"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Ranjang yang Terhina
Pagi itu, langit Desa Makmur tertutup kabut tebal yang dingin, seolah-olah alam pun enggan melihat apa yang terjadi di dalam kediaman keluarga Permata. Risa terbangun dengan rasa perih di sekujur tubuhnya, namun ketakutannya jauh lebih besar daripada rasa sakitnya. Di balik punggungnya, ia masih menyembunyikan kamera pengintai kecil yang ia temukan.
"Apa yang kau pegang, Risa?" suara Doni terdengar seperti desisan ular. Ia melangkah mendekat, tetesan air dari rambutnya jatuh ke lantai marmer, menciptakan suara detak yang sinkron dengan detak jantung Risa yang menggila.
"Bukan apa-apa... hanya... hanya jepit rambutku yang jatuh," bohong Risa, suaranya bergetar hebat.
Doni tidak percaya begitu saja. Ia menyambar lengan Risa dan memelintirnya ke belakang dengan satu gerakan kasar. Risa memekik kesakitan saat benda kecil itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai. Kamera kecil itu berguling tepat di depan kaki Doni.
Mata Doni membelalak. Ia memungut benda itu dan menatapnya dengan kilat kegilaan. "Siapa yang memasang ini?! Kau?! Kau mencoba menjebakku dengan bukti KDRT, hah?!"
"Bukan aku, Doni! Aku baru saja menemukannya!" teriak Risa sambil menahan tangis.
PLAK!
Satu tamparan keras kembali mendarat di pipi Risa yang sudah lebam. Tubuh kecilnya terlempar ke sudut lemari. Doni menghancurkan kamera itu di bawah tumitnya hingga berkeping-keping.
"Jangan berani-berani bermain api denganku, Risa! Siapa pun yang memasang ini, aku akan menemukannya. Tapi kau... kau akan menerima hukuman karena mencoba menyembunyikannya dariku!" Doni menarik rambut Risa dan menyeretnya keluar kamar.
Risa tidak dibawa ke gudang kali ini. Ia dilemparkan ke ruang cuaca sebuah ruangan kecil di belakang dapur yang tanpa jendela dan hanya berisi tumpukan baju kotor.
"Diam di sini sampai aku memanggilmu. Jangan berani bersuara!" Doni mengunci pintu dari luar, meninggalkan Risa dalam kegelapan yang sesak.
Risa menghabiskan berjam-jam di dalam ruangan itu. Bau apek dari pakaian kotor dan udara yang minim membuatnya hampir pingsan. Perutnya melilit karena belum ada makanan yang masuk sejak kemarin sore. Ia hanya bisa meringkuk, menangisi nasibnya yang semakin hari semakin hancur. Ia tidak tahu siapa yang memasang kamera itu, namun ia merasa bahwa di dalam rumah ini, semua orang adalah musuhnya.
Sore harinya, pintu ruangan dibuka. Bukan oleh Doni, melainkan oleh salah satu anak buah Doni yang menatapnya dengan pandangan meremehkan.
"Keluar. Tuan Doni ingin kau membersihkan kamar utama sekarang juga," perintah pria itu.
Risa menyeret langkahnya yang lemas menuju kamar utama di lantai dua. Namun, saat ia sampai di depan pintu, langkahnya terhenti. Ia mendengar suara tawa wanita yang genit dari dalam kamar. Suara itu bukan suara Tante Dina, melainkan suara yang asing namun penuh dengan nada kemenangan.
Dengan tangan gemetar, Risa mendorong pintu kamar yang tidak tertutup rapat.
Pemandangan di hadapannya membuat jantung Risa seolah berhenti berdetak. Di atas ranjang besar milik mendiang orang tuanya—ranjang tempat ayahnya dulu membacakan dongeng untuknya, ranjang yang kini menjadi tempat siksaannya—Doni sedang berbaring mesra dengan seorang wanita berpakaian minim.
Wanita itu adalah Melati, putri dari salah satu mandor hutan yang dulu bekerja pada ayah Risa. Melati selalu iri pada Risa sejak mereka sekolah, dan kini, wanita itu tampak sangat menikmati posisinya di atas kemewahan yang dirampas dari Risa.
"Oh, lihat siapa yang datang," Melati menyeringai, ia sengaja merapatkan tubuhnya pada dada bidang Doni. "Istri sahmu sudah datang, Sayang."
Doni menoleh, tidak ada sedikit pun rasa malu atau canggung di wajahnya. Ia justru tertawa sambil mengelus pipi Melati. "Biarkan saja. Dia datang untuk bekerja. Bersihkan lantai ini, Risa. Dan jangan lupa rapikan sepatu Melati di depan pintu."
"Doni... kau... kau keterlaluan," bisik Risa dengan suara yang pecah. "Ini kamar orang tuaku! Kau membawa wanita lain ke sini?!"
Doni bangkit dari posisi berbaringnya, wajahnya mendadak menjadi kejam. "Kamar orang tuamu? Dengar ya, jalang kecil. Ini kamarku sekarang! Aku bos di rumah ini! Dan Melati adalah wanita yang tahu cara memuaskanku, tidak seperti kau yang hanya bisa menangis dan menggigil seperti tikus kehujanan!"
"Tapi aku istrimu!" teriak Risa, sebuah keberanian terakhir muncul dari rasa sakit hatinya yang terdalam.
Doni melompat dari tempat tidur, ia hanya mengenakan celana pendek. Dengan satu gerakan cepat, ia mencengkeram leher Risa dan menyeretnya mendekat ke arah ranjang.
"Kau ingin diakui sebagai istri? Lihat ini baik-baik!" Doni memaksa Risa untuk berlutut di samping tempat tidur, memaksa matanya untuk melihat Melati yang sedang terkekeh mengejek. "Kau hanyalah keset kaki di rumah ini, Risa. Melati akan tinggal di sini mulai sekarang. Dia akan menempati kamar ini bersamaku, dan kau? Kau akan tidur di gudang bawah tangga setiap malam!"
Melati turun dari ranjang, ia berjalan perlahan mendekati Risa dan dengan sengaja menjatuhkan segelas anggur merah ke arah kepala Risa. Cairan merah itu mengalir di dahi Risa, membasahi pakaian lusuhnya, tampak seperti darah yang tumpah.
"Ups, tanganku licin," ejek Melati sambil tertawa nyaring. "Bersihkan ini, Risa. Jangan sampai ada noda yang tertinggal di karpet mahal 'milik' suamiku ini."
Risa terisak di lantai. Penghinaan ini jauh lebih menyakitkan daripada cambukan ikat pinggang kemarin. Ia merasa martabatnya sebagai manusia telah dihancurkan hingga menjadi debu. Di rumahnya sendiri, di depan suaminya sendiri, ia diperlakukan lebih rendah daripada pelayan.
"Cepat bersihkan!" bentak Doni sambil menendang paha Risa.
Dengan tangan yang gemetar dan air mata yang terus mengalir, Risa mulai mengelap tumpahan anggur itu menggunakan ujung bajunya sendiri. Ia mendengar Doni dan Melati kembali bercumbu di atas ranjang, suara-suara menjijikkan itu memenuhi ruangan, menusuk-nusuk gendang telinganya seperti duri.
Tuhan... ambil saja nyawaku... aku tidak sanggup lagi... batin Risa dalam keputusasaan yang absolut.
Malam itu, sesuai perintah Doni, Risa benar-benar diusir dari kamar utama. Ia diseret menuju gudang bawah tangga yang sempit, gelap, dan penuh dengan sarang laba-laba. Pintu gudang digembok dari luar. Tidak ada kasur, tidak ada bantal, hanya lantai semen yang dingin dan tumpukan kardus bekas.
Risa meringkuk di sudut ruangan yang pengap itu. Ia bisa mendengar suara musik keras dari lantai atas, suara tawa Doni dan Melati yang sedang berpesta merayakan "kemenangan" mereka.
Setiap tawa yang terdengar bagaikan sayatan pisau di hati Risa. Ia teringat bagaimana Paman Hari menjanjikan bahwa Doni akan melindunginya. Ia teringat bagaimana Tante Dina bilang ini adalah jalan terbaik. Semuanya bohong. Mereka semua adalah kawanan serigala yang telah berpesta di atas bangkai ayahnya dan kini sedang mengunyah sisa-sisa hidupnya.
Risa melihat ke arah tangannya yang kotor dan penuh luka. Dendam yang selama ini ia tekan mulai mengkristal di dalam dadanya. Namun di kehidupan pertama ini, ia hanyalah seorang korban yang tidak memiliki daya. Ia tidak memiliki sistem, ia tidak memiliki kekuatan fisik, ia tidak memiliki siapa-siapa.
Tiba-tiba, ia teringat pada kamera pengintai tadi pagi. Jika ada yang memasang kamera itu, berarti ada orang lain yang sedang mengawasi Doni. Siapa mereka? Apakah mereka teman atau lawan?
Harapan kecil itu muncul sesaat, namun segera padam saat ia menyadari bahwa ia bahkan tidak bisa keluar dari gudang ini untuk mencari tahu.
Tengah malam, pintu gudang terbuka sedikit. Doni masuk dengan botol minuman di tangannya. Ia tampak mabuk berat. Ia menendang kaki Risa agar terbangun.
"Bangun, budak!" teriak Doni.
Risa tersentak bangun dengan wajah ketakutan. "Doni... apa lagi yang kau inginkan?"
Doni berlutut di depan Risa, mencengkeram wajahnya dengan kasar. "Kau tahu? Melati bilang kau punya kalung emas peninggalan ibumu. Berikan padaku! Aku butuh modal untuk judi malam ini!"
"Tidak, Doni! Itu satu-satunya kenang-kenangan dari Ibuku! Tolong, jangan ambil itu!" Risa memegang dadanya, tempat ia menyembunyikan kalung itu di balik bajunya.
"Berikan atau aku akan memotong lehermu sekarang juga!" Doni merogoh paksa ke dalam kerah baju Risa. Ia menarik rantai emas tipis itu hingga putus dan meninggalkan bekas merah di leher Risa.
"JANGAN! DONI, TOLONG!" Risa mencoba merebut kembali kalung itu, namun Doni justru melayangkan tinjunya ke perut Risa.
Risa tersungkur, memegangi perutnya yang terasa sangat sakit. Ia terbatuk-batuk, berusaha mencari udara. Doni tertawa sambil mengantongi kalung itu.
"Terima kasih untuk modalnya, Istriku. Tidurlah yang nyenyak di sarang tikus ini," Doni keluar dan kembali mengunci pintu.
Risa menangis dalam diam di dalam kegelapan. Kalung itu adalah harta terakhirnya. Harapan terakhirnya. Kini, ia benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi. Hartanya, rumahnya, harga dirinya, hingga kenangan tentang orang tuanya pun telah dirampas oleh monster itu.
Di dalam gudang yang sunyi itu, sebuah sumpah darah lahir dari bibir Risa yang pecah.
Jika aku mati... aku akan menyeretmu bersamaku ke neraka, Doni Wijaya. Aku bersumpah... kalian semua akan membayar setiap tetes air mata dan darah yang tumpah di rumah ini.
Namun di kehidupan pertama ini, Risa hanya bisa meratapi penderitaannya. Malam yang panjang masih menyisakan banyak kegelapan, dan hari esok menjanjikan siksaan yang mungkin jauh lebih berat. Neraka Risa baru saja dimulai, dan pintu keluarnya tampak semakin tertutup rapat.
Keesokan paginya, Melati mendatangi gudang Risa saat Doni sedang pergi. Bukannya membawa makanan, ia membawa sebuah ember berisi air kotor bekas cucian pel.
"Bangun, Tuan Putri! Waktunya mandi!" teriak Melati sambil menyiramkan air kotor itu ke seluruh tubuh Risa.
Namun, di tengah siraman air itu, Risa melihat Melati memegang sebuah ponsel dan sedang melakukan panggilan video dengan seseorang. Risa sayup-sayup mendengar suara dari ponsel itu—suara yang sangat ia kenal. Suara Paman Hari yang sedang tertawa sambil bertanya, "Bagaimana keadaan 'investasi' kita di gudang?"
Risa menyadari bahwa penderitaannya ini benar-benar ditonton sebagai hiburan oleh orang-orang yang ia anggap keluarga.