Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Keesokan harinya ....
Sejak tadi ponsel Quin terus bergetar di meja nakas. Akan tetapi, gadis itu masih saja tertidur pulas.
Sedangkan Adrian yang sejak tadi berada di depan pintu unit, masih terus berusaha menghubungi gadis itu bahkan sesekali memencet bel.
"Apa Nona Quin sudah berangkat kerja? Jangan jangan ponselnya ketinggalan," gumam Adrian menebak.
Ia pun kembali mencoba menghubungi Quin. Namun, tetap tak dijawab. Karena panggilannya tak kunjung berbalas, akhirnya Adrian memutuskan kembali ke basement.
Sedangkan Quin yang baru saja terbangun. Merubah posisi menjadi duduk seraya bergumam, "Sudah jam berapa ini?"
Ia meraih ponselnya di meja nakas. "Astaga!" Matanya seketika membola saat menatap layar ponsel. "Bisa-bisanya aku kesiangan. Lantas, nomor baru ini pasti seseorang yang dimaksud Damar kemarin."
Ia pun langsung menghubungi nomor baru itu. Hanya di deringan pertama panggilan darinya langsung dijawab.
"Hallo, Nona Quin?" jawab Adrian.
"Maaf aku kesiangan. Aku bahkan lupa jika hari ini akan dijemput?" sesal Quin.
"Tidak apa-apa, Nona Quin."
"Begini saja, nanti siang kalian mampir saja ke QA Boutique," saran Quin.
"Baiklah."
"Kabari saja jika kalian sudah tiba di butik itu nanti," saran Quin lagi.
"Siap, Nona Quin," sahut Adrian lalu memutuskan panggilan telefon.
Quin menepuk jidat sambil menggelengkan kepala. Sang designer kemudian mulai menyiapkan koper serta merapikan pakaiannya ke dalam benda itu
Setelah semuanya beres barulah ia membersihkan diri sekaligus bersiap-siap.
Satu jam berlalu ...
"Finally, semuanya sudah beres," gumam Quin disertai hela nafas.
Sebelum benar-benar meninggalkan unit apartemen, Quin terlebih dulu mengganti password pintunya.
Setelah itu, ia pun meninggalkan tempat itu tanpa rasa beban.
.
.
.
Setibanya butik, ponselnya kembali bergetar.
Saat memandangi kontak yang memanggil, Quin tersenyum lalu menjadi panggilan itu.
"Damar? Damar ... maaf ya, aku kesiangan. Apa gajiku akan dipotong? Secara, di hari pertama aku malah terlambat?"
Mendengar suara Quin dari seberang telefon, Damar mengulas senyum kemudian berkata, "Tidak, lagian kamu belum menginjakkan kaki di kediamanku. So, belum masuk hitungan."
"Hmm, begitu ya." Quin malah tergelak.
"Ya, aku akan menunggumu Quin," balas Damar.
Setelah itu, ia memutuskan panggilan telefon.
Begitu Quin masuk ke dalam butik, Al langsung bertanya, "Quin, tumben kamu kesiangan?"
"Entahlah, mungkin kelelahan kali," jawab Quin.
Al menyipitkan mata sekaligus menatap curiga kepada sahabatnya itu.
"Kamu kenapa sih, Al? Lihatnya biasa aja kali. Kamu menatapku seperti seorang buronan saja." Quin tertawa pun begitu dengan Al.
"Kali aja kamu buronan. Buronan cinta," kelakar Al.
"Ck, sudah ah, kerja gih. Oh ya, Al, setelan jas milik Dennis jangan lupa diantar nanti."
"Oke, siap Quin." Al mengangkat kedua jempol tangannya.
.
.
.
Siang harinya ....
"Selamat siang, apa saya bisa bertemu dengan Nona Quin?" tanya Adrian begitu ia memasuki butik.
Al dan Gisha langsung menoleh ke arah sumber suara.
"Ya, tentu saja, Pak. Nona Quin ada di lantai dua," sahut Al. "Mari, saya antar ke atas Pak.
"Hmm." Hanya itu jawaban dari Adrian dengan wajah datar.
'Ck, ini manusia kutub atau apa sih?! Dingin banget jadi cowok,' batin Al sembari melipat bibir menahan tawa
Ketika tiba di lantai dua, Al kemudian mengajak Adrian ke galery pakaian.
"Sebentar ya, Pak, saya temui Nona Quin dulu," izin Al.
Adrian hanya mengangguk sembari memperhatikan galery itu.
"Ternyata owner QA Boutique itu adalah Nona Quin. Padahal sudah lama Tuan dan keluarganya mempercayakan gadis itu sebagai menjadi designer khusus pakaian mereka," gumam Adrian. "Harus aku akui, hasil tangan dinginnya memang sangat rapi serta hasilnya juga sangat elegan."
Sementara itu, Quin yang sedang memasang gaun pengantin ke manekin, memutar badan saat Al memanggilnya.
"Ada apa Al?"
"Quin, ada yang mencarimu?"
"Siapa?" Quin mengerutkan kening. Ia lupa jika akan dijemput.
"Seorang pria ganteng," bisik Al sekaligus membuat Quin tergelak.
Keduanya pun menghampiri Adrian dengan senyum ramah.
"Nona Quin, saya Adrian, orang yang diminta untuk menjemput Anda," tutur Adrian.
Al menatap curiga pada Quin juga Adrian bergantian.
"Al, kamu kenapa sih?" tanya Quin. "Oh ya, Adrian. Kenalin, ini Almira sahabat sekaligus asistenku," jelas Quin. Keduanya saling berjabat tangan.
Beberapa menit kemudian, Quin kemudian berpamitan kepada Al juga karyawannya.
"Al, aku titip butik, ya," tutur Al dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Al.
Sesaat setelah berada di parkiran, Adrian membantu Quin memindahkan koper gadis itu ke bagasi mobilnya.
"Nona Quin, saya akan langsung mengantar Anda ke kediaman Tuan Damar," kata Adrian sesaat setelah keduanya masuk ke dalam mobil.
"Baiklah," sahut Quin.
...----------------...