Riana, seorang CEO wanita yang memegang kendali beberapa perusahaan, bertemu dengan Reyhan, anak muda yang masih sangat....sangat idealis, dengan seribu satu macam idealisme di kepalanya, pada sebuah pesta ulang tahun anak Pak Menteri. Keduanya harus berhadapan dengan wajah garang ibu kota dan menaklukkan ganasnya belantara Jakarta dengan caranya masing masing. Bisnis, intrik dan perasaan bergulung menjadi satu. Mampukah keduanya? Dan bagaimanakah kelanjutan kisah diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 : PERINGATAN DIANDRA
Dua wanita cantik beda usia tengah menikmati es krim di sebuah konter es krim yang cukup punya nama, Turin Ice Cream Parlour. Riana memilih Macedonia ,karena mengandung whisky, sementara Santi, sebagaimana anak anak, lebih menyukai yang rasa coklat.
Sore itu, langit Jakarta sangat cerah, sebagaimana wajah Santi saat itu. Ia sangat gembira karena baru saja memperoleh stiker idamannya. Walaupun bekas, karena baru saja di copot dari mobil Riana, bukan dari pabriknya langsung, tetapi stiker tersebut masih kelihatan sangat bagus karena yang melepas adalah pegawai toko asesoris yang sudah sangat berpengalaman. Besok akan dipasangnya di mobil orang tuanya yang biasa digunakan untuk antar jemput. Tentu teman temannya akan merasa iri, apalagi ini stiker edisi ke dua.
"Kok kamu senyum senyum dari tadi, San? Ada apa?" tanya Riana
"Tidak apa apa, Bun. Cuma Santi membayangkan besok tentu teman teman Santi pada tanya tentang stiker ini."
"Hm......"
"Nanti kalau ditanya dapat dari mana, Santi bilang saja dari Bunda ya? Trus Santi mau bilang kalau Bunda kenal bang Reyhan. Biar teman teman makin iri."
"Hush....bunda tidak tahu siapa itu Reyhan atau pabrik kata kata apa itu namanya? Angkasa Bersuara? Ya, Bunda tidak kenal semuanya. Nanti kalau kamu bilang kenal, lalu semua minta diantar kesana bagaimana?"
"Iya ya Bun? Nanti tidak eksklusif lagi dong? Habis Santi harus bilang bagaimana?"
"Bilang aja apa adanya. Sesuai yang Bunda ceritakan tadi. Bunda tidak tahu siapa yang menempelkan stiker tersebut di mobil Bunda. Bunda tidak suka mobil Bunda dipasangi stiker, jadi ya stikernya dilepas lalu diberikan ke kamu."
"Begitu ya, Bun?"
Riana mengangguk. Senyum Santi makin cerah. Membayangkan teman temannya akan bertambah penasaran.
Bagi Riana, Santi adalah teman, tempat mencurahkan perhatian setelah lelah seharian bekerja di kantor atau menghadiri meeting atau undangan. Entah kenapa ia suka kepada Santi sejak masih kecil. Sejak masih dalam perut kakaknya, ia sudah jatuh cinta. Apalagi ketika lahir, semua orang yang melihat mengatakan bahwa jidat anak itu seperti jidatnya.
Clara, kakaknya, sering uring uringan terhadapnya. Karena Santi selalu mengadu kepada Riana kalau ada masalah atau kena marah oleh orang tuanya. Setiap kali kakaknya ngomel terhadapnya, Riana selalu menjawab dengan tertawa. Demikian juga kalau Clara menggodanya.
"Lebih baik kamu kawin saja, Ria! Anak aku cuma satu kamu manjakan seperti itu. Kalau sama papa masih bisa dimengerti."
"Memang tidak boleh ya sedikit memanjakan keponakan sendiri?"
"Nah...gara gara itu, dia selalu ngadunya ke kamu. Padahal aku kan mamanya?"
Riana tertawa.
"Kenapa kamu tidak nambah anak saja?"
"Mauku juga begitu. Tapi tidak tahu ini kenapa tidak jadi jadi?"
Ya barangkali terlalu sibuk. Clara memang paling sibuk diantara saudara saudaranya. Perusahaannya ada tujuh belas. Semua ia yang mengendalikannya sendiri, tentu bersama suaminya. Clara memang mewarisi darah bisnis dari papanya, bahkan mengembangkannya dengan sangat baik.
Adik Riana, Meredith, juga tertarik urusan bisnis. Bahkan ia tak menunggu untuk menyelesaikan pendidikannya lebih dulu. Langsung terjun, dan lebih banyak berhubungan ke luar negeri.
Riana sendiri, meskipun juga terjun ke dunia bisnis, termasuk yang paling terlambat. Karena ia harus menyelesaikan pendidikannya lebih dulu di Bergman University, dan kemudian bergabung dengan kakak dan adiknya.
Dalam hal bisnis, ada perusahaan dimana Riana bergabung dengan kakaknya, ada yang join dengan adiknya, atau dengan papanya, tapi ada dan banyak pula perusahaan yang menjadi miliknya sendiri.
Tiba tiba, ponsel Riana berdering. Santi yang tengah menikmati es krim nya melirik tak acuh. Pasti urusan bisnis, pikirnya. Tante, yang dipanggilnya Bunda ini juga sama sibuknya seperti papa dan mamanya. Untungnya dia belum menikah. Tapi santi juga belum pernah melihat Bundanya bersama pacar atau tunangannya.
Telepon itu ternyata dari Diandra. Mempersoalkan Reyhan lagi. Haduuhhh.... kenapa nama itu tak habis habisnya mengganggunya selama dua hari ini?
"Sori, Ria..... Aku tak mau ikut campur. Itu masalah pribadi. Tapi sebagai teman baik, aku cuma memperingatkan agar kamu menjaga diri. Lebih baik menjauh. Aku tidak ingin kamu jadi korban Max."
Susah kan? Bagaimana Riana harus menjelaskan kepada Diandra? Apakah dia mau percaya dengan ceritanya nanti?
Tapi Riana jadi tersinggung. Diandra terlalu meremehkannya. Apa karena statusnya sebagai anak Pak Menteri?
"Well, terima kasih atas pemberitahuannya. Tapi saya kira saya cukup dewasa untuk mengambil sikap."
Mendengar jawaban Riana, nada suara Diandra langsung berubah seketika.
"Ria, aku bermaksud baik, kamu jangan salah paham. Kita berteman sudah lama. Aku mengerti, nasehat semacam ini tak diperlukan oleh mereka yang sedang tenggelam dalam lautan cinta."
Cinta? Riana jadi makin gondok. Enak aja menuduh orang jatuh cinta!
"Sori, kamu salah alamat, Di, saya tak mau membicarakan hal itu."
Klik! Sambungan terputus! Entah siapa yang menutup sambungan lebih dulu. Atau mungkin juga bersamaan. Riana tidak perduli. Tapi hal yang membuat Riana makin tak suka adalah kenyataan bahwa ia terseret dengan masalah Reyhan. Nama itu sudah membuatnya pusing sejak kemarin. Padahal selama ini ia tak ada hubungan apa apa. Kenal pun juga baru kemarin, dan dalam suasana yang kurang menyenangkan.
Diandra memang temannya. Lebih muda tiga tahun darinya, karena kemarin ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh empat. Dikenalnya dua tahun lalu ketika ia harus mengurus proyek yang ditangani dan memerlukan tanda tangan Pak Menteri. Kebetulan saat itu Diandra berada di kantor orang kepercayaan ayahnya yang biasa mengurusi tender dan proyek. Cantik, tinggi, berkelas, sesuai kedudukannya sebagai anak Menteri.
Seyogyanya pertemanannya dengan Diandra tidak menyasar ke masalah pribadi. Kebanyakan hanya masalah bisnis, proyek, tender atau berita berita yang menjadi perhatian nasional atau yang menjadi wilayah kerja ayahnya. Kenapa sekarang kok beralih ke masalah Max atau Reyhan? Dan Riana tidak suka itu!
Dengan pengalaman kerja yang demikian banyak, Riana tahu sekian puluh nama di luar kepala, hapal kantor bahkan nomor telepon yang bisa dihubungi. Kalaupun ada yang tidak dihapalnya, semuanya tersimpan dalam ponsel canggihnya. Dari sekian banyak itu, tidak ada sedikit pun yang bersangkut paut dengan nama Reyhan, Max atau Angkasa Bersuara. Kenal baru kemarin, tahu cerita tentang Reyhan dengan Angkasa Bersuara nya juga dari mulut Santi, bahkan Riana tidak menyimpan nomor kontak Reyhan di ponselnya. Ia sudah mau melupakannya kalau bukan karena stiker memalukan yang justru digandrungi Santi. Maka cukup membuatnya penasaran kalau Diandra, puteri Pak Menteri sampai ikut memperingatkannya.
- - -
Jangan lupa dukungannya ya guysss...........