Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 8
Hembusan napas masih terasa berat olehku, kepala berputar, pening karena masalah yang datang menimpa. Tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Raka selama ini. Selama pernikahan, itu artinya dia tak hanya mengkhianatiku, tapi juga menipuku. Astaghfirullah al-'adhiim.
Getar ponsel mengalihkan perhatianku dari segala yang berkecamuk di dalam pikiran. Dahiku terlipat otomatis setelah melihat nama si Pemanggil.
"Raka? Mau apa dia nelpon?" Aku bergumam malas, sungguh enggan menjawab panggilannya. Mungkin dia sedang di rumah sakit saat ini, menunggui Mamahnya yang kurasa berubah cerewet sekarang.
Namun, panggilan itu terus masuk, tak berhenti. Beberapa pesan juga dikirimkannya bertubi-tubi. Dengan malas kuraih benda pipih itu dan membuka pesannya.
Sha, kamu di mana? Kamu di rumah sakit nggak?
Kenapa dia mesti bertanya lagi? Padahal pesan yang kukirim sangat jelas mengatakan bahwa Mamah dirawat.
Sha, kamu nungguin Mamah, 'kan? Aku lagi repot, nanti aku nyusul ke rumah sakit.
Astaghfirullah al-'adhiim. Repot? Apa dia lupa kalo ketemu aku di rumah sakit? Ya Allah!
Jangan tinggalin Mamah dulu, Sha. Tungguin dulu, nanti aku ke sana kalo udah selesai.
Ya Salaam. Ini orang punya perasaan nggak, sih, sebenarnya?
"Kamu malah mentingin perempuan itu daripada ibu kamu sendiri, Raka. Sebenarnya apa yang bikin kamu jadi kayak begini?" Aku berdecak, kesal, sekaligus bingung dengan apa yang menimpa pada Raka. Sekuat itu pengaruh Shila untuk hidup seorang Raka.
Hanya karena perempuan itu, dia rela tidak datang menunggui ibunya. Tidak menjaga perasaan istri, juga tidak memikirkan nasib anaknya.
Maaf, Ka. Ada masalah di toko, aku tinggalin mamah sendirian. Gantian dulu, ya. Kalo kamu nggak bisa ninggalin Shila, ajak aja sekalian nungguin mamah.
Kukirimkan pesan balasan, sekedar mengingatkan bahwa aku tahu sedang apa dia sekarang. Lama aku menunggu jawaban darinya, tak kunjung aku terima. Padahal dua garis biru sudah terlihat di pesan yang aku kirimkan.
Kuhela napas, mencoba untuk tidak memikirkannya. Sibuk dengan buku laporan toko kue yang selama satu Minggu aku tinggalkan. Alhamdulillah, di saat rumah tanggaku bermasalah, toko kue semakin berkembang. Bahkan, kini aku memiliki satu toko lagi. Toko aksesoris.
Bagaimana reaksi Raka di saat tahu bahwa pemilik toko itu bukan lagi dirinya, tapi orang lain. Aku tersenyum membayangkan kekalutan yang akan menimpa suamiku itu. Sudah pasti dia akan mengadu padaku, atau bahkan menyalahkan aku. Mungkin.
****
Sha, kamu di mana? Mamah nggak mau makan, maunya sama kamu.
Kubaca pesan masuk dari Raka. Malam sudah menggantikan sang mentari, aku ingin secepatnya beristirahat. Biarlah dia dan mantannya saja yang mengurus mamah. Apa yang dilakukan mamah pada mereka berdua, ya?
Maaf, Ka. Coba kamu rayu dulu, aku belum selesai soalnya. Lagian ini udah malam, aku lagi hamil. Kamu yang jaga mamah, ya.
Maafin Shanum, Mah. Bukannya tega sama Mamah, tapi Shanum lagi nggak mau ketemu sama Raka.
Aku menutup ponsel, menghela napas. Beberapa pelanggan datang menyodorkan belanjaan mereka. Kusambut dengan senyum hangat sekuat yang aku bisa.
"Ada lagi?" Pertanyaan itu kerap aku layangkan untuk mereka, atau menawarkan produk baru jika ada.
"Terima kasih, hati-hati di jalan."
Mereka tersenyum sebelum keluar dari toko. Aku beranjak masuk ke dalam gudang. Sekedar merebahkan diri beristirahat bersama bayiku. Jika bukan karena dia, mungkin aku akan terpuruk dalam keadaan.
Tidak! Rasanya tidak pantas sekali laki-laki seperti Raka ditangisi. Pelan-pelan aku akan meninggalkan hidupnya dan merelakan dia bersama wanita itu. Bunyi perut yang meminta hak membuatku bangkit dan beranjak untuk mencari makan.
"Wati, tutup aja tokonya kita makan malam sama-sama di tempat biasa," ajakku pada Wati.
Wanita itu tersenyum sumringah, seperti sudah menjadi rutinitas setiap sebulan sekali atau setiap penjualan melebihi target, aku selalu mengajak mereka untuk makan bersama sebagai bonus.
"Baik, Bu." Ia pergi ke dalam dan ke toko sebelah memberitahu rekannya untuk menutup toko lebih awal.
Binar-binar mata itu yang selalu membuatku merasa bahagia, celotehan juga canda tawa mereka di sepanjang perjalanan, selalu menghangatkan hatiku. Bersama mereka, aku tak pernah tahu apa itu kesedihan. Mereka juga keluargaku, tak hanya sebatas karyawan.
Mobil dan motor-motor kami berhenti di depan sebuah restoran seafood langganan. Secara kebetulan selera kami sama, dan seperti biasa Wati akan memesan meja khusus untuk kami.
"Kalian duluan aja, ya. Aku terima telpon dulu," ucapku pada mereka. Raka menelpon di saat kaki hendak melangkah memasuki restoran. Aku menjauh dan berdiri di badan mobil.
"Ada apa, Ka?" tanyaku segera setelah sambungan terangkat.
"Kamu di mana, Sha? Mamah pengen ditungguin sama kamu ini." Suara Raka terdengar seperti bisikan.
Aku mendengus, biarlah Raka yang menunggu Mamah di rumah sakit. Aku lelah setiap kali berbincang dengan laki-laki yang menjadi suamiku itu.
"Aku nggak bisa ke rumah sakit, Ka. Ini udah malam, lho. Ibu hamil harus banyak istirahat. Kamulah yang nungguin mamah, mau siapa lagi? Kalo nggak, kamu ajak aja Shila. 'Kan, tadi siang kamu ada sama dia di rumah sakit," jawabku sekenanya.
Malas sebenarnya bila harus membahas soal mereka, tapi sekali lagi untuk mengingatkan Raka bahwa aku memergokinya bersama Shila.
"Kamu jangan bawa-bawa Shila, Sha. Dia itu nggak mungkin aku bawa sama mamah. yang menantu mamah itu kamu, bukan dia."
Aku berdecak, dia kira aku lupa soal itu.
"Maaf, ya, tapi kayaknya kamu lebih peduli sama Shila sama daripada aku yang lagi hamil ini. Kamu temenin dia periksa, sementara aku ... udahlah, kamu jagain mamah malam ini, ya. Aku tutup. Assalamu'alaikum!"
Tanpa menunggu jawabannya, aku menutup sambungan dan pergi masuk ke dalam restoran. Namun, lagi-lagi langkahku terhenti, ketika mendengar suara perdebatan dua orang di kejauhan.
Penasaran. Aku melangkah ke depan, menoleh ke arah kiri untuk memastikan suara yang aku dengar itu. Di balik dinding parkiran, di depan sebuah mini market, dua orang bersitegang tanpa tahu malu.
Shila dan Benny, juga seorang wanita muda berpakaian seksi yang tak jauh dari sosok Benny.
"Kenapa kamu kayak gini sama aku, Ben?" Samar aku dengar suara teriakan Shila bernada putus asa. Dia mencoba menahan Benny dan menjauhkannya dari wanita cantik itu.
"Kamu pikirin aja sendiri, Shila. Aku percaya sama kamu, tapi kamu justru bermain api di belakangku."
Benar, apa yang menimpa Benny itu juga yang menimpaku.
"Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia itu cuma mantan aku, dia yang ngejar-ngejar aku minta balikan. Bukan aku, Ben. Percaya sama aku, Benny."
Cih! Aku membuang ludah jijik mendengar pembelaan dirinya. Sungguh perempuan tak tahu malu. Rasa geramku mengajak kaki untuk melangkah mendekat. Kujambak rambutnya hingga dia meringis, tak peduli pada pandangan semua orang.
"Bu! Ibu!"