Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Dylan melangkah masuk ke apartemennya dengan langkah berat. Ruangan yang biasanya terasa nyaman kini hanya memantulkan kesunyian yang menusuk. Ia melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa, lalu membuka kancing kemejanya satu per satu. Pikirannya dipenuhi dengan ribuan tanya, namun tak satu pun memberikan jawaban yang memuaskan.
Ia menyesap napas dalam-dalam dan berjalan ke dapur, menuangkan segelas air dingin. Tatapannya terpaku pada cangkir yang ia pegang, namun pikirannya jauh melayang pada sosok Rose dan kejadian malam ini.
Alia, ponakannya yang ceria dan polos, mengalami kecelakaan ringan. Untungnya tidak ada cedera serius, hanya beberapa lecet kecil. Tapi entah kenapa, kejadian itu membuat Dylan yakin bahwa Rose marah—bukan karena kecelakaannya, tetapi karena keberadaan Alia sendiri. Rose selalu terlihat tak nyaman saat Alia ada di sekitar mereka. Mungkin ia tak suka pada gadis kecil itu. Mungkin ia merasa Alia mengganggu kebersamaan mereka.
"Seharusnya aku menyuruh asistenku saja menangani ini," gumam Dylan, suaranya pelan, hampir tak terdengar. Pikirannya berputar pada momen saat ia memutuskan untuk meninggalkan Rose demi mengurus Alia. Itu keputusan yang spontan, tetapi kini terasa seperti kesalahan besar. Ia tahu Rose butuh perhatiannya, tetapi Alia adalah tanggung jawabnya.
Setelah beberapa saat tenggelam dalam pikiran, Dylan berjalan menuju jendela apartemennya. Cahaya lampu kota berkilauan di bawah sana, namun keindahannya tak cukup untuk mengusir kegelisahan yang menggerogoti hatinya. Ia menatap jauh ke cakrawala, mencoba menemukan cara untuk menjembatani jarak yang terasa semakin lebar di antara dirinya dan Rose.
Ponselnya tergeletak di meja, diam tanpa notifikasi. Dylan meraihnya, berharap ada pesan atau panggilan dari Rose. Namun, layar hanya memantulkan keheningan yang sama dengan malam itu.
Ia menghela napas panjang. Menyesal memang tidak ada gunanya sekarang. Yang perlu ia lakukan adalah mencari cara untuk berbicara dengan Rose, menjelaskan segalanya, dan berharap ia mau mendengarkan.
Pikirannya mulai merangkai kata-kata yang tepat. Tapi bagaimana jika Rose benar-benar kecewa? Bagaimana jika ia tidak mau menerima alasan apapun? Dylan menggeleng, mencoba mengusir pikiran buruk itu.
Dengan langkah mantap, ia memutuskan untuk tidak menunda lagi. Ia harus menghubungi Rose malam ini juga, sebelum jarak itu berubah menjadi jurang yang tak terjembatani.
"Rose, aku akan memperbaiki semuanya," bisiknya pada dirinya sendiri.
***
Sorotan lampu panggung membanjiri sosok Rose yang berdiri anggun di tengah panggung. Gaun hitam berkilauan yang ia kenakan memantulkan cahaya, membuatnya terlihat seperti bintang yang turun ke bumi. Penonton bersorak riuh ketika ia memegang mikrofon, senyumnya merekah sejenak sebelum perlahan memudar.
Malam ini, ia tampil di hadapan ratusan penggemar yang telah menanti kehadirannya. Tapi di balik sorakan dan kilauan lampu, hati Rose terasa berat. Ia memikirkan Dylan. Meski ia mencoba mengabaikan rasa kecewa yang menyelinap, ia tahu dirinya tak bisa sepenuhnya melupakan.
Musik mulai mengalun, memperkenalkan lagu yang sudah ditunggu-tunggu banyak orang: "Mantan yang Beracun." Lagu ini menjadi favorit para penggemarnya, tapi malam ini, bait-baitnya terasa terlalu dekat dengan hatinya sendiri.
Rose mulai bernyanyi. Suaranya mengalir lembut, membawa emosi yang menyentuh hati setiap orang di ruangan itu.
"Kamu datang, mencuri hatiku, lalu pergi seakan tiada arti…
Kamu bicara tentang cinta, tapi hanya racun yang kau beri…"
Setiap kata yang ia nyanyikan menghidupkan kembali perasaannya pada Dylan—cinta, harapan, dan luka. Ia tahu lagu ini tentang masa lalunya, tapi entah kenapa malam ini terasa seperti cerita baru yang terulang.
Penonton terdiam, terpesona oleh penampilannya. Beberapa orang menyeka air mata mereka, terbawa suasana oleh nada yang penuh rasa. Ada yang berbisik pada teman di sebelahnya tentang betapa cantiknya Rose malam ini, dengan mata yang berkilau seperti embun pagi. Namun, hanya Rose yang tahu bahwa kilauan itu berasal dari air mata yang tertahan.
Saat lagu mencapai puncaknya, emosi Rose tak lagi bisa ia bendung. Sebuah air mata meluncur pelan di pipinya, mengiringi bait terakhir yang ia nyanyikan:
"Kini aku tahu, cinta tak selalu indah…
Kadang hanya luka yang kau tinggalkan."
Saat nada terakhir menghilang di udara, ruangan itu meledak dengan tepuk tangan dan sorakan. Penonton memuji penampilan Rose yang memukau, namun ia hanya berdiri di sana, mencoba menarik napas panjang.
Di belakang senyumnya yang ia pasang untuk menutupi rasa pedih, Rose bertanya-tanya. Apakah Dylan, di suatu tempat malam ini, mendengarkan lagu itu? Apakah ia tahu betapa sakitnya hati Rose saat ini?
Saat lampu meredup dan ia meninggalkan panggung, ponselnya bergetar di dalam tas kecil yang ia bawa. Nama Dylan tertera di layar. Rose berhenti sejenak, menatapnya dengan ragu. Ada keinginan untuk mengangkat, tapi ada juga rasa marah yang masih menggumpal.
Ia menarik napas dalam, mencoba mencari kekuatan. Tepuk tangan di luar panggung terus bergema, tapi di dalam hatinya, hanya ada kebisuan yang menyelimuti.
***
Di ruang rias yang dipenuhi dengan cermin besar dan lampu terang, Rose duduk sendirian. Para kru sibuk mondar-mandir di luar, memastikan segalanya sempurna untuk pertunjukan malam ini. Namun, di dalam ruangan, hanya ada kesunyian yang menyelimuti dirinya.
Ia menatap bayangannya di cermin. Wajah yang dipoles sempurna dengan riasan, bibir merah yang menggoda, dan mata tajam yang memancarkan kepercayaan diri. Tapi semua itu hanya tampilan luar. Di dalam, hatinya masih terombang-ambing.
Di meja rias, ponselnya tergeletak, diam tanpa bunyi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Rose telah membuka blokiran kontak Dylan. Ia tidak tahu mengapa ia melakukannya—apakah karena rindu, atau mungkin karena ia ingin mendengar penjelasan. Atau mungkin karena ada bagian kecil dari dirinya yang berharap Dylan akan menghubungi.
Tapi di sisi lain, kebencian masih ada. Bukan hanya karena Dylan memilih meninggalkannya malam itu, tetapi karena ia merasa selalu berada di urutan kedua dalam hidup Dylan. Apakah ia tidak cukup penting untuk menjadi prioritas?
Rose menghela napas panjang. Ia tahu ia sedang mencoba menyelami perasaannya sendiri, mencari jawaban di antara gelombang rindu dan marah yang terus berputar dalam pikirannya.
"Kenapa harus serumit ini?" bisiknya pelan, seolah menanyakan pertanyaan itu pada bayangannya sendiri di cermin.
Sebuah ketukan pelan di pintu memecahkan lamunannya. "Rose, sepuluh menit lagi," suara manajernya terdengar dari balik pintu.
"Baik," jawabnya, mencoba menyembunyikan keraguan di balik suara tegasnya.
Ia mengambil ponselnya, menatap layar yang kosong. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Dylan tidak mencoba menghubunginya, meskipun ia tahu Rose telah membuka jalan untuk itu.
Rose mendesah, lalu meletakkan ponselnya kembali ke meja. Ia berdiri, memperbaiki gaunnya, dan mengenakan sepasang sepatu hak tinggi yang berkilauan.
Ketika ia berjalan menuju pintu, ia berhenti sejenak, menatap cermin untuk terakhir kali. Apakah ia benar-benar siap naik panggung dengan semua beban ini? Ia tahu para penggemarnya tidak akan peduli pada perasaannya. Yang mereka inginkan hanyalah melihatnya bersinar, menyanyikan lagu-lagu yang mereka cintai.
Tapi malam ini, Rose tahu ia tidak bisa menyembunyikan semuanya. Sebagian dari hatinya yang terluka akan ikut mengalir melalui setiap bait yang ia nyanyikan.
Sambil menarik napas panjang, ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan perasaan yang belum tuntas di ruang rias itu. Namun, jauh di dalam hati, ia bertanya-tanya. Apakah Dylan benar-benar sudah melupakannya? Atau mungkinkah ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali?