Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegunaan Mutiara Gerbang Dimensi
Boqin Changing menutup telapak tangannya perlahan, menggenggam mutiara itu dengan mantap. Sejak awal, jauh sebelum Tetua Ai membuka identitasnya, bahkan sebelum Ji Yayi menodongkan pedang dengan kesombongan bodohnya, ia sudah menduga apa sebenarnya benda yang dicuri pemuda itu.
Di kehidupan pertamanya… artefak ini akhirnya ia dapatkan. Saat itu, Binatang Suci Serigala bukan sekadar penguasa hutan yang ada di alam ini. Ia adalah makhluk licik yang memahami betul cara menyembunyikan harta terpentingnya. Bukan disimpan di sarangnya, bukan pula dibawa sendiri, melainkan disembunyikan di tubuh salah satu pengikut silumannya. Pengikut yang tidak mencolok, tidak menonjol, tidak terlalu kuat, dan nyaris mustahil dicurigai.
Namun Boqin Changing dan para pengikutnya kala itu telah membantai mereka satu per satu. Ia masih ingat jelas. Setelah darah Binatang Suci Serigala membasahi tanah, setelah raungannya mengguncang langit malam, Boqin Changing tidak langsung pergi. Ia dan pasukannya menyisir setiap mayat siluman, merobek daging, menghancurkan tubuh, hingga akhirnya menemukan mutiara keabu-abuan yang tampak biasa… namun membuat ruang di sekitarnya bergetar halus.
Itu adalah Mutiara Gerbang Dimensi.
Kini, setelah kembali ke masa lalunya, fakta bahwa Binatang Suci itu sampai hendak mengerahkan ribuan siluman pengikutnya untuk menyerang Kota Kashgar hanya menguatkan satu kesimpulan di benak Boqin Changing.
Tidak ada alasan lain. Bukan balas dendam. Bukan wilayah. Bukan provokasi sekte atau kelompok lainnya. Hanya mutiara ini.
Jika bukan karena artefak ini, Binatang Suci Serigala tidak akan mempertaruhkan seluruh pasukannya. Ia adalah makhluk yang licik dan penuh perhitungan. Namun demi mutiara ini, bahkan makhluk secerdik itu rela menyingkap dirinya ke dunia luar.
Boqin Changing membuka telapak tangannya sedikit, menatap mutiara itu dengan saksama. Artefak ini memang tidak memancarkan aura ganas. Bahkan bagi kebanyakan pendekar, ia mungkin hanya terlihat sebagai benda aneh tanpa kegunaan jelas. Namun Boqin Changing tahu betul betapa mengerikannya kemampuan yang tersembunyi di balik penampilannya yang sederhana.
Mutiara Gerbang Dimensi. Artefak yang mampu memindahkan seseorang ke tempat yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Bukan ilusi. Bukan bayangan. Pemindahan nyata.
Sekali digunakan, penggunanya bisa melangkah melintasi ribuan kilometer dalam sekejap mata, muncul tepat di lokasi yang telah terekam dalam pikiran orang yang menyentuh mutiara ini. Gunung, kota, lembah, bahkan ruang rahasia, selama pernah diinjakkan kaki di sana, tempat itu bisa dicapai kembali.
Yang membuat artefak ini jauh lebih berharga dibandingkan kebanyakan artefak dimensi lainnya… Ia bisa digunakan berkali-kali. Tidak hancur setelah satu kali pakai. Tidak retak. Tidak lenyap. Hanya membutuhkan waktu pemulihan selama satu bulan.
Setelah digunakan, mutiara ini akan menjadi benda mati selama satu bulan penuh sebelum kekuatannya pulih kembali. Bagi orang lain, batasan itu mungkin terasa berat. Namun bagi Boqin Changing… Itu lebih dari cukup.
Ia mengangkat pandangannya dari mutiara itu, lalu tanpa berkata apa-apa, berbalik dan berjalan kembali ke kursinya. Langkahnya tenang, seolah apa yang baru saja ia ambil hanyalah benda biasa, bukan artefak yang bisa membuat seluruh kekaisaran terguncang bila kabar keberadaannya tersebar.
Ia duduk kembali. Gerakannya sederhana. Namun saat ia duduk, seolah seluruh orang di aula ikut tenggelam dalam tekanan tak kasatmata. Tidak ada yang berani berbicara.
Ji Wei masih menunduk, punggungnya terasa basah oleh keringat dingin. Ji Yayi tetap berlutut, kepalanya tertunduk dalam, napasnya masih belum stabil. Tetua Ai dan Tetua Yu memilih diam, memahami betul bahwa momen ini bukanlah milik mereka.
Sha Nuo bersandar santai di kursinya, senyum tipis terukir di sudut bibirnya, namun matanya tajam mengamati setiap perubahan ekspresi di aula.
Namun tidak satu pun suara muncul. Tidak ada yang berani bertanya. Tidak ada yang berani menyela. Bahkan napas pun terdengar tertahan.
Suasana aula jatuh ke dalam keheningan total. Keheningan yang berat. Keheningan yang menekan.
Keheningan yang membuat semua orang sadar… Bahwa sejak mutiara itu berpindah tangan, nasib Kota Kashgar dan mungkin lebih dari itu saat ini berada di genggaman Boqin Changing.
Melihat keheningan yang seolah membeku itu, Sha Nuo akhirnya tidak tahan untuk bicara. Ia memiringkan kepala, lalu menatap Boqin Changing tanpa sedikit pun rasa sungkan.
“Lama sekali,” katanya santai, suaranya memecah keheningan seperti bilah pisau tipis. “Apa lagi yang kau tunggu, Tuan Muda? Apa aku perlu membunuh bocah ini sekarang?”
Beberapa orang tersentak. Ji Yayi gemetar hebat, sementara Ji Wei nyaris mengangkat kepala karena refleks, lalu segera menunduk kembali.
Boqin Changing tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju ke mutiara yang kini tersembunyi di dalam genggamannya. Setelah beberapa tarikan napas, ia berkata datar, tanpa menoleh.
“Diamlah, Paman Nuo. Aku sedang berpikir.”
Sha Nuo justru tertawa kecil.
“Berpikir?” Ia menyeringai. “Atau kau sedang berpikir untuk tampil keren lagi di depan orang-orang ini?”
Kali ini, aula benar-benar terguncang, bukan oleh aura, melainkan oleh keterkejutan.
Ji Wei dan Ji Yayi tanpa sadar mengangkat pandangan mereka. Mata mereka membelalak. Ada seseorang… seseorang yang berani berbicara dengan nada seperti itu kepada Boqin Changing. Tidak takut. Bahkan terkesan meledek.
Namun ingatan Ji Wei segera berputar. Ucapan Tetua Ai sebelumnya kembali terngiang di benaknya. Tuan Nuo… pendekar hebat. Pelayan pribadi Boqin Changing. Sosok yang berdiri di sisi Dewa Kematian itu sendiri. Ia adalah pelayan dari Boqin Changing. Dada Ji Wei terasa makin sesak.
Tetua Ai dan Tetua Yu justru hanya melirik Sha Nuo sekilas. Wajah mereka tetap tenang. Tidak terkejut. Tidak tersinggung. Mereka pernah melihat sendiri bagaimana orang ini bertarung. Gerakannya tidak wajar, caranya membunuh tidak normal, dan kekuatannya… jauh melampaui batas yang bisa mereka pahami.
Orang ini berada di level yang sama sekali berbeda. Bahkan duduk di aula yang sama pun terasa seperti sebuah kehormatan yang berlebihan.
Akhirnya, Boqin Changing membuka mulutnya. Ia mengangkat kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Ji Wei. Tatapannya dingin, tajam, dan penuh penilaian.
“Tuan Kota Ji Wei,” ucapnya perlahan.
Ji Wei tersentak dan segera menegakkan punggungnya meski lututnya masih bergetar.
“Y-ya… Pendekar Chang.”
“Dosa anakmu,” lanjut Boqin Changing dengan suara tenang namun berat, “sangat besar.”
Setiap kata jatuh dan menggetarkan hati Ji Wei.
“Ia tidak hanya mengambil barang yang bukan miliknya,” katanya lagi. “Ia bahkan berani berbohong dengan membawa-bawa nama leluhur.”
Ji Yayi menggigit bibirnya hingga berdarah.
“Tidak cukup sampai di situ,” suara Boqin Changing mengeras sedikit. “Pemuda itu bahkan menyerangku.”
Ji Wei gemetar hebat. Keringat dingin menetes dari pelipisnya.
“Dan kau harus tahu satu hal,” lanjut Boqin Changing, nadanya tetap terkendali. “Andaikan tidak ada diriku… Kota Kashgar sudah menjadi puing. Ribuan siluman akan membanjiri tembok kota. Tidak akan ada yang tersisa selain darah dan mayat.”
Kata-kata itu bukan ancaman. Itu pernyataan fakta.
Boqin Changing menatap Ji Yayi sejenak. Di balik ketenangannya, pikirannya bergejolak. Ia sedang berbicara dalam hatinya.
“Sejujurnya… aku ingin membunuhnya sekarang juga.”
Tangannya mengepal perlahan di balik lengan bajunya. Pikirannya terus bergejolak.
“Namun tanpa campur tangan bocah ini… aku tidak akan menemukan kembali Mutiara Gerbang Dimensi.”
Ia menghembuskan napas perlahan. Masih tenggelam dalam pikirannya.
“Hukum sebab akibat… memang menjengkelkan.”
Dalam sikap kurang ajarnya, dalam kesombongan dan kebodohannya, Ji Yayi telah menjadi perantara. Karena pemuda inilah mutiara itu berpindah tangan. Karena keserakahannya, artefak ini kembali ke dirinya.
“Dalam hal ini… aku berhutang sedikit padanya.”
Namun tatapan Boqin Changing kembali mengeras. Dalam keadaan berpikir ia menyadari berbahayanya pemuda ini nantinya.
“Namun jika dibiarkan hidup… pemuda ini akan menjadi bahaya besar di masa depan.”
Ia tahu betul tipe orang seperti Ji Yayi. Ambisi tanpa moral. Keberanian tanpa kebijaksanaan. Jika suatu hari ia memperoleh kekuatan yang cukup… Kota Kashgar mungkin bukan satu-satunya korban.
Akhirnya, Boqin Changing kembali memusatkan perhatiannya pada Ji Wei.
“Keadilan harus ditegakkan,” katanya pelan namun jelas. “Jadi sekarang aku bertanya kepadamu, Tuan Kota Ji Wei.”
Seluruh aula menahan napas.
“Hukuman apa,” lanjut Boqin Changing, matanya menusuk lurus ke arah Ji Wei, “yang akan kau berikan kepada anakmu ini?”