Hari itu Jeri tak sengaja melihat Ryuna yang sedang menari sendirian di lapangan basket. Ia yang memang dasarnya iseng malah memvideokan gadis itu. Padahal kenal dengan Ryuna saja tidak.
"Lo harus jadi babu gue sampai kita lulus SMA."
"Hah?!" Ryuna kaget.
"Pasti seru." Jeri tersenyum misterius membuat Ryuna menduga lelaki itu akan menyiapkan seribu rencana untuk membuatnya sengsara.
"Seru apanya?! Fix sih, lo yang nggak waras di sini!" gadis itu menatap Jeri dengan pandangan menghujat.
Sejak hari itu, Ryuna harus selalu berurusan dengan Jeri yang senang sekali bukan hanya mengganggu namun juga menjadikannya babu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Selain mereka, ada anak-anak yang sepertinya masih duduk di bangku sekolah dasar sedang bermain bola di pinggir lapangan. Bisa dibilang, lapangan itu memang cukup luas. Teman-teman Jeri mulai bermain voli. Sementara Jeri dititipi sebuah gitar oleh teman lelaki itu dari kelas lain.
"Lo nggak ikut main sama mereka?" tanya Ryuna.
"Entar."
"Terus gue ngapain di sini?" tanya gadis itu.
Jeri mengangkat bahu. "Ya siapa tahu lo ada gunanya."
Sekarang Ryuna benar-benar ingin menjambak Jeri.
"Lo belajar main gitar?" tanya Jeri.
"Hm, sama teman gue."
"Si Jimi?"
Ryuna menggeleng. "Sebenarnya udah dari SMP, sama teman yang lain. Tapi lo nggak salah juga, dulu sering minta diajarin sama Jimi."
"Lo mau nyanyi lagi?" tanya Jeri.
"Nggak, lo aja." tatapan Ryuna beralih ke arah lapangan.
Ia menatap teman-teman Jeri yang bahkan belum ganti baju seragam, mereka terlihat asik bermain. Lalu meledek satu sama lain jika bola meleset, bahkan ada yang mengucapkan kata kasar.
"Lo mau main juga?"
Ryuna beralih menatap Jeri. Tiba-tiba merasa aneh dengan perilaku lelaki itu yang tak semenyebalkan sebelumnya.
"Nggak," jawab Ryuna.
Jeri memainkan gitar dan menggumamkan sebuah lagu. Keningnya mengernyit mencoba mengingat kunci yang benar.
"Suara lo bagus," ucap Ryuna tiba-tiba, membuat lelaki itu langsung menoleh.
"Nggak usah geer, lagian kayaknya semua orang mengakui itu," lanjut Ryuna buru-buru menambahkan.
Jeri mendengus, lalu tersenyum tipis. Ia kembali fokus pada gitarnya.
Tak lama setelah itu, terdengar teriakan yang cukup serentak. Ryuna refleks menoleh.
"Awas, Kak!"
"Aaaa awas!"
"Jer awas!"
Ketika Jeri menoleh ke sisi lain arah teriakan, sebuah bola akan mengenai wajahnya, namun sebuah tangan lebih dulu menepis bola itu.
"Ah!!!"
Ryuna meringis setelah bola itu ia tepis. Jeri masih kaget, tapi ia segera menoleh pada gadis di sampingnya. Ryuna meniup telapak tangannya yang mulai memerah karena bola yang datang cukup kencang. Bahkan karena bola itu dari plastik dan pinggirannya ada bagian yang agak tajam, telapak tangan kiri Ryuna tergores.
"Nggak papa kan Bang?" tanya seorang anak sambil membawa bola.
Jeri langsung memelototinya. "Nggak papa pala lo. Kalau main hati-hati, entar gue kempesin tuh bola."
"Jer jangan gitu," ucap Ryuna.
"Maaf, Bang. Nggak sengaja," ucap sang bocah.
"Udah sana, main yang jauh," kata Jeri.
Bocah itu pergi, Jeri melihat telapak tangan Ryuna.
"Udah gue bilang kan, mungkin lo bakalan ada gunanya."
Mendengar itu, Ryuna mendecak. "Iya makannya lo harus berterima kasih sama gue. Kalau nggak, itu bola udah melayang ke muka lo."
"Berisik, nolong kok pamrih."
Ryuna jadi mencibir. "Tahu gini gue biarin aja bola itu kena muka lo!"
"Aldi!!! Pulang sini, main mulu daritadi! Baju sekolah juga belum diganti, anak bandel!"
Seorang wanita tiba-tiba berteriak dan melangkah ke dalam lapangan menuju anak-anak yang sedang bermain bola. Perhatian orang yang berada di lapangan jadi terarah padanya.
"Alah entar dong Mak, lagi seru nih!"
"Ngeyel aja jadi anak! Pulang nggak, atau gue masukin lagi ke rahim nih!"
Anak itu terlihat misuh-misuh.
"Anak zaman sekarang ngelawan mulu, sini lu!" ibu itu menjewer telinga anaknya di depan anak-anak yang lain.
"Iya mak iyaaa! Aduh duh lepasin dulu! Malu mak!"
"Makannya kalau diibaikin jangan ngelunjak lu."
Teman-temannya jadi menertawakan sementara si anak terus meminta ampun, ibu itu tetap mengomel. Jeri dan Ryuna yang menyaksikan itu ikut tertawa. Masa-masa seperti ini tidak akan terulang lagi.
Ryuna masih tertawa dan Jeri terkekeh ketika keduanya tanpa sengaja saling menatap. Sejenak mereka terpaku, lalu Jeri lebih dulu mengubah ekspresi menjadi biasa saja dan memalingkan pandangan ke arah lain, begitupun Ryuna. Gadis itu berdehem karena tiba-tiba merasa awkward.
"Jer? Lo main kagak?" temannya dari lapangan berteriak.
"Ayang lo mau main juga?"
"Bacot lo pada, entar gue join!" balas Jeri.
"Kalian sering main di sini? Kirain pada suka nongkrong di kafe," ujar Ryuna.
"Mereka bisa main dimana aja, yang penting seru-seruan. Lagian kebanyakan juga pada tinggal di kompleks ini."
"Oh ..., not bad, Jer."
"Apanya?" Jeri berkata tanpa menatap ke arah Ryuna.
"Circle lo kayaknya asik."
Jeri mengangguk bangga. Ryuna mungkin harus ingat kalau ia tak perlu lagi memuji sesuatu yang berhubungan dengan Jeri sedikit pun. Lelaki itu akan melambung setinggi langit.
"Entar kita cari plester buat luka lo. Perih?"
"Nggak usah. Nggak papa, cuma kegores doang."
Jeri melirik sekilas. "Sebenarnya gue nggak mau repot-repot, tapi karena udah bilang bakal tanggung jawab kalau lo kegores sedikit aja jadi ya terpaksa. Gue orangnya suka menepati janji, itu sebabnya bisa dipercaya."
"Iya in deh, biar lo senang. Umur nggak ada yang tahu."
"Sialan," ucap Jeri.
Ryuna tertawa puas karena merasa bisa membalas lelaki di sampingnya. Sementara itu, Jeri diam-diam menyunggingkan senyuman tanpa Ryuna sadari.
episode nggak kepanjangan
tata bahasa rapi,konfliknya juga masuk akal.
terimakasih author,,semoga sehat selalu dan terus berkarya