Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Sahabat
🌿🌿🌿
Hudda berdiri di tepi pagar lantai dua rumah dengan mengarahkan pandangan ke ruang tamu. Tangan kanannya memegang ponsel yang menempel di telinga dan tangan kirinya mendarat di pagar. Malini berdiri di ambang pintu kamar memperhatikannya dengan hati panas menahan kemarahan.
Raut wajah marah yang terukir di wajah Malini berubah tersenyum sambil berjalan menghampiri suaminya itu dan memeluk tubuhnya dari belakang. Malini menyandarkan kepalanya ke punggung Hudda dan berbicara dengan suara manja, meminta sang suami untuk mengakhiri sambungan telepon dan masuk ke kamar.
"Ayolah ...," ajak Malini sambil ingin tahu reaksi suaminya itu.
"Iya. Tunggu sebentar. Pak Damar sedang membicarakan proyek besok," bisik Hudda sambil menoleh ke belakang.
"Pak Damar? Bukan wanita itu yang menghubunginya?" batin Malini.
Karena salah paham, Malini merasa bersalah dan melepaskan tangannya yang saling bertemu di perut Hudda. Ia kembali ke kamar dan menunggu suaminya itu di sana.
"Dengarkan. Aku tidak bisa ikut bersamamu ke acara itu, Yuna. Tolong dengarkan aku sekali ini saja," kata Hudda dengan suara kecil dan sesekali menoleh ke belakang, mengarahkan pandangan ke pintu kamar yang terbuka lebar.
Bukankah Damar orang yang menghubunginya, tapi Yuna, sang selingkuhan lah yang yang saat ini menyambungkan sambungan telepon dengannya. Malini tertipu oleh perkataan Hudda.
"Selama ini aku selalu menurutimu. Tidak kali ini Hudda, ayolah ...! Jika tidak, aku akan mengajak Leon saja," kata Yuna.
"Oke. Nanti aku hubungi lagi. Aku harus cari alasan untuk bisa menghindari Malini besok. Jangan berbuat ulah," pesan Hudda dan memutuskan sambungan telepon.
Hudda berjalan masuk ke kamar. Setelah berdiri di pintu kamar, ia melihat Malini sudah tidur dalam balutan selimut tebal. Hudda mengira Malini akan menunggunya dan mereka lanjut memadu kasih setelah adegan mesra tadi. Hudda menutup pintu dan berjalan mendekati kasur sambil memandangi wajah istrinya. Raut wajah bingung terukir setelah merasakan sikap Malini berubah sejak hari di mana pipinya ditampar.
"Dia berbeda dari hari-hari sebelumnya. Apa Lini curiga atau tau kalau aku dan Yuna .... tidak. Jika dia tahu, kemarahannya pasti tidak bisa aku bendungi sama seperti Kak Mella. Kenapa aku malah terperangkap dalam hubungan itu bersama Yuna? Sekarang aku bingung cara berhentinya. Jika aku memberitahu Lini, hubunganku dengannya pasti akan berakhir dan anak-anak jadi korbannya." Hudda masih memandangi Malini dengan tubuh berdiri di samping tempat tidur.
Hudda membaringkan tubuh ke atas ranjang dan berada di bawah selimut yang sama dengan sang istri.
***
"Kamu benar akan pergi ke Bandung hari ini? Mengapa mendadak begini?" tanya Malini sambil merapikan beberapa helai pakaian Hudda ke dalam koper.
Kali ini Malini tidak mencurigai kepergian suaminya itu mengingat semalam ia dibohongi Hudda dengan menyeret nama Damar yang merupakan partner kerja sang suami yang sangat dikenalnya.
"Iya. Dua hari kemudian aku akan kembali. Jadi, tidak perlu menyiapkan banyak pakaian. Kamu mau mengusirku dengan memenuhi isi koper itu?" tanya Hudda dengan candaan sambil merapikan dasinya.
"Iya. Jadi, jangan kembali lagi. Dasar!" Malini beralih menghampiri Hudda. "Membetulkan dasi sendiri saja tidak bisa. Bagaimana jadinya kalau kita berpisah," kata Malini sambil merapikan dasi di leher suaminya itu.
"Berpisah?" Hudda merespon kaget perkataan Malini.
"Bukankah kamu akan pergi ke Bandung?"
"Iya. Kalau begitu, aku pergi. Jaga anak-anak. Setelah aku kembali, aku akan mengajak kalian di restoran Korea. Tunggu aku," kata Hudda sambil memeluk tubuh Malini.
Sebelum Hudda mengecupnya, Malini yang lebih dulu mengecup pipi Hudda dan mendorong pelan tubuh suaminya itu keluar dari kamar.
Senyuman yang ada di bibir Malini memudar dan berubah dingin. Setelah kepura-puraannya berakhir, rasa kecewa kembali menyelimutinya dan membuatnya pelit dengan senyuman tulus, bahkan kepada kedua anak-anaknya. Hanya ada senyuman untuk menyembunyikan luka saja.
"Mama …! Tante Sonia datang!" seru Jian, berlari menuju kamar untuk menemui Malini.
"Tante Sonia? Kalau begitu, ayo!" ajak Malini sambil menggandeng tangan putranya itu.
Malini berjalan di tangga dengan hati-hati dan memperhatikan langkah kaki putranya, ia melihat seorang wanita dengan mata besar mirip orang Arab berdiri di pintu rumah sedang berbicara bersama Jenaka, sang putri, saudari kembar Jian.
"Sonia!" panggil Malini dengan wajah masih kaget dan tersenyum senang.
Malini melepaskan tangan Jian setelah menuruni semua anak tangga, ia memeluk Sonia, sang sahabat dekatnya yang sudah tinggal selama dua tahun ini di luar kota. Pelukan melepaskan kerinduan mereka sampai Malini mengajaknya duduk di bangku ruang tamu.
Jian dan Jenaka lanjut bermain di kamar, mereka tidak sekolah karena guru TK mereka sedang mengadakan rapat.
Sebelum berbicara lebih lanjut, Malini menyuguhkan teh hangat dan beberapa jenis kue dan cemilan yang memang sudah ada di atas meja, dalam toples kaca.
"Kamu semakin cantik. Pasti perawatan terus. Bukannya kamu bilang kalau Roni itu pelit?" Malini menggodanya.
"Benar. Aku begini bukan karena uangnya. Tapi, karena uang pacarku. Mas Roni sama seperti pria lainnya. Dia selingkuh dengan mantan pacarnya. Memangnya hanya dia yang bisa, aku juga bisa melakukannya." Sonia berbicara dengan nada santai tanpa ada rasa sedih.
Malini yang malah bersedih karena mengingat perselingkuhan Hudda dan Yuna.
"Roni mengetahuinya? Apa dia bisa berubah?" tanya Malini dengan tatapan kosong mengarah ke pintu rumah.
"Iya. Dia tidak peduli. Biarkan saja! Aku juga tidak peduli padanya. Aku tidak seberuntung kamu Malini," kata Sonia dengan rasa iri mengetahui sikap Hudda yang selalu setia selama ini.
"Seberuntung aku? Kenapa kalian selalu mengatakan itu?"
Malini berteriak marah karena muak mendengar pujian Sonia terhadap hubungan mereka yang sama seperti dilakukan Mila sebelumnya. Padahal, hubungan mereka tidak sebaik yang dikatakan oleh mereka.
Sonia menatap Malini dalam. Reaksi Malini membuat Sonia bingung dan kaget karena sahabatnya itu tidak pernah semarah itu.
"Apa kata-katamu salah?" Sonia menunjukkan wajah merasa bersalah.
"Bukan begitu. Maaf, aku hanya kesal dengan para pria itu. Suami kakak iparku juga berselingkuh, dia juga mengatakan kalau dia tidak seberuntung aku. Maaf, aku merespon marah. Tadi aku membayangkan kalau Mas Hudda melakukan hal yang sama," kata Malini sambil memegang tangan Sonia dan membujuknya agar ia dimaafkan.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti perasaanmu. Aku yang seharusnya minta maaf. Maafkan aku. Oh iya, aku datang ke sini untuk mengajakmu ke pernikahan Lula. Di menikah hari ini," kata Sonia dengan wajah senang.
"Sepupumu itu? Maaf, aku tidak tahu. Kapan?" tanya Malini dengan wajah masih sedikit tidak menyangka.
"Hari ini. Sekarang bersiap-siap! Kita akan ke sana bersama si kembar. Pergilah! Aku yang akan mempersiapkan mereka," kata Sonia dan berdiri.
Sonia menarik tangan Malini sampai wanita itu berdiri. Malini berjalan menaiki tangga menuju kamar, sedangkan Sonia memasuki kamar kedua anak Malini yang ada di rumah itu. Sonia sudah sering ke rumah itu sebelumnya. Jadi, ia tahu seluk-beluk setiap sisi rumah.
Dua jam kemudian, Malini menuruni tangga dalam balutan dress yang panjangnya hingga mata kaki dan berwarna biru muda. Rambutnya yang biasanya terurai panjang sepinggang, kini disanggul indah dengan anting menambah kecantikan di telinganya.
"Inilah alasan Hudda tidak bisa berpaling darimu. Oh iya, kamu sudah bilang sama Hudda?" tanya Sonia yang menunggunya sejak tadi di ruang tamu.
"Tidak perlu. Dia pasti mengizinkan aku," balas Malini sambil tersenyum.
Tangan Malini mencengkram erat dompetnya erat untuk menahan emosional yang sempat muncul karena perkataan Sonia sebelumnya yang menyebutkan Hudda tidak bisa berpaling darinya.
Sonia mengajak Jian dan Jenaka keluar rumah dengan menggandeng tangan mereka berdua. Malini mengikuti mereka dari belakang dan mengunci pintu rumah sebelum masuk ke mobil Sonia.