Ini bukan tentang harga diri lagi, ini hanya tentang mencintai tanpa dicintai.
Aruna nekat menjebak calon Kakak iparnya di malam sebelum hari pernikahan mereka. Semuanya dia lakukan hanya karena cinta, namun selain itu ada hal yang dia perjuangkan.
Semuanya berhasil, dia bisa menikah dengan pria yang dia inginkan. Namun, sepertinya dia lupa jika Johan sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Yang dia cintai adalah Kakaknya, bukan Aruna. Hal itu yang harus dia ingat, hingga dia hanya mengalami sebuah kehidupan pernikahan yang penuh luka dan siksaan. Dendam yang Johan punya atas pernikahannya yang gagal bersama wanita yang dia cintai, membuat dia melampiaskan semuanya pada Aruna. Perempuan yang menjadi istrinya sekarang.
"Kau hanya masuk dalam pernikahan semu yang akan semakin menyiksamu" -Johan-
"Jika perlu terluka untuk mencintaimu, aku rela" -Aruna-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Hatinya Sudah Berpaling?
Aruna keluar dari ruang ganti, berdiri di depan cermin dan menatap pantulan dirinya disana. Bekas kemerahan dari lengan Johan masih terlihat jelas di lehernya. Bahkan saat dia batuk dan minum pun, tenggorokannya terasa sakit.
Sial, disaat seperti ini perutnya kembali sakit. Kepalanya mulai pusing, dan darah segar keluar dari lubang hidungnya. Aruna menghembuskan nafas berat dengan memegang bagian perutnya yang terasa sakit. Berjalan sempoyongan ke arah tempat tidur dan duduk disana. Mengambil beberapa lembar tisu, dan membersihkan lubang hidungnya yang berdarah.
"Jika sudah waktunya, bahkan aku sudah siap. Karena percuma terus berjuang dengan pria yang sama sekali tidak pernah membuka hati untukku. Hatinya terkunci rapat untukku"
Aruna mengusap kasar air mata yang lolos begitu saja. Hatinya bedenyut nyeri, tatkala dia mengingat tentang dirinya yang bahkan tidak mempunyai kesempatan lagi setelah 3 bulan ini berakhir. Aruna merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, memejamkan matanya perlahan dengan tangan masih memegang bagian samping perutnya. Rasa sakit yang masih terlalu menyiksanya.
"Ya Tuhan, jika memang tidak ada kesempatan untuk aku bahagia, maka aku tidak akan berharap lagi untuk kebahagiaan itu sendiri"
Perlahan mata Aruna terpejam, merasakan sakit yang belum hilang. Tapi, perlahan rasa sakitnya hilang, seiring dengan kesadarannya yang juga hilang. Aruna hanya menemukan ketenangan di dalam matanya yang terpejam.
*
Biarkan kematian itu sendiri yang menjemputku.
Sebuah kalimat yang terngiang-ngiang dalam ingatan Johan saat ini. Ucapan dengan tatapan mata penuh rasa putus asa itu. Dan itu membuat Johan sedikit terganggu sampai sekarang.
Johan menuruni anak tangga, sudah siap dengan pakaian kerjanya. Berhenti di anak tangga terakhir, melirik ke arah pintu kamar Aruna yang masih tertutup. Bahkan baru saja beberapa hari lalu mereka begitu baik, bisa makan kue bersama, Johan yang memintanya untuk memasangkan gelang hadiah dari Aruna ditangannya secara langsung. Tapi, kenapa kemarin dia harus melihat Aruna yang pergi dengan pria yang sama dan melihat wajah Aruna yang berseri bahagia.
Johan tidak suka itu. Aruna yang terlihat bahagia bersama pria lain. "Seharusnya dia meminta izin untuk pergi dengan pria itu. Memangnya dia siapa? Apa mungkin dia akan bersama pria itu setelah waktu tiga bulan itu habis?"
Asumsi baru yang muncul dalam pikirannya. Johan melanjutkan langkahnya, dia melihat Arvin yang menjemputnya hari ini. Sudah menunggu di depan mobilnya.
"Kenapa dengan wajahmu? Seperti sedang banyak beban?" ledek Arvin.
Johan langsung masuk ke dalam mobil, mengabaikan ucapan Arvin. "Cepatlah, aku sedang tidak ingin banyak bicara denganmu"
Arvin mengangkat bahunya acuh, dia masuk ke dalam mobil. Duduk dibalik kemudi, dan mulai melajukan mobilnya. Sesekali melirik dari kaca spion di atasnya, melihat Johan yang lebih banyak diam dengan memandang keluar jendela.
"Ada apa? Bertengkar lagi dengan Jesika? Lagian ya, kau itu terlalu menuruti semua keinginan Jesika, membuat dia jadi sangat manja dan menyusahkan" ketus Arvin.
"Vin, menurutmu jika seseorang mengatakan jika kematian akan menjemputnya, apa artinya?"
Arvin langsung mengerutkan keningnya, merasa cukup bingung dengan ucapan Johan. "Kenapa kau tiba-tiba membahas kematian? Kau akan mati besok?"
Bugh... Johan menendang belakang kursi yang di duduki oleh Arvin di depannya. Asistennya yang sangat kurang ajar. "Bukan itu sialan! Ada seseorang yang mengatakan itu padaku"
Arvin mengangguk kecil, dia paham sekarang dengan pertanyaan Johan barusan. "Mungkin usia orang itu tidak lagi lama di dunia ini. Bisa saja dia menderita penyakit berat, dan umurnya sudah ditentukan oleh Dokter berapa lama lagi bisa bertahan. Memangnya siapa yang bicara seperti itu?"
Johan tidak menjawab lagi, dia hanya diam dengan pikirannya sendiri.
Seharian Johan hanya fokus pada pekerjaan, dan pikirannya masih terus tertuju pada ucapan Aruna dan penjelasan Arvin tadi pagi. Ketika waktu pulang kerja tiba, Johan langsung memutuskan untuk pulang. Meski biasanya dia akan lebih lama berada di Perusahaan dan hanya terus bekerja. Tapi sekarang, dia memilih pulang lebih awal.
"Tumben sekali kau ingin pulang sekarang? Apa merindukan istrimu itu ya?"
"Diam kau, menyetir saja dengan benar!"
Arvin hanya terkekeh saja, dia merasa senang menggoda Atasannya yang begitu keras kepala itu. Tidak pernah mau menerima saran orang lain jika tentang masalah hati dan perasaan. Masih saja begitu yakin jika hatinya tetap untuk Jesika, meski dia sudah mempunyai istri sekarang.
"Sebenarnya Aruna itu manis sekali, apalagi kalau tersenyum, gigi gingsulnya itu uhh... Menggemaskan sekali. Tapi, kenapa kau bisa begitu membencinya ya? Tapi jika nanti dia bercerai denganmu, aku siap menjadikan dia istriku"
Bugh... Tendangan keras dari arah belakang ke kursi yang di dudukinya. Arvin tertawa kencang, senang melihat kemarahan Atasannya ini.
"Cemburu ya? Bilang saja, tidak perlu malu. Cemburu 'kan tandanya cinta. Kau sudah jatuh cinta pada Aruna"
"Mana mungkin, aku masih mencintai Jesika. Kau tahu sendiri jika aku sulit berpaling, karena aku mencintai dengan sepenuh hati"
"Yakin? Tapi yang aku lihat, perasaanmu sudah mulai goyah oleh Aruna. Lagian, apa bagusnya Jesika dibandingkan Aruna? Bahkan dia sangat manja dan hanya merepotkan"
Johan tidak menjawab lagi, dia hanya diam dengan menatap keluar jendela mobil. Memijat pelipisnya yang terasa pening. Ya sekarang dia harus bagaimana? Sebenarnya dia mulai menyadari jika hatinya mulai goyah sekarang.
Apa benar hatinya masih milik Jesika, atau bahkan sudah berpaling ke lain hati?
*
Aruna berjalan keluar kamar dengan sempoyongan, perutnya yang masih sakit meski sudah meminum obat dua kali hari ini. Bahkan sudah berapa kali Aruna muntah sejak pagi hingga sore hari. Kepalanya juga terasa begitu pusing.
"Nona, sebaiknya kita ke Dokter saja" saran Mia.
"Tidak perlu Mia, ini sudah biasa. Sebentar lagi akan sembuh"
"Tapi Nona ..."
Ucapan Mia menggantung saat dia melihat kedatangan Johan. Mia mengangguk pelan, lalu pergi dari sana. Johan menghampiri Aruna yang duduk di sofa. Kepalanya bersandar di sandaran sofa dengan mata yang terpejam. Johan menatap kening Aruna yang mengernyit dan terlihat keringat yang membasahi keningnya. Perlahan Johan mendekat, mengusap peluh di kening Aruna. Membuat Aruna tersentak kaget dan langsung membuka matanya.
"Kak Jo, sudah pulang ya" ucap Aruna yang langsung menegakkan tubuhnya.
"Kau sakit?"
Aruna merasakan tangan Johan yang masih berada di keningnya. Mengecek suhu tubuh Aruna dengan punggung tangannya.
"Tidak, hanya pusing sedikit" ucap Aruna sambil tersenyum.
"Jika sakit, periksalah ke Dokter"
Aruna tersenyum tipis, menganggap ucapan Johan barusan adalah sebuah perhatian untuknya. Aruna senang dengan itu. Meski, dia tetap harus sadar diri jika mungkin itu hanya harapannya yang terlalu tinggi.
"Aku tidak papa Kak, hanya pusing sedikit"
"Baiklah, aku akan mandi dulu, Malam ini makan bersama denganku"
"I-iya"
Aruna mengangguk dengan senyuman tipis, sungguh dia mulai merasa senang dan bahagia saat mendengar Johan sendiri yang mengajaknya makan bersama lebih dulu.
Nikmati saja saat-saat seperti ini, Aruna. Karena mungkin ini tidak akan lama lagi.
Bersambung
Semoga perjuangan mu selama 3 bulan berbuah manizzz
selamat ya Jo.... selamat menuai, yg slama ini kau tanam