NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Raga dan Sahabatnya

 

Kedekatanku dengan Raga semakin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia menungguku di samping gapura, kemudian mengekor pulang, dan menghabiskan waktu untuk mengobrol sembari menemani aku menyiram bunga di halaman.

Yang menjadi topik pembahasan pun random. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Kadang merambah area persahabatan dan kehidupan sekolah serta pergaulan lainnya.

Pernah suatu saat, secara tersurat Raga menanyakan perihal kekasih.

“Kamu udah punya pacar belum, Dek?”

Pertanyaan yang sebetulnya sangat kuhindari. Sontak kujawab tanpa berpikir panjang. “Belum berani pacaran. Mas Raga nggak lihat Ibuku kek apa sakleknya?”

Padahal, aku memiliki Rio.

“Mas Raga sendiri bagaimana?” Aku nekat balik menanyainya dengan pertanyaan serupa.

Eh, dia malah tertawa. “Kalau punya pacar, untuk apa setiap hari ke sini? Jangan aneh-aneh.”

“Bisa aja, lah!”

“Apanya yang bisa aja?”

“Siapa tahu Mas Raga menjalin hubungan jarak jauh. Dengan yang di Bandung, misalnya,” tebakku sok tahu. Tak sadar bahwa berkata demikian sama saja dengan membicarakan diri sendiri.

“Aku bukan orang seperti itu, Dek,” dalihnya.

“Seperti itu? Maksudnya nggak bisa menjalin hubungan jarak jauh?”

“Bukan.” Tenang sekali cara dia menjawab. Nada suaranya juga datar. “Aku nggak suka membagi perasaan. Kalau memang sudah punya kekasih, biarpun jauh, nggak mungkin aku mendekati kamu.”

Telingaku serasa dicolok mendengar pernyataan santai tersebut. Pernyataan yang membuat debar-debar tak karuan. Pertama, karena merasa tersindir oleh ucapan dia. Kedua, ujung kalimat tersebut seolah bersayap.

“Kalau memang sudah punya kekasih, biarpun jauh, nggak mungkin aku mendekati kamu.”

Mendekati yang bagaimana maksudnya?

 

🍁🍁

 

“Coba sesekali ajak teman Mas Raga ke sini, biar seru,” usulku pada suatu ketika.

“Teman yang mana?”

“Memangnya Mas Raga punya banyak teman?”

“Maksudnya si Kevin?”

“Hah?” Aku tergelagap panik. “Kok jadi Kevin?”

 “Lantas siapa?”

“Ajak semua. Makin rame makin seru.”

“Untuk apa?”

“Pengen kenal,” kilahku pura-pura polos. Padahal, tujuan sebenarnya bukan itu. “Ajaklah mereka ke sini. Sekali-kali.”

“Kan sudah kenalan.”

“Kapan?”

“Waktu itu, pas hujan-hujan.”

Aku terkekeh. “Maksudnya bukan kenal yang kayak gitu.”

“Maunya yang kayak gimana?”

“Ya, pengen kenal layaknya aku kenal Mas Raga begini. Pasti lebih asyik kalau kita ngobrol rame-rame.”

“Kamu tuh sebetulnya pengen kenal temanku yang mana, sih?”

Cara bicara Raga agak aneh. Kalau boleh gede rasa sedikit, dia seperti menahan cemburu.

“Ronald?”

“Ha ha ha, kenapa jadi Ronald?”

“Terus siapa, dong?”

“Semua.”

“Emang penting banget ya kenal dengan mereka?”

Aku tak menjawab, dan tidak berani lagi mengusulkan hal demikian. Takut kecurigaan Raga semakin meruncing. Gawat kalau sampai ketahuan aku ingin mengenal Kevin. Bukan hanya malu kepada Raga, malu kepada semua sahabatnya juga. Lagi pula, siapa aku di mata Kevin? Mungkin dia sudah tidak ingat lagi kepadaku.

Namun—tak disangka, suatu pagi di hari Minggu yang basah oleh gerimis, rombongan ‘cover boy’ STM 1 itu datang menggeruduk rumahku. Tentu saja aku panik dan seketika mencelat menuju kamar mandi.

Bagaimana tidak?

Mereka datang pagi sekali, yang mana aku masih berkutat dengan hangatnya selimut, masih bermuka bantal dengan bekas belek di sudut mata kiri kanan. Sudah menjadi kebiasaan, setiap hari Minggu, selesai salat subuh aku kembali melanjutkan mimpi yang buyar oleh azan. Seakan balas dendam terhadap enam hari sebelumnya yang tidak dapat lagi bermalas-malasan begitu lantunan azan mulai berkumandang.

Apalagi hari itu mendung menggayut, disertai gerimis mengundang. Mengundang rasa malas, yang oleh anak-anak millenial biasa disebut 'mager'. Sungguh, cuaca yang sangat mendukung sekali.

 

🍁🍁

 

Jika flashback ingatan ke masa itu, aku merasa sangat bersyukur. How God really blessing of my life.

Dalam kondisi hidup yang serba pas-pasan di berbagai aspek, Tuhan memberikan sahabat se-luar biasa mereka. Kadang aku insecure. Seorang anak pembantu dan tukang becak yang tidak menarik sama sekali, bisa masuk dalam circle anak pejabat. Kami bagai bumi dan Neptunus. Meski berada dalam jajaran tata surya yang sama, mustahil untuk saling menjangkau.

Raga ngamuk setiap kukatakan bahwa aku tidak percaya diri berada di antara mereka. Kalau sudah begitu, dia biasanya langsung mengeluarkan fatwa andalan.

“Manusia itu sama di mata Tuhan. Tidak ada miskin, tidak ada kaya. Tidak ada jelek, tidak ada cakep. Yang membedakan hanya satu. Akhlak.”

Dan aku pun kehabisan argumen.

 

 

🍁🍁

 

 

Pertemuan kedua dengan Kevin. 

Fisically, belum ada yang berubah. Dia tetap dingin, bahkan—saat itu aku baru tahu—jauh lebih dingin dari yang kukira.

Ketika semua asyik berbincang ria sambil bercanda tawa, Kevin hanya duduk diam di sebelah Satria. Dia sibuk dengan benda kecil di tangan—yang akhirnya aku tahu namanya tamagotchi, seakan dunia tempatnya berada tidak menyatu dengan dunia kami.

Melihat hal unik tersebut, rasa ingin tahuku timbul. Jiwa kepo ala ibu-ibu kompleks pun muncul.

“Dia kenapa?” Entah aku tujukan untuk siapa pertanyaan tersebut. Yang jelas, tatapan mataku lurus ke arah Kevin.

“Siapa?” Satria yang menyahut lebih dulu. “Kevin?”

Kuanggukkan kepala pelan sambil tetap mengarahkan mata ke titik yang sama. Ada sedikit kekecewaan melihat orang yang aku sukai ternyata memiliki sifat demikian. Bahkan hingga dibicarakan di depan mukanya pun, dia tak ambil pusing. Angkat wajah saja tidak.

“Ah, sudahlah! Nggak usah digubris. Memang begitu anaknya,” tukas Ronald dengan nada sungkan.

Mungkin dia pikir aku tersinggung dengan ketidakacuhan Kevin yang bertamu di rumah orang, tetapi bersikap seakan tak menghargai sang tuan rumah. Ronald yang slengean saja bahkan rela mematikan rokok begitu tahu aku tidak suka perokok. Demi menghargai aku, ditahannya hasrat untuk mengisap lintingan tembakau tersebut.

Di antara mereka berlima, Ronald yang paling mendekati ciri-ciri bad boy. Biang onar, suka mempermainkan perasaan cewek, perokok, gemar dugem pula. Yang aku herankan justru para korbannya. Sudah tahu dia seperti itu, masih saja mau digombali.

Harus diakui, Ronald memang kece. Secara keseluruhan, susah menggambarkan visual pemuda itu. Namun, jika harus membandingkannya dengan sosok artis, mungkin Arifin Putra paling mirip. Setiap melihat Arifin Putra, ingatanku otomatis melayang kepadanya.

Oke, skip.

Meski menaruh kekecewaan terhadap sikap Kevin, tapi aku lega. Setidaknya rasa penasaranku bisa tuntas. Aku jadi tahu dia tipikal orang yang seperti apa. Sudah jelas penuh tantangan apabila ingin mendekatinya. Gunung es saja kalah dingin.

Sebelum hari itu, Raga sudah pernah bercerita perihal sahabatnya tersebut. Kevin, si tampan berwajah perpaduan Asia dan Timur Tengah yang tadinya aku pikir adalah manusia paling beruntung di muka bumi, ternyata memiliki nasib berbanding terbalik dengan anugerah fisik yang dia terima.

Aku lebih suka menyebut dia sebagai pangeran yang terbuang. Orang tua kandungnya meninggalkan dia begitu saja di Rumah Sakit. Hingga sekarang, asal-usul cowok itu pun tidak jelas.

Bayi Kevin yang malang diadopsi oleh seorang pengusaha Cindo bernama Hermawan. Om Hermawan belum dianugerahi anak hingga 14 tahun masa pernikahan. Begitu melihat Kevin, istrinya langsung jatuh cinta. Lantas, dia mengambil bayi tersebut dan diberi nama Kevin Candra Hermawan.

Pada saat Kevin kecil tumbuh menjadi pangeran dalam keluarga harmonis, dan usianya beranjak satu tahun, tiba-tiba sang Mami hamil. Kehamilan yang tak disangka-sangka, sebab usia Mami sudah 38 tahun saat mengetahui kalau dirinya hamil.

Sembilan bulan kemudian, lahirlah anak perempuan yang perlahan mulai menggeser keberadaan Kevin. Sungguh kasihan anak ini. Baru setahun mengecap kasih sayang indah, hidup di rumah mewah bersama hangatnya keluarga, tiba-tiba sang Papi mendeportasi dia demi si adik. Untungnya, bukan serta merta dibuang.

Kevin dititipkan pada keluarga sederhana, yang kebetulan adalah tetangga Raga. Sama seperti Kevin, Raga biasa memanggil orang itu Abah. Abah merupakan orang kepercayaan Om Hermawan sehingga sengaja anak laki-laki itu dititipkan di sana dengan tujuan agar terdidik hidup sederhana.

Suatu ketika, aku pernah mendengar selentingan cerita. Katanya, hal itu dilakukan atas saran salah satu ‘orang pintar’ yang ditemui Om Hermawan. Om Hermawan sempat diberitahu oleh ‘orang pintar’ tersebut, bahwa kelak Kevin kecil akan tumbuh menjadi pebisnis hebat. Jadi, sejak kecil harus ditempa dengan kesederhanaan supaya tidak lupa dulunya berasal dari mana.

Bagus sih, tujuannya. Cuma kan, kasihan. Dia menjalani masa remaja dengan tidak percaya diri. Tatkala teman-temannya mendapat fasilitas dari orang tua masing-masing berupa sepeda motor—misalnya, dia harus terima sekadar nebeng ke mereka. Om Hermawan bersikukuh tidak mau memberi kemewahan apapun hingga pendidikannya usai. Bahkan Abah yang kasihan dan bermaksud membelikan motor, dimarahi habis-habisan.

Satu-satunya benda berharga yang dibelikan oleh Papi dan Mami Kevin—di luar peralatan sekolah—adalah mainan tamagotchi yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi. Zaman sekarang tamagotchi sudah menjadi mainan lumrah, wajar dimiliki oleh anak dari berbagai kalangan. Berbeda dengan zaman dulu. Tamagotchi adalah mainan yang tergolong mewah. Tidak heran jika akhirnya mainan tersebut menjadi benda istimewa bagi Kevin, disayang melebihi apapun.

 

🍁🍁

 

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓 menuju Hiatus
Hai ka
gabung yu gc bcm
caranya wajib follow akun saya ya
spaya bs sy undang mksh.
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka alur ceritanya.. b8kin deh deg an.. jengkel juga sama sikap si nada.. bikin gemes.. juga sama si raga
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!