Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Terjebak di Masa Lalu
Kenangan akan Diana terus menghantui Ello, apalagi Ziel, keponakannya yang usil, masih meyakini bahwa Diana masih hidup dan akan kembali suatu hari. Pikiran itu semakin membuat Ello sulit melangkah maju, terus terjebak dalam bayangan masa lalu yang tak bisa ia tinggalkan.
Sekejap, ingatan tentang saat-saat indah mereka dulu kembali menyeruak di benaknya. Ia teringat suatu hari di taman, ketika Ziel yang waktu itu masih berusia lima tahun, berlari-lari mengitari mereka. Diana tertawa melihat tingkah Ziel yang tak henti-hentinya menarik perhatian.
“Om Ello, ayo kejar aku!” teriak Ziel sambil berlari, menggenggam balon merah di tangannya.
Ello saat itu berpura-pura malas, tapi Diana, dengan senyum khasnya, mendorong Ello untuk ikut bermain.
“Dia tidak akan berhenti sampai kamu kejar,” Diana berkata sambil tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kasih sayang.
Ello menyerah. Ia mulai berlari, mengejar Ziel yang tertawa kegirangan. Namun, tanpa sepengetahuan Ello, Ziel sudah punya rencana. Saat Ello mulai mendekat, Ziel sengaja melompati semak-semak kecil dan tiba-tiba, ia berhenti mendadak tepat di depan Diana, membuat Ello kehilangan keseimbangan, Ziel menghindar dan Ello jatuh menabrak Diana. Mereka berdua jatuh ke tanah dengan tawa yang pecah seketika.
"Ini rencanamu, 'kan? Dasar bocah tengil!" Ello kesal sekaligus gemas pada Ziel karena ulah jailnya, menatap Ziel yang berlari menjauh.
Ziel tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk Ello yang terjatuh. “Hahaha, Om Ello ceroboh!” ujarnya sambil menjulurkan lidahnya mengejek Ello yang mengerang kesal.
Diana, masih di bawahnya, terkikik sambil menatap Ello, mata mereka bertemu. Di momen itulah Ello merasa ada sesuatu yang berbeda. Kedekatan mereka terasa begitu alami, dan saat Diana tersenyum, Ello tahu dia jatuh cinta semakin dalam.
“Sepertinya Ziel lebih tahu bagaimana membuat kita lebih dekat,” ucap Diana sambil tertawa pelan, menyadari betapa usilnya keponakan Ello dalam menyatukan mereka.
"Bocah itu!" Ello mengerang kesal, berusaha bangkit sambil mengusap lututnya yang sedikit tergores. “Ziel!” Ello berteriak, mencoba mengejar anak itu, namun Ziel dengan cekatan melompat menjauh, tertawa makin keras. “Dasar bocil tengil! Tunggu saja nanti kalau tertangkap, akan kubalas kejailanmu!” ancam Ello setengah bercanda, tapi senyumnya tak bisa ditahan karena tingkah Ziel selalu membawa keceriaan.
Kenangan itu berputar kembali, mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah ada. Ziel, dengan segala keusilannya, tanpa sadar mempererat hubungan mereka. Kini, kenangan itu hanya menjadi bayangan yang semakin menekan Ello. Diana sudah tiada, tapi Ziel masih saja percaya dia akan kembali.
Ello menarik napas dalam, mencoba menahan perih yang terasa semakin kuat. “Diana ... jika saja aku bisa melihatmu lagi, meski hanya sekali,” gumamnya, pandangannya kembali kosong menatap langit malam.
Sementara itu, Ziel duduk bersandar di head board ranjangnya, memeluk robot kecil di tangannya. Jemari mungilnya dengan lembut mengelus permukaan robot itu, seolah takut mainan kesayangannya itu akan hancur jika disentuh terlalu keras. Robot itu adalah hadiah terakhir dari Diana, tantenya, sebelum kecelakaan itu merenggut kebersamaan mereka.
Ingatan Ziel kembali ke hari terakhir ia melihat Diana, hari dimana terjadi kecelakaan. Waktu itu, Diana membungkuk di hadapannya, tersenyum lembut sambil menyerahkan robot mainan itu. “Ziel, ini robot untuk kamu. Jaga baik-baik, ya! Nanti, saat Tante kembali, Tante ingin lihat robot ini masih utuh,” ucapnya dengan suara lembut yang masih terngiang jelas di telinga Ziel.
Ziel, yang saat itu baru berusia enam tahun, menatap Diana dengan raut cemas. Ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Diana. “Tante mau pergi?” tanya Ziel dengan nada penuh kecemasan.
Diana tersenyum lembut, berlutut di hadapan Ziel agar sejajar dengannya. “Iya, Sayang. Tapi nggak lama, kok, hanya mau foto prewedding aja, kok. Tante akan segera kembali,” jawabnya sambil mengusap pipi Ziel dengan penuh kasih.
Ziel menatap Diana dengan mata yang penuh ketulusan dan kerinduan. “Tapi Ziel nggak mau Tante pergi ... Ziel mau main sama Tante lagi,” rengeknya sambil menggenggam tangan Diana dengan erat, seolah takut kehilangan pegangan yang menghangatkan hatinya.
Diana tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Tante pasti kembali, Ziel.”
Ziel, yang masih belum merasa tenang, mengulurkan jari kelingkingnya. “Janji?”
Diana mengaitkan jari kelingking mereka. “Janji.”
Mata Ziel membesar. “Tante nggak pernah ingkar janji, ‘kan?"
Diana menggeleng lembut, tatapan matanya terasa hangat namun menyimpan kedalaman yang tidak dimengerti Ziel saat itu. “Tante nggak pernah ingkar janji. Kemanapun Tante pergi, Tante pasti akan kembali buat kamu. Tante janji,” ucapnya pelan, seperti sebuah janji yang terlontar dari hati terdalamnya.
Namun, Ziel tiba-tiba memunculkan ide yang membuat suasana menjadi ceria. Dengan mata berbinar, dia menatap Diana dan berujar, "Tante, aku ingin ikut dan melihat Tante melakukan foto prewedding bersama Om Ello! Pasti seru!"
Diana terkejut mendengar permintaan Ziel. "Tapi Ziel, tempatnya agak jauh, dan Tante khawatir kamu akan kecapekan," jawabnya lembut, berusaha mengingatkan anak kecil itu tentang jarak yang harus ditempuh.
Namun, Ziel tidak mau mendengar. Dia melipat tangan di depan dada dan menggoyangkan kakinya, memperlihatkan ketidakpuasannya. "Tidak! Aku ingin ikut! Aku bisa bantu, dan aku ingin melihat Tante dan Om Ello berfoto!"
Diana tersenyum melihat semangat Ziel, meskipun dia tahu bahwa membawa anak kecil dalam perjalanan jauh bisa menjadi tantangan tersendiri. "Ziel," katanya lembut, "sebelum kita memutuskan, kamu harus meminta izin kepada orang tuamu dulu, ya?"
Kembali pada saat ini ....
Ziel menghela napas panjang mengingat kenangan itu. Kini, di kamar yang sunyi, Ziel memeluk robot itu lebih erat. Janji itu terpatri dalam benaknya, dan sampai sekarang, ia masih mempercayai setiap kata yang diucapkan Diana. “Tante Diana sudah janji, kemanapun Tante pergi, ia pasti kembali ... Tante nggak mungkin ingkar janji,” gumam Ziel, meyakinkan dirinya sendiri. Hatinya yang kecil masih penuh dengan keyakinan bahwa Diana akan menepati janjinya, suatu hari nanti.
Di kamar, Elin terbaring di samping Zion, kepalanya bersandar di dada suaminya. Suara napasnya terdengar berat, menandakan ada banyak hal yang membebani pikirannya. Dengan perlahan, ia menghela napas panjang. “Sudah setahun sejak Diana menghilang tanpa jejak, dan sampai sekarang Ziel masih yakin kalau Diana akan kembali,” ucapnya pelan, nada suaranya mencerminkan kekhawatirannya.
Zion diam sejenak, memikirkan putranya yang masih berjuang dengan kenyataan pahit itu. “Kamu tahu sendiri, Ziel sudah mengenal Diana sejak umur empat tahun. Mereka sangat dekat, Diana seperti ibu kedua bagi Ziel. Setiap momen kebersamaan mereka, Diana selalu ada. Wajar saja kalau Ziel merasa begitu kehilangan dan belum bisa menerima kenyataan,” jawabnya sambil mengusap lembut kepala Elin.
Elin mengangguk pelan, tetapi kegelisahannya belum sirna. “Tapi masalahnya bukan cuma itu. Keyakinan Ziel bahwa Diana akan kembali juga membuat Ello semakin sulit untuk melupakan Diana. Ziel terus menghalangi Ello untuk membuka hati pada wanita lain karena dia percaya Diana akan pulang,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lirih.
Zion menghela napas, merasakan beban itu juga. “Iya, Om dan keponakan itu seolah patah hati bersama-sama.”
Elin tertawa kecil, meskipun terasa getir. “Kalau begini, susah sekali menemukan wanita yang bisa mendampingi Ello. Ziel selalu saja menghancurkan setiap usaha Ello untuk memulai hubungan baru.”
Zion tersenyum tipis, lalu berkata, “Tapi mungkin Ello belum menemukan orang yang tepat. Atau mungkin ... Ziel memang tidak sepenuhnya salah.”
***
Pagi yang cerah menyelimuti ruang makan keluarga Zion. Aroma roti panggang memenuhi udara. Di meja, Zion, Elin, Ello, dan Ziel sedang menikmati sarapan bersama. Suasana nyaman dan akrab menghangatkan ruangan, meskipun ada sesuatu yang tampak menggelayuti pikiran.
“Apa aku terlambat jika ikut sarapan?”
Suara yang mendekati meja makan itu membuat semua orang menoleh ke sumber suara.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued