NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.08 - Drama yang Terus Berlanjut

Tak jauh berbeda dengan ruang 9, ruang 14 pun mengalami kemalangan karena ulah kakak kelas. Semuanya berawal dari Amanda, yang berimbas pada semua siswi kelas 1-7 di ruang 14.

“Kumpulkan ponsel kalian di depan!” perintah si pengawas ujian.

Sebagian peserta ujian maju ke depan, kemudian meletakkan ponsel masing-masing di atas meja guru. Shakila juga hendak maju, sampai dia mendapati Nylam yang tetap duduk di kursinya.

“Nylam, lo gak ngumpulin HP?” tanya Shakila setengah berbisik.

Nylam menggeleng, "Aku mah gak bakal ngeliat Hp ini. Males kalau harus ditaro di depan.”

Mendengar alasan Nylam, Shakila pun menurutinya. Tidak hanya Shakila. Shanaya, Welda dan Zeira juga turut tak mengumpulkan ponsel di meja guru. Mereka menaruhnya di kolong meja, didorong hingga ke pojok.

Kartu ujian dikumpulkan di barisan paling depan. Lembar soal telah dibagikan. Sebenarnya, walau ponsel sudah dikumpulkan ke depan, kesempatan untuk menyontek tetap ada. Nylam melirik ke kakak kelas yang duduk di sampingnya.

Gadis itu menarik perhatian Nylam karena berani mengintip buku. Bukan hanya dia, tapi beberapa kakak kelas lainnya saling menukar jawaban dengan menuliskannya di kertas dan mengoper ke target.

Untung saja motto hidup Nylam yang tak mau menyenggol orang lain tetap ia pegang teguh. Karena dirinya pun pernah di posisi mereka, Nylam sadar diri. Nylam juga bukan sosok manusia yang bersih dari dosa menyontek. Buktinya sekarang dia sedang menunggu Shakila menjawab soal nomor 27 karena Nylam lupa apa yang tertulis di buku.

Namun sayang, Nylam duduk tepat di depan Sheryl. Sejak awal masuk ke ruangan ini, Sheryl sudah memperhatikan gerak-gerik siswi kelas 1-7, teman sekelas musuh bebuyutannya. Hal menarik pun terjadi saat Nylam tak mengumpulkan ponselnya dan sekedar menyimpannya di pojok kolong meja. Ceroboh.

Sheryl menyeringai. Cara kotor ini memang takkan bisa membalas dendamnya pada Amanda. Tapi dia akan tetap melakukannya sebagai teguran untuk si pemimpin pasukan oranye.

Sheryl mengangkat tangannya, membuat si pengawas yang sibuk menandatangi kartu ujian pun bertanya-tanya.

“Iya? Ada apa?”

Senyum Sheryl semakin lebar, “Pak, cewek di depan saya gak ngumpulin HP-nya. Dia malah nyembunyiin HP-nya di kolong meja.”

Degup jantung Nylam seketika berhenti. Dia berbalik cepat, menghadap Sheryl yang nyaris tak bisa menahan tawanya. Dahi Nylam berkedut kesal. Dia tak menyenggol manusia ini, kenapa pula malah disenggol balik? Nylam salah apa sampai-sampai kakak kelas ini melaporkannya.

Pengawas ujian berjalan mendekati meja Nylam. Ia merogoh kolong meja hingga ke pojok-pojoknya. Bulir keringat Nylam mengucur deras. Apalagi saat tangan si pengawas menarik keluar handphone dari dalam kolong. Wajah si pengawas memerah, dia menggenggam handphone Nylam dengan kuat.

“BUKANNYA TADI SAYA SUDAH MEMINTA KALIAN UNTUK MENGUMPULKAN PONSEL?!” teriak si pengawas, matanya menyorot tajam ke arah Nylam yang menunduk dalam. “Apa ada lagi yang tidak mengumpulkan HP?”

“Anak-anak kelas 1-7 gak ada yang ngumpulin HP, Pak.” Jawab Sheryl.

Dalam hatinya dia tergelak bersukacita.

...****...

Lail berdiri di depan ruang 9. Dia menunggu Nylam lewat agar mereka bisa ke kantin bersama. Sebab Bening pasti menunggu mereka berdua di bawah. Lail berjinjit mencari keberadaan Nylam di antara banyaknya siswi yang lewat untuk turun ke kantin.

“Oh, Nym!” panggil Lail saat ujung matanya menangkap sosok Nylam. Tapi anehnya, temannya yang selalu kelewat santai itu kini berwajah masam.

“Kenapa?” tanya Lail saat Nylam sudah berada di dekatnya. Mereka berjalan beriringin menuju lantai bawah.

“Kesel! Itu kakak kelas nyari ribut aja! Kan disuruh ngumpulin HP, aku gak mau karena males. Tapi 'kan aku juga gak nyontek ke HP. Nyonteknya paling nanya ke si Shakila. Eh, kakak kelas yang duduk di belakang aku malah ngadu. Jadi aja pulang sekolah nanti harus ulangan ulang.” Nylam memulai keluhannya.

“Lagian, meski males juga mending dikumpulin aja HP-nya.” Tegur Lail.

Masalah ini tidak bisa dia bebankan pada si kakak kelas yang mengadu ke pengawas. Tapi sepenuhnya salah Nylam karena tidak menaati peraturan. Sekarang apa? Nylam juga yang kena batunya.

"Aku juga gak nyontek ini, La.” Nylam berusaha membela diri.

Lail diam saja. Dia enggan memperkeruh suasana hati Nylam. Nylam memang salah di sini, tapi dia jelas tak mau disalahkan. Jadi, daripada Lail ribut, lebih baik dia tutup mulut dan duduk manis saja.

“Ruangan neraka.” Keluh Nylam lagi.

“Ruangan aku juga gak lebih enak. Si Isvara satu ruangan sama anak 2-7 yang saling senggol sama dia, Marina namanya. Tadi aja pas sebelum ujian dia nyelengkat kaki Var sampe jatuh.”

“Kayaknya ruangan yang ditempatin sama 1-7 gak ada yang bagus!” timpal Nylam.

“Entar tanya Bening aja, semoga aja ruangan dia gak zonk kayak kita.”

Setelah bertemu Bening di depan ruang 7, mereka bersama-sama menuju kantin. Sesi curhat dan menggosip belum mulai karena Nylam kelaparan. Baru akan dimulai jika mereka sudah duduk manis di kantin.

“Ning, Azara mana?” tanya Lail.

“Biasa, sama Welda.” Bening menjawab singkat.

“Mereka jadi makin akrab, kayak duo.”

“Yah, ekskul sama, gimana gak bakal akrab?” Bening bertanya retoris. “Oh, ekskul libur atau gimana nih? Kan lagi ujian.”

“Libur kata pembina.” Sambung Nylam.

Duduk di kursi panjang kantin bersama gerombolan lain di sisi kanan dan kiri. Lail yang tak bosan dengan jajanan yang itu-itu saja setia pada Mang Pundi dan batagor 5.000 peraknya. Nylam dan Bening kompak membeli seblak dengan level terpedas. Terlihat sekali jika mereka tak sayang lambung.

Nylam mulai curhat pada Bening apa yang baru saja menimpa dirinya dan yang lain di ruang 14. Menceritakan betapa piciknya kakak kelas yang satu itu. Respons Bening berbanding terbalik dengan Lail. Kalau Lail cenderung netral, Bening justru mendukung Nylam dan marah pada kakak kelas yang melaporkan Nylam.

“Harusnya ente serang balik! Mereka juga ‘kan nyontek, ya tinggal bilangin aja lah!” ucap Bening mengompori.

Nylam setuju. Tanpa diberitahu Bening pun dia akan melakukan hal tersebut untuk membalas dendam. Nylam tak terima, sebab dia jadi harus melakukan ujian ulang sepulang sekolah yang akan membuat dirinya terlambat pulang. Kalau Nylam sekali saja melihat mereka menyontek, tak ada ampun buat mereka.

Lail jadi penasaran, kenapa kakak kelas itu berani melakukannya. Ada dua kemungkinan yang Lail pikirkan. Awalnya Lail kira siswi itu tak suka ada yang melakukan kecurangan di kala ujian, tapi kemungkinan itu menjadi mustahil karena Nylam mengatakan dia juga saling menukar kertas berisi sontekan dengan temannya.

Jadi, mungkin dia orang yang suka cari perhatian. Dia akan membangun kesan bagus di depan para guru dengan melaporkan tindakan menyontek. Atau kedua, dia memang punya masalah dengan Nylam. Namun, penyebab itu menjadi nihil karena saat Nylam curhat, dia tak menyebut nama, hanya mengatakan kakak kelas. Itu berarti Nylam tak kenal.

Tapi kalau si kakak kelas yang kenal sama Nylam...

Kemungkinannya memunculkan cabang baru, yang ketiga. Si kakak kelas bukannya membenci Nylam, melainkan kelas 1-7. Jika memang benar, akar masalahnya belum ditemukan. Apa alasan si kakak kelas ini tak suka pada kelasnya?

“Untung aja kelasku gak ada masalah apa-apa. Masing-masing aja ngerjain. Kita nyontek, mereka gak peduli. Mereka nyontek pun kita diem aja.” Bening bersyukur karena mendapat ruang 7, walaupun ada Amanda di sana.

Tapi dia senang karena ruangannya tak ada masalah berarti seperti di ruang 14. Atau ruang 9 yang ditempati Lail, karena perang antara Isvara dan Marina bisa meletus kapan saja. Nasib Bening kali ini jauh lebih baik daripada Lail dan Nylam.

Bel masuk berbunyi, ulangan terakhir hari ini dimulai. Mungkin sudah tahu akan niat Nylam, seluruh siswi kelas 2-2 di ruang 14 tidak terlihat menyontek sama sekali di ujian kali ini. Nylam dan yang lain pun mulai patuh dan mengumpulkan ponsel di meja guru. Masalah antara Isvara dan Marina tidak semakin memburuk, tapi Lail tetap harus waspada.

Hari pertama ujian yang sangat menguras energi inipun akhirnya usai. Bening sudah memberitahu Lail akan telat sebentar karena harus bertemu Pak Juan. Dia meminta Lail menunggunya di depan gerbang sekolah.

“Bener nih gak usah aku tungguin di sini?” Lail bertanya memastikan. Bening mengangguk mantap.

Lail pasrah, dia berjalan sendirian ke gerbang sekolah sembari mengabaikan panggilan abang-abang supir angkot serta klakson mobil mereka yang mengusik pendengaran.

“Oh!”

Mata Lail bersinar cerah ketika ia melihat Wiyan dengan sepeda ‘mahal’nya. Dia berhenti di depan gerbang sekolah, tengah menerima telepon dari seseorang. Lail menengok ke dalam gerbang, belum ada tanda- tanda Bening. Dengan kemampuan menyeberangnya yang super nekat, Lail berlari melintasi jalan raya menuju trotoar seberang. Lail menghampiri Wiyan. Tangannya merogoh sesuatu ke dalam tas.

“Iya, entar aku cari sampe ketemu.”

Wiyan baru menyadari Lail ketika gadis itu sudah berdiri di sampingnya. Wiyan mengangkat tangannya pada Lail, mengisyaratkan bahwa Lail harus menunggunya sebentar. Lail mengangguk, lalu dengan tenang menunggu Wiyan menyelesaikan panggilannya.

Wiyan menyelesaikan panggilannya dengan cepat, dia menatap Lail dengan tanda tanya di benaknya. “Itukan...” belum sempat Lail bicara, Wiyan langsung memotong. Matanya tertuju pada buku kecil yang dipegang Lail.

“Nih, punya kamu. Kayaknya pas nganterin aku sampe depan gang, malah jatuh. Untung aku yang nemu duluan. Tadinya mau langsung kupanggil, eh malah udah belok gang. Ya udah kubalikinnya pas papasan di sekolah aja.” Papar Lail, ia menyerahkan buku tabungan Wiyan kembali.

“Gue cari ke mana-mana gak ketemu, ternyata ada di lo.”

“Oh ya, kuintip dikit, maaf ya.” Lail nyengir kuda. Hampir seminggu benda itu ada di rumahnya, tidak mungkin Lail tidak mengintipnya walau hanya sedikit.

“Tapi hebat loh, masa kamu yang masih kelas 1, tapi isi rekeningnya udah dua digit. Kamu kerja sambilan ‘kah?” Lail bertanya-tanya.

Lail cukup terkejut dengan nominal isi rekening milik Wiyan. Awalnya dia tak percaya, tapi pemilik rekeningnya jelas tertulis nama lengkap Wiyan. Lail saja yang menabung dari SD baru dapat empat juta, itupun karena sering diambil untuk kebutuhan mendadak. Tapi Wiyan? Dedikasi Wiyan sangat tinggi sampai isi rekeningnya sebanyak itu.

Wiyan tampak bingung mau menjawab apa, tapi dia mengiyakan saja dugaan Lail. “Yah... semacam itu.”

“Keren, keren. Terus, itu mobil yang kamu omongin minggu kemarin beneran punya kamu ‘kah?” Lail mendadak kepo.

“Gak lah, itu punya bokap.”

“Dih, kirain beneran.” Gumam Lail.

Tadinya Lail mengira Wiyan tidak bercanda. Soalnya isi rekening tak bisa berbohong. Ditambah sepeda yang Wiyan pakai, harganya bisa menyamai laptop spek tinggi –bukan dewa.

“Ya udah, gue duluan.” Pamit Wiiyan, tapi gerakan kakinya di pedal berhenti. “Apa lo mau gue anter pulang?”

“Makasih, tapi gak usah, aku bareng temen.” Lail menolak.

“Oke, bye.”

“Bye, Iyan!”

Baru satu meter Wiyan menggowes sepedanya, dia malah mundur lagi.

Memandang Lail tidak percaya. “Lo manggil gue apa tadi?”

“Iyan.” Jawab Lail singkat.

“Kenapa?” Wiyan mengangkat sebelah alisnya heran.

“Lebih pendek aja daripada Wiyan.”

“Denger,” Wiyan memperbaiki posisi duduknya di jok sepeda. “Wiyan sama Iyan itu sama-sama punya dua suku kata, gimana bisa Iyan lebih pendek dari Wiyan?” Wiyan mengangkat dua jarinya.

Lail mengibaskan tangannya, “Gak usah ribet. Masalah nama panggilan doank kok dibuat ribet.”

“Masalahnya itu nama panggilan keluarga buat gue.” Protes Wiyan.

“Apa masalahnya? Temen itu adalah keluarga!” bela Lail.

“Temen gue manggil gue Agung.” Wiyan berkata dengan nada datar. Hening sejenak.

“Pfft...!” Lail tak bisa menahan tawanya. “Agung? Itu Agung dapet dari mana? Nama Wiyan Farras Wijaya kok bisa dipanggil Agung? Kalian ngundi nama panggilan buat sekelas ‘kah?” Lail tergelak. Air matanya sampai mengalir karena tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Wiyan hanya menatap datar mantan lawannya itu.

“Hehe, maaf-maaf.” Lail menyeka matanya yang berair, perutnya mulai terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. “Tapi bakal tetep kupanggil Iyan.” Lail bersikeras dengan keputusannya.

Wiyan tak protes lagi. Terserah apa kata Lail, berdebat dengannya hanya membuat mulut berbusa, tapi tak menghasilkan apa-apa. Wiyan memeriksa lockscreen ponselnya. Sudah pukul 11:45, dia harus segera pulang.

“Mau gue sebrangin?” tawar Wiyan.

Namun lagi-lagi Lail menolaknya. Gadis itu jelas sudah sangat ahli. Sayang sekali tadi Wiyan tidak melihatnya menyeberang dengan lihai karena sedang menelepon. Lail menatap ke gerbang, ternyata Bening sudah ada di sana. Bening melambai padanya, meminta Lail bergegas agar klakson angkot tidak semakin memekakkan telinganya.

Lail menyeberang dengan aman. Karena tidak mau dibantu, Wiyan hanya mengawasi di sepedanya sampai Lail tiba di seberang.

“Ngapain tadi?” tanya Bening.

“Balikin buku tabungan yang aku temuin di jalan.” Jawab Lail, dagunya menunjuk Wiyan yang belum beranjak dari posisinya sejak Lail menyeberang. Sepertinya dia sedang menunggu Lail sampai gadis itu masuk angkot. “Mana angkot yang kosong?”

“Tuh!” Bening menunjuk angkot yang ngetem di paling belakang. sudah ada penumpang, tapi masih cukup untuk menampung dua orang lagi.

Bening yang membuka pintu angkot, di sanalah Lail kembali melihat goresan di pergelangan tangan gadis itu. Bukan yang baru, itu goresan lama, sudah mau menghilang bekasnya. Lail tak mengungkit, dia kembali menjadi sosok yang tugasnya sekedar mengamati.

Di sisi lain, ia juga khawatir Marina akan bertindak karena kesempatan bisa berada di ruangan yang sama dengan Isvara mungkin takkan terjadi lagi. Ah, ingin rasanya Lail salto di sepanjang lorong sekolah karena jengkel setengah mati. Semoga saja hari esok bisa berjalan dengan lancar dan damai.

Semoga.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!