Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Siapa Lelaki Itu?
Saat ini Hanna sedang berada di perusahaan milik Annisa. Dia ingin berbicara secara langsung soal tawaran waktu itu.
"Jadi, kamu yakin mau terima pekerjaan itu, Han?" tanya Annisa.
"Iya, An. Setelah aku pikir-pikir, daripada di rumah nggak ada kerjaan mending cari kesibukan," jawab Hanna.
"Kamu bukannya ada bisnis, ya? Kenapa nggak ikut kelola bisnismu itu aja, daripada kerja dengan orang? 'Kan lebih santai kalau punya usaha sendiri," ucap Annisa.
"Iya, sih, tapi aku pengen cari suasana baru aja. Di samping itu, aku belum resmi cerai dari Mas Wildan dan bisnisku ini berkembang juga tanpa sepengetahuan dia," terang Hanna.
"Hah? Serius kamu? Terus gimana caramu memantau perkembangan bisnismu itu?" tanya Annisa yang cukup penasaran dengan Hanna.
"Aku serahkan semua ke Kak Atika, jadi nanti dia tinggal kasih tunjuk laporan pendapatan dan sebagainya. Aku sesekali mantau juga di saat nggak ada Mas Wildan," jelas Hanna.
"Luar biasa! Kamu menyembunyikan hal sebesar ini selama dua tahun tanpa ketahuan suami kamu. Sepertinya aku perlu belajar ke kamu, deh, Han," ucap Annisa disertai candaan.
"Buat apa belajar segala?"
"Ya, buat jaga-jaga aja biar kalau ditipu sama lelaki, aku nggak rugi banyak," ucap Annisa.
"Makanya, sebelum nikah harus berpikir seribu kali buat memantapkan pilihan. Pastikan kalau jodohmu itu benar-benar lelaki yang setia dan bertanggung jawab. Jangan sampai mengalami hal yang sama seperti aku," tutur Hanna sambil tersenyum kecut.
"Eh, Han, aku nggak bermaksud buat ngungkit masalah kamu," ucap Annisa yang tak enak hati.
"Enggak apa-apa, aku anak kuat nggak mungkin gampang ditindas," balas Hanna sambil merangkul Annisa.
"Udah, ah. Sekarang waktunya move on dari laki-laki macam Wildan, kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri," ucap Annisa memberi semangat pada Hanna.
"Tentu saja."
"Aku coba hubungi asisten Ardiansyah dulu buat tanya soal lowongan waktu itu masih atau enggak," ujar Annisa lalu berjalan menuju meja kerjanya dan mulai menghubungi asisten Ardiansyah.
Sambil menunggu Annisa selesai menelepon, Hanna menyibukkan diri dengan melihat aku sosial medianya yang hampir tak pernah dia buka.
Setelah masuk akun sosial medianya, dia dibuat terkejut dengan banyaknya DM masuk dan juga notifikasi yang menyebut nama akunnya pada sebuah kolom komentar.
Meski sudah tahu apa isi DM dan komen tersebut, tetapi Hanna memberanikan diri untuk membuka satu persatu. Isi DM tersebut kebanyakan dari teman-temannya yang menanyakan perihal postingan yang menandai akun Wildan. Lanjut membuka notifikasi dan benar saja, akunnya ditandai pada sebuah kolom komentar yang menanyakan hal yang sama.
"Ah, harusnya aku tak perlu membuka akun sosial mediaku," gumam Hanna lalu kembali menutup akun sosial medianya.
Tak berapa lama, Annisa menghampiri Hanna kembali.
"Sepertinya memang rezekimu, Han. Lowongan masih ada dan kamu diminta bertemu dengan Ardiansyah di restoran dekat kantornya, nanti asistennya yang akan share lokasinya," ucap Annisa.
"Oh, iya. Makasih banyak, An, udah mau bantuin aku," ujar Hanna sembari memeluk Annisa dari samping.
"Sama-sama, kapan pun kamu butuh bantuan, jangan sungkan buat kasih tahu aku. Karena kamu udah aku anggap seperti saudara sendiri," balas Annisa.
Kebersamaan yang sering mereka lalui semasa kecil, membuat rasa kasih sayang Hanna dan Annisa layaknya saudara kandung. Susah dan senang mereka lalui bersama hingga saat ini.
...****************...
Memasuki jam makan siang, Hanna sudah berada di restoran yang dimaksud oleh Ardiansyah. Sembari menunggu kedatangan Ardiansyah, Hanna telah memesan segelas jus alpukat.
"Maaf, sudah menunggu lama," ucap seorang pria yang baru datang sambil menarik kursi untuk duduk.
"Ah, iya, tidak apa-apa," jawab Hanna dengan sopan.
Pria itu menatap Hanna dengan tatapan yang seperti tengah mengintimidasi lawan.
"Sepertinya wajah Anda sangat tidak asing," ucap pria itu yang tak lain ialah Ardiansyah.
"Benarkah? Mungkin wajah saya memang pasaran," balas Hanna yang sedikit risih karena tatapan Ardiansyah.
"Syarifa Hanna," celetuk Ardiansyah.
"Ya, Anda tahu nama saya? Oh, pasti dari Annisa," duga Hanna.
"Bukan, tapi emang benar kalau nama Anda Syarifa Hanna 'kan?" tanya Ardiansyah memastikan.
"Iya, itu nama saya. Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"
"Kamu tak ingat denganku?" tanya Ardiansyah yang tak lagi berbicara secara formal.
Hanna tampak berpikir keras, apakah dia pernah bertemu pria di hadapannya ini sebelumnya? Akan tetapi, dia tak mengingat jika pernah bertemu pria ini.
"Maaf, sepertinya saya tidak ingat jika kita pernah bertemu," ucap Hanna dengan hati-hati.
"Astaga, kamu sungguh tak mengingatku, Han?" tanya Ardiansyah dan dijawab gelengan kepala oleh Hanna.
"Aku Ardiansyah Mahendra, temanmu sewaktu kuliah dulu," jelas Ardiansyah.
Mata Hanna seketika melotot mendengar penjelasan Ardiansyah sebab perbedaan yang cukup jauh, antara dulu dan sekarang. Jika dulu Ardiansyah selalu berpenampilan apa adanya dengan rambut yang gondrong, tetapi sekarang penampilannya lebih rapi dan .... tampan.
Hanna menggelengkan kepalanya karena tanpa sadar memuji pria lain, dalam hatinya dia sangat merutuki pikirannya.
"Han, Hanna, kamu kenapa?" tanya Ardiansyah.
"Eh, a-aku nggak apa-apa," jawab Hanna terbata-bata sambil memaksakan tersenyum.
"Syukurlah, aku kira kamu sakit," ucap Ardiansyah.
Tak jauh dari posisi mereka berada, Novita berdiri sambil menatap ke arah Hanna dan Ardiansyah. Karena posisi Ardiansyah yang membelakangi, dia pun tak bisa melihat dengan jelas wajah Ardiansyah.
"Itu 'kan Mbak Hanna. Sedang apa dia di sini? Dan siapa laki-laki yang duduk bersamanya?" batin Novita.
Ketika hendak menghampiri Hanna, ponsel Novita berdering sehingga mengurungkan niatnya tadi. Tertera di layar ponsel, nama Wildan yang meneleponnya.
Dia pun bergegas keluar dari restoran itu dan menjawab panggilan dari suaminya.
"Di mana kamu? Bukannya di rumah malah keluyuran seenaknya," bentak Wildan melalui panggilan telepon.
"A-aku cuma lagi nyari kerjaan, Mas. Ini bentar lagi juga mau pulang," jawab Novita.
"Cepetan pulang, sebelum aku semakin marah," titah Wildan disertai ancaman.
"I-iya, aku pulang sekarang."
Setelah mematikan panggilan telepon tadi, Novita segera bergegas pulang. Niatnya untuk menemui Hanna harus dia urungkan karena takut Wildan semakin marah jika tak segera dituruti perintahnya.
Hidupnya yang dulu terasa damai tanpa beban, kini berubah dalam sekejap mata menjadi bak di penjara. Suami yang dulu tak pernah sekali pun meninggikan suaranya, kini lebih sering marah dan emosi meski karena hal sepele. Ingin rasanya dia pergi dan menghilang dari kota ini, tetapi lagi-lagi dia tak ada tujuan untuk singgah.
Tak memiliki sanak saudara, membuat Novita semakin dilanda bimbang jika harus pergi dari kehidupan Wildan. Dia berharap hidupnya akan kembali membaik seperti dulu, agar tak semakin tersiksa dengan kehidupannya saat ini.