Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Hati Aqila yang terluka
Di lorong dekat kelas, Daniel dan Areta tampak serius berbicara. Wajah Areta memerah penuh emosi setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan Daniel.
"Apa?! Aqila ada di kampus ini?! Kamu serius, Daniel?" Mata Areta membelalak kaget.
Daniel mengangguk pelan, mencoba menenangkan Areta yang mulai gelisah. "Iya, Areta. Aku serius. Tadi aku benar-benar melihat dia di sini."
"Tunggu, tunggu... ini nggak masuk akal! Kamu pasti salah lihat, kan?" Areta mencoba menyangkal, meski nada suaranya terdengar ragu.
"Aku yakin, Areta. Tadi pagi aku lihat dia jalan bareng salah satu dosen, kelihatan seperti mahasiswa baru di sini. Dia memang benar-benar ada di kampus ini." Daniel menatap serius, berharap Areta mempercayainya.
Areta terdiam sejenak, lalu tertawa sinis. "Hah! Mana mungkin Aqila bisa kuliah di sini? Kamu tahu sendiri, kampus ini mahal banget. Dia itu siapa? Orang miskin yang sudah aku usir dari rumah! Harusnya dia sekarang jadi gelandangan, bukan mahasiswa di sini."
Namun Daniel menggeleng tegas. "Tapi kenyataannya nggak begitu, Areta. Penampilannya jauh lebih baik dari terakhir kali kita lihat dia. Dia kelihatan... sukses. Bahkan terlihat seperti orang kaya."
Kata-kata itu langsung membuat darah Areta mendidih. "Nggak! itu nggak mungkin. Aku nggak bisa terima! Aqila nggak pantas ada di sini. Ayo, Daniel, antar aku ke dia sekarang juga. Aku mau pastikan sendiri!"
Areta dan Daniel berjalan cepat, matanya tajam mencari keberadaan Aqila. Saat melewati taman, Daniel melihat sosok Aqila yang sedang duduk bersama seorang teman, tertawa lepas.
"Itu dia, Aqila," tunjuk Daniel.
Areta langsung menoleh, matanya menyipit penuh kebencian. "Jadi dia benar-benar ada disini," Langkahnya semakin cepat, penuh amarah, mendekati Aqila yang masih belum sadar keberadaannya.
"Aqila!" teriak Areta penuh emosi.
Aqila yang sedang tertawa bersama Amel mendadak menoleh. Matanya melebar kaget melihat sosok kakak tirinya. "Kak Areta?" gumamnya gugup, tak percaya Areta bisa ada di sana.
Areta langsung menarik tangan Aqila dengan kasar, membuatnya berdiri paksa. Aqila meringis kesakitan.
"Kamu ngapain di sini?! Kenapa kamu ada di kampus aku?!" sergah Areta dengan suara meninggi.
"Kak, sakit... lepasin tangan aku! Aku di sini kuliah. Memangnya kenapa?" jawab Aqila, mencoba bersikap tenang meski tangannya masih dicekal.
"Kuliah?! Jangan bercanda, Aqila. Mana mungkin kamu bisa kuliah di sini? Kamu itu gelandangan! Kamu nggak punya apa-apa, ingat?" Areta tertawa sinis, suaranya menusuk hati Aqila.
Aqila mencoba tetap tegar. "Kakak lihat sendiri, kan? Apa aku terlihat seperti gelandangan? Aku berpakaian seperti mahasiswa, dan aku memang benar-benar kuliah di sini."
Jawaban itu justru membuat Areta semakin marah. "Bohong! Kamu pasti bohong! Jangan-jangan kamu jadi pelacur, ya? Pasti itu caranya kamu bisa dapat uang untuk masuk kampus ini. Aku tahu kamu, Aqila!"
Kata-kata Areta menghujam hati Aqila. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan emosinya. "Kak, aku bukan orang seperti itu. Jangan asal menuduh!" ucap Aqila dengan suara bergetar.
Namun Areta tak berhenti. Dengan kasar, ia menarik rambut Aqila. "Kamu pikir aku akan percaya?!" teriaknya.
Amel yang melihat kejadian itu panik. "Kak, tolong jangan sakiti Aqila! Dia kesakitan!" ucap Amel mencoba menghentikan Areta, meski tak tahu harus berbuat apa.
Daniel, yang berdiri di belakang Areta, hanya diam, membiarkan semua terjadi tanpa berniat melerai.
"Kalau kamu bukan pelacur, lalu dari mana uangmu?! Pasti aku benar, kan? Kamu rela jual diri demi bisa kuliah di sini!" Areta tertawa penuh kemenangan.
Mendengar tuduhan itu, Aqila tak bisa lagi menahan dirinya. Dengan cepat, ia menepis tangan Areta dari rambutnya, membuat Areta terhuyung ke belakang.
"Kakak jangan bicara sembarangan! Aku bukan wanita seperti itu!" seru Aqila, matanya penuh kemarahan.
Namun Areta belum selesai. "Kalau begitu, buktikan! Siapa yang membiayai kamu? Aku tahu kamu nggak mungkin bisa kuliah di sini dengan usahamu sendiri."
Aqila terdiam. Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Ia tidak bisa menyebut nama Alvano.
Melihat Aqila tak menjawab, Areta kembali menuduh. "Lihat? Kamu nggak bisa jawab! Itu artinya aku benar, kan?! kamu memang pelacur! " ucapnya bersorak penuh kemenangan.
Mendengar kata-kata itu, emosi Aqila memuncak, hampir saja Aqila kehilangan kendali dan melayangkan tamparan, tapi Daniel dengan cepat memegang tangannya. "Aqila, jangan macam-macam sama pacar aku," ucap Daniel dingin.
Mendengar kata-kata itu, hati Aqila serasa hancur. Daniel, yang dulu pernah mengisi hatinya, kini menjadi bagian dari luka terbesarnya. Dengan mata berkaca-kaca, Aqila melepaskan tangannya dari cengkeraman Daniel.
"Kalian berdua benar-benar jahat!" ucap Aqila sebelum berlari pergi, diikuti Amel yang berusaha mengejarnya.
Di belakang, Areta tertawa puas. "Lihat, Daniel? Dia nggak bisa apa-apa. Dia tetap seperti dulu, gadis kecil yang lemah."
Daniel hanya diam, menatap Aqila yang semakin menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan.
🌸🌸🌸🌸🌸
Aqila berdiri di depan wastafel, tubuhnya bergetar, dan air mata mengalir deras di pipinya. Tangannya mencengkeram erat sisi wastafel, seolah itu satu-satunya yang bisa menopangnya. Hatinya benar-benar hancur. Kata-kata tajam Areta masih terngiang di kepalanya, semakin menyayat hati yang sudah rapuh.
"Kenapa Kak Areta begitu kejam? Kenapa dia nggak bisa membiarkan aku bahagia?" pikir Aqila, air matanya tak berhenti jatuh.
Pikiran tentang Daniel semakin menambah beban di dadanya. Sosok pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, kini berdiri di pihak orang yang terus menyakitinya. Melihat Daniel melindungi Areta tadi membuat hatinya semakin teriris. "Kenapa aku masih merasa sakit melihat dia, padahal aku sudah punya Mas Vano?" batinnya, penuh rasa sesak. Hatinya teriris, luka lamanya seperti dibuka kembali.
Tangis Aqila pecah semakin hebat. Ia berusaha melepas segala luka yang membebaninya. Di luar toilet, Amel berdiri dengan wajah cemas. Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba mendengar suara Aqila di dalam.
"Qila? Kamu nggak apa-apa, kan?" panggil Amel dengan suara lembut, berharap Aqila mau menjawab. Ia tahu Aqila pasti sangat terluka setelah kejadian tadi.
Amel mengetuk pintu perlahan. "Qila, ini aku, Amel. Boleh aku masuk?"
Beberapa saat kemudian, pintu toilet terbuka. Aqila keluar dengan wajah sembab, tetapi ia sudah menghapus air matanya. Ia berusaha terlihat kuat, meski sorot matanya tidak bisa menyembunyikan luka di hatinya.
"Aku nggak apa-apa, Mel," ujar Aqila dengan suara yang serak, mencoba tersenyum kecil. "Ayo, kita kembali ke kelas. Sebentar lagi jam kedua mulai."
Amel memandangnya dengan ragu. Ia tahu Aqila hanya berusaha tegar. Namun, ia memilih tidak bertanya lebih banyak. "Baiklah, sekarang ayo kita ke kelas,"
Setelah sesi perkuliahan selesai, Aqila menghela napas panjang. Aqila segera membereskan barang-barangnya. Ia ingin cepat-cepat keluar dari kampus, mencari ketenangan yang ia butuhkan. Ia terlihat sangat tergesa-gesa, seolah ingin menghindari semua orang.
Amel yang memperhatikan dari tempat duduknya memanggil pelan, "Qila? Kamu langsung pulang?"
Aqila menoleh dan mencoba tersenyum. "Iya."
"Pulang sama siapa?" Amel bertanya hati-hati.
"Sendiri," jawab Aqila singkat.
"Kamu yakin nggak apa-apa pulang sendiri? Gimana kalau aku antar? Aku bawa motor, kok," tawar Amel dengan nada tulus.
Namun, Aqila menggeleng pelan. "Makasih, Mel, tapi aku bisa pulang sendiri. Aku juga ada urusan lain."
Amel menghela napas. Ia tahu Aqila tidak ingin menyusahkan orang lain, tetapi ia masih merasa khawatir. "Ya sudah, hati-hati, ya."
Aqila hanya mengangguk dan berjalan pergi, meninggalkan Amel yang masih berdiri memandangnya dengan perasaan iba.
Alvano sudah menunggu di samping mobilnya. Ia tahu Aqila hanya memiliki dua mata kuliah hari ini, jadi istrinya seharusnya sudah selesai. Namun, saat sedang menunggu Aqila keluar, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Alvano segera meronggoh saku celana dan mengambil HP miliknya. Saat ia membuka HPnya, ternyata pesan dari Aqila yang masuk.
"Mas, kamu pulang duluan aja. Aku bisa pulang sendiri." Begitulah isi pesan dari Aqila.
Pesan itu membuat Alvano mengerutkan kening. "Kenapa Aqila ngomong begitu? apa yang terjadi?" gumam Alvano, Tanpa pikir panjang, ia langsung menelepon Aqila. Berkali-kali ia mencoba, namun panggilannya tak diangkat. Rasa gelisah mulai memenuhi pikirannya.
"Aku rasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku harus cari Aqila," gumam Alvano khawatir, ia mulai melangkah cepat kembali ke dalam kampus. Ia memutuskan untuk mencari Aqila, menyusuri lorong demi lorong, menaiki tangga hingga ke lantai lima, tapi sosok Aqila tak kunjung ia temukan.
Ketika kembali ke parkiran, langkahnya dihentikan oleh suara seorang wanita.
"Pak Vano, boleh bicara sebentar?"
Alvano menoleh, mendapati Areta mendekat dengan senyum manis yang terasa dipaksakan.
"Iya, ada apa?" tanya Alvano cuek, matanya masih sibuk menyapu sekeliling, mencari sosok Aqila.
"Saya cuma mau bilang kalau tugas kemarin sudah saya taruh di meja Bapak," ucap Areta, mencoba menarik perhatian Alvano.
"Hanya itu?"
Areta mengangguk. "Tapi... saya juga ada pertanyaan soal materi, Pak."
Alvano menghela napas panjang, jelas tak punya waktu untuk basa-basi. "Kalau soal materi, tanyakan nanti saat kelas. Saya sedang buru-buru."
Tanpa menunggu jawaban Areta, Alvano langsung berlalu pergi, meninggalkan gadis itu yang hanya bisa memandangi punggungnya dengan wajah kesal.
"Pak Vano kenapa, sih? Kok cuek banget? Padahal aku cuma mau dekat sama dia," gerutu Areta, merasa usahanya sia-sia.
🌸🌸🌸🌸🌸
Alvano memegang erat kemudi mobil, jemarinya sedikit bergetar. Raut wajahnya dipenuhi kecemasan. Di sepanjang jalan, matanya terus memindai setiap sudut trotoar dan jalanan, berharap menemukan sosok istrinya.
"Aqila... kamu di mana? Kenapa kamu nggak mau angkat teleponku?" gumamnya dengan suara serak, sembari meremas ponsel di tangannya.
Sebelumnya, Alvano sempat kembali ke rumah, berharap Aqila sudah sampai lebih dulu. Namun, bayangan itu pupus begitu ia mendapati rumah kosong tanpa tanda-tanda kehadiran istrinya. Tak ingin berlama-lama diliputi kekhawatiran, Alvano segera kembali ke jalan, menyusuri wilayah sekitar kampus dan tempat-tempat yang mungkin dialui aqila.
Di sisi lain, Aqila terus berjalan dengan langkah berat. Wajahnya sembab, sisa-sisa air mata masih membasahi pipinya. Meski hatinya terasa hancur, ia tetap melangkah tanpa tujuan.
"Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa aku nggak pernah bisa merasa bahagia?" pikir Aqila, suaranya tersendat di tenggorokan.
Tatapan orang-orang di sekitarnya tak ia hiraukan. Beberapa orang meliriknya dengan rasa iba, beberapa lagi dengan tatapan heran. Namun, Aqila tidak peduli. Baginya, dunia di sekelilingnya hanya kabur oleh air mata dan rasa sakit yang tak berkesudahan.
Di tengah langkahnya yang gontai, Aqila mendongak ke langit yang mulai diselimuti awan kelabu. Langit tampak suram, seolah turut merasakan kesedihan yang ia rasakan. Bibirnya bergetar, suaranya lirih. "Papa... Mama... aku capek. Aku mau ikut kalian aja..."
Saat kalimat itu meluncur dari bibirnya, hujan mulai turun. Tetesan kecil membasahi wajahnya, bercampur dengan air mata yang terus mengalir. Seiring dengan kata-katanya, hujan semakin deras mengguyur kota Jakarta.
Orang-orang di sekitarnya mulai berlari mencari tempat berteduh. Namun, Aqila tetap berdiri di tempatnya, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang kian menggigil. Ia tidak peduli lagi. Air matanya kini bercampur dengan air hujan yang jatuh tanpa henti.
Di tengah derasnya hujan, Aqila menangis sejadi-jadinya, membiarkan semua beban di hatinya luruh bersama air mata. Rasa sakit, kesedihan, dan rasa kehilangan membanjiri dirinya.
"Kenapa... kenapa aku nggak pernah bisa bahagia? Apa aku memang ditakdirkan untuk selalu terluka?" batinnya menjerit.
Hujan deras mengguyur kota Jakarta, tetapi tidak ada yang bisa mengguyur padam rasa sakit di hati Aqila.