan keluarga yang lain, pasti kami akan sukses. Sukses yang kumaksud bukan hanya berupa materi, melainkan juga kesehatan dan jadi berkat untuk orang lain.
"Maaf ya, Nak. Bapak tadi pasti mengagetkan Bian. Bapak tidak bisa lagi diam kalau ada mulut jahat menghina anak, apalagi cucu Bapak. Dan ... tadi bulek mu memang sudah sangat keterlaluan. Sebaiknya kami pulang dulu ya, lain kali Bapak akan ke sini untuk main dengan cucu bapak."
"Tidak apa-apa, Pak. Rama bahagia Bapak menerima dan membela Bian."
Bapak menepuk pundak Mas Rama. "Ngomong apa kamu ini. Tentu saja bapak menerima dan membelanya. Bian cucu Bapak, kamu anak Bapak. Mulai sekarang tanamkan itu di pikiranmu ya. Maaf lagi kalau bertahun-tahun kemarin Bapak tidak membelamu."
Bapak mulai beranjak dari duduknya, aku pun juga lekas berdiri.
"Tunggu sebentar, Pak, Alana ambilkan nasi urap untuk Bapak bawa pulang."
Ku ambil rantang susun dan kuisi dengan urap komplit. Lalu ku serahkan ke bapak.
"Semoga suka ya, Pak."
,
...****************...
Bu Karto keluar dari kamar tanpa Bian.
"Bian sudah tidur lagi di dalam. Nak Alana, kalau mau tidur sekalian silahkan. Biar Ibu bereskan yang di sini. Pasti Nak Alana kurang tidur semalam."
"Iya, Bu, saya ngantuk sekali. Saya tidur aja dulu ya. Nanti Yanti ditelepon aja untuk ambil nasi urapnya kemari. Tidak usah masak lagi, nanti sore kami beli lauk matang aja."
"Yank, Mas langsung ke tempat Dono ya nganter nasi urapnya. Sudah janjian ini." pamit Mas Rama sembari menjinjing kantong plastik.
"Iya, Mas, hati-hati ya. Salam buat istrinya Bang Dono, aku tidur dulu ya, Mas."
Aku langsung masuk kamar untuk tidur. Sedangkan Bu Karto mencuci gelas bekas suguhan di dapur.
Entah jam berapa Mas Rama pulang dari tempat Bang Dono. Yang pasti saat aku bangun karena Bian menangis minta ASI, kulihat Mas Rama masih tidur di sampingku. Terlihat lelah sekali wajahnya, kasihan sekali suamiku ini. Kemarin lelah fisiknya, hari ini lelah mentalnya. Yang tabah ya suamiku sayang, pasti ada pelangi sehabis hujan.
Kubawa Bian keluar kamar setelah selesai disusui dan kuletakkan di kasur luar. Ibu-ibu datang menjenguk Bian.
Ucapan selamat ku terima dari ibu-ibu. "Selamat ya atas kelahiran bayinya, Nak Alana!"
Namanya ibu-ibu, jika lagi kumpul pasti ada saja yang dibicarakan. Bu Karto pun ikutan kumpul karena memang kan tetanggaan kita.
"Nak Alana ini beruntung ya. Cantik, pinter cari uang lagi. Dagangnya laris sampai bisa buka toko, terus punya bayi ganteng begini."
"Rejekinya halal kan ya, Nak?" tanya salah satu ibu dengan gaya sosialita kampung, gelangnya berjejer bagai rak gelang di toko emas.
"Pasti halal, Bu," jawabku singkat dan tegas.
"Bu Yesi ini ngomong apa, toh? Kok bisa sampai menduga rejeki Nak Alana tidak halal?" tanya bu RT.
"Yah kan hanya kepikiran, Bu RT. Kok naiknya cepet gitu, biasanya yang naik cepet kan pake jalan pintas." Jawab Bu Yesi sambil mencebikkan bibirnya.
"Pikiran Bu Yesi memang perlu dikasih detergen biar bersih tanpa noda. Saya salah satu saksi perjuangan Nak Alana ini. Kalau Ibu bilang jalan pintas, ya memang ada --"
"Nah tuh pake jalan pintas, kan. Sudah kelihatan kok. Makanya saya tidak mau beli dagangannya." Bu Yesi memotong kalimat Bu Karto.
"Makanya, dengerin dulu sampai tuntas, Bu Yesi. Orang belum selesai ngomong kok sudah dipotong. Nak Alana ini dapat jalan pintas yang berupa pertolongan ibu sosialita asli, bukan kayak sampeyan sosialitas kampung doank. Nak Alana ini masih saudara dengan Bu Atmaja yang tadi pagi datang pakai mobil mewah, tuh. Nah, Bu Atmaja ini sering order kuenya Alana sehingga teman-teman sosialitanya pada tahu kue Alana. Bahkan Ibu Bupati termasuk teman arisannya. Itu jalan pintasnya. Jalan pintas halal," terang Bu Karto panjang lebar.
Ibu-ibu yang lain hanya ber-oohh saja.
Sementara bu Yesi hanya terdiam, wajahnya merah padam.
"Bagaimana, Bu Yesi? Sudah puas dengan penjelasan, Bu Karto? Meski ini bukan urusan kita sama sekali, baiknya ditanyakan langsung kalo ada penasaran lagi. Tapi, lebih baik tidak usah penasaran urusan orang. Mending kita bereskan urusan sendiri." Bu RT menengahi dengan bijak.
"Saya juga saksi perjuangan Nak Alana dan suaminya, Ibu-ibu. Pertama menyewa, sampai dagang uduk, mengirimkan kue-kue gratis untuk promosi. Tidak ada yang instan, Ibu-ibu. Kalau pintu rejeki Nak Alana dibuka lebih cepat, mungkin memang menurut Allah sudah waktunya. Allah kan tahu kapan waktu terbaik buat umat-Nya," lanjut bu Nurma.
Untung ada Bu Karto, Bu Nur dan Bu RT. Kalau tidak, mungkin akan berakhir perkelahian emak-emak hehehehe.
Menjelang sore Bu Karto menyiapkan air mandi untuk Bian. Dengan bimbingan Bu Karto, ku mandikan bayiku tersayang. Ku titip Bian yang sudah bersih dan wangi ke Bu Karto, sementara aku mandi. Tak berapa lama, Mas Rama keluar kamar dengan muka bantalnya.
"Langsung mandi aja, Mas, biar capeknya ilang."
"Iya, Yank. Gerah juga, ini."
Saat kami kumpul di ruang tamu, mengobrol santai sambil menunggu Yanti dari toko. Mbak Ratih dan Mbak Eva, tetangga kontrakan, datang bersama suami masing-masing. Mbak Eva menggendong Rio anaknya yang masih berusia 1 tahunan.
Mbak Ratih kontrak di sampingku persis, kalau Mbak Eva sampingnya lagi. Mbak eva ini persis tengah-tengah. Mereka berdua adalah ibu rumah tangga.
Meski bersebelahan, aku jarang bergaul dengan mereka. Selain karena aku malas harus menghabiskan waktu untuk mengobrol yang ujung-ujungnya pasti bergosip, juga karena kesibukan ku dengan usaha kue.
"Selamat Mas Rama dan Mbak Alana. Semoga anaknya sehat selalu dan jadi kebanggaan orang tua," ucap Mbak Eva dan begitu juga Mbak Ratih.
"Terima kasih untuk doa-doanya. Ini anak kami, namanya Abian Dharmendra Kusuma yang artinya berkat Tuhan yang membawa kegembiraan bagi keluarga Kusuma. Dipanggilnya Bian," terangku.
"Nama yang bagus. Semoga doa dalam nama itu terkabulkan, Amiin," tutur Mas Surya, suami Mbak Eva.
"Amiiinn!" Kami semua mengaminkan ucapan Mas Surya.
"Doakan supaya kami cepat tertular ya, Mbak Alana dan Mas Rama," ujar Mbak Ratih yang memang belum dikaruniai momongan.
"Amin, Mbak Ratih."
"Dulu kami sepakat menunda dulu karena kondisi ekonomi. Yah meskipun sekarang belum kaya, tapi mendingan lah sejak aku dapat kerjaan tetap," kata Mas Ahmad, suami Mbak Ratih.
Mereka semua pamit tak lama kemudian.
Mbak Niken dan Yanti sudah balik dari toko. Kami makan sate ayam yang dibeli Mas Rama setelah tamu semua pulang.
...****************...
Dengan profesi baruku sebagai seorang ibu, aku harus pintar-pintar membagi waktu antara memperhatikan pertumbuhan Bian dengan mengurus usaha kue, meski dibantu Bu Karto dalam mengurus Bian.
Dalam kurun waktu 6 bulan ini aku berhasil membuka cabang kios kue ku di jalan utama dekat terminal bus. 15 menit saja dari kios yang pertama. Namanya juga sama, yaitu Kue Boenda. Gita ku tempatkan di sana bersama 1 karyawan baru, Indah namanya. Sedangkan Yanti ditemani Lisa yang ku rekrut bersama dengan Indah.
Mbak Niken masih memproduksi kue di kios pertama. Rencananya tempat produksi akan ku pindahkan di rumah baruku nantinya. Biar terpusat di rumah, tinggal dikirim ke kios-kios saja.
Usaha uduk dan lontong sayurku diambil alih Mbak Eva. 3 hari setelah Bian lahir, aku masih belum dagang, Mbak Eva memberanikan diri untuk menemuiku dan minta ijin berjualan sarapan menggantikanku untuk tambahan penghasilan karena Rio makin besar, otomatis kebutuhannya bertambah.
Mungkin dia melihat lumayan hasilnya. Aku tak masalah, bahkan ku berikan meja lapak dan etalase kecil kepada Mbak Eva secara cuma-cuma, dengan persetujuan Mas Rama tentunya. Mungkin ini jalan keluar biar aku tidak bingung membagi waktu. Ibu-ibu yang sempat menitipkan dagangannya kepadaku, ku alihkan ke Mbak Eva. Mbak Eva juga tidak keberatan.
Aku dan Mas Rama sepakat untuk membagikan sebagian rejeki kami ke pihak yang membutuhkan. Kami mulai dari lingkungan terdekat dulu. Dengan bantuan Bu RT, kami mendapatkan data janda dan fakir miskin di lingkungan kami. Tiap bulan, kami kirimkan paket sembako. Tiap minggu, kami juga berbagi roti gratis di depan kios.
Bahagia campur haru melihat senyum mereka saat menerima rejeki dari kami. Semoga Tuhan selalu mengawetkan kebahagiaan mereka.
Sebenarnya kami .....
*
*
akhirnya ya rama 😭