Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 WARNA BARU.
Dentuman musik pelan mulai mereda, berganti alunan lagu mellow yang memberi tanda bahwa malam hampir usai. Orang-orang di klab masih menari, beberapa mulai mabuk berat, sebagian lainnya sibuk mencari pasangan untuk dibawa pulang. Namun Alya memilih duduk kembali di kursinya bersama Dinda.
Wajahnya masih menyimpan sisa senyum senyum yang tidak dipaksakan. Senyum yang lahir dari perasaan lega karena untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa bebas.
Dinda meneguk sisa minumannya lalu menatap Alya dengan cermat. “Mbak kelihatan lebih santai sekarang. Saya senang lihatnya.”
Alya menoleh pada asistennya itu, tersenyum samar. “Iya, Din. Rasanya seperti beban di dada agak ringan. Walau aku tahu besok pagi semua ini kembali lagi… tapi setidaknya malam ini, aku bisa bernapas.”
Dinda tidak menjawab, hanya menepuk punggung tangan Alya dengan penuh pengertian.
Tak lama, langkah berwibawa terdengar mendekat. Alya menoleh dan mendapati Tuan Sam berdiri di samping meja mereka. Pria itu masih tampak rapi meski sudah larut malam. Senyum tipis yang ia kenakan seakan cukup untuk mengalihkan perhatian siapa pun di ruangan.
“Sudah cukup bersenang-senang malam ini?” tanyanya, suaranya tenang dan hangat.
Alya tersenyum tipis. “Lebih dari cukup, Tuan Sam. Saya sampai lupa kalau besok harus kembali menghadapi dunia nyata.”
Sam tertawa kecil, lalu melirik jam tangannya. “Sudah lewat jam dua. Seharusnya kalian pulang dan istirahat.”
Dinda mengangguk cepat, seperti mendapatkan alasan yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. “Nah, itu dia. Saya setuju, Mbak Alya. Kita pulang, ya? Saya juga sudah agak pusing.”
Alya sempat ingin protes, tapi ia menghela napas dan mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu kita pulang.”
Sam langsung memberi isyarat kepada pelayan untuk menyiapkan tagihan, lalu menatap Alya lagi. “Izinkan saya mengantarkan kalian pulang. Malam sudah larut, tidak aman untuk wanita berjalan sendirian.”
“Tidak perlu repot—” Alya baru akan menolak, tapi tatapan Sam yang penuh keyakinan membuat kata-katanya terhenti.
“Bukan repot, Alya. Itu namanya menghormati,” ucap Sam mantap.
Alya terdiam, lalu mengangguk. “Baiklah.”
---
Di luar klab, udara malam terasa dingin. Mobil hitam mewah Sam sudah menunggu di depan pintu masuk. Sopirnya sigap membukakan pintu belakang, dan Sam dengan sikap penuh tata krama mempersilakan Alya dan Dinda masuk terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa berbeda. Tidak ada dentuman musik, hanya keheningan yang sesekali dipotong percakapan ringan.
“Jadi, kau sering datang ke tempat seperti itu untuk melepas penat?” tanya Sam sambil menoleh sekilas.
Alya tersenyum samar, menatap jalanan kota yang dipenuhi lampu. “Tidak sering. Hanya ketika aku merasa hampir meledak. Klab malam itu bising, penuh orang asing… tapi justru di situlah aku bisa menghilang tanpa harus menjelaskan siapa diriku.”
Sam mengangguk pelan. “Aku mengerti. Kadang kita memang butuh ruang di mana dunia tidak mengenal kita. Tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri, tanpa tuntutan apa pun.”
Kata-kata itu membuat Alya menoleh, menatap profil wajah pria itu. Ada ketulusan di balik suara Sam. Bukan sekadar basa-basi.
“Aku kira, Tuan Sam terlalu sibuk dengan bisnis untuk memahami hal seperti itu,” ujar Alya lirih.
Sam menoleh singkat, tersenyum tipis. “Justru karena aku sibuk dengan bisnis, aku tahu betapa melelahkannya berpura-pura kuat di hadapan orang lain.”
Alya terdiam. Kalimat itu menusuk hatinya, seolah Sam bisa membaca beban yang selama ini ia sembunyikan.
Dinda yang duduk di samping Alya melirik keduanya, tapi memilih pura-pura memejamkan mata, memberi ruang bagi percakapan yang terasa terlalu pribadi.
---
Mobil berhenti di depan apartemen mewah Alya. Sopir kembali sigap membukakan pintu. Alya turun lebih dulu, diikuti Dinda.
Sam ikut keluar, namun ia tidak berusaha mendekat terlalu jauh. Ia hanya berdiri di samping mobil, menatap Alya dengan tatapan hangat namun penuh wibawa.
“Terima kasih sudah menemani malam ini,” ucap Alya tulus. “Aku tidak menyangka bisa sedikit melupakan masalahku.”
Sam tersenyum. “Terima kasih karena sudah mempercayakan waktumu padaku. Tapi, Alya…”
Alya menatapnya, menunggu kelanjutan kalimat itu.
Sam mencondongkan tubuh sedikit, namun tetap menjaga jarak. “Aku tidak ingin terburu-buru. Kau bukan wanita yang bisa ditaklukkan dengan satu malam kebersamaan. Aku tahu itu. Jadi biarkan aku tetap di sisimu, perlahan, sampai kau sendiri yang membuka pintu.”
Alya membeku sesaat. Kata-kata itu… bukan rayuan murahan. Itu sebuah janji. Sebuah kesabaran yang tidak pernah ia dapatkan dari pria manapun sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, Alya tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mampu tersenyum tipis dan mengangguk. “Selamat malam, Tuan Sam.”
“Selamat malam, Alya. Istirahatlah. Dunia besok masih panjang.”
Dengan itu, Sam kembali masuk ke dalam mobilnya. Mesin berderum pelan, lalu mobil itu melaju meninggalkan halaman apartemen.
Alya berdiri di depan pintu gedung beberapa detik, menatap arah mobil yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, sesuatu yang bukan sekadar rasa penasaran.
“Sam…” gumamnya lirih.
Dinda mendekat, menepuk bahunya. “Mbak, ayo masuk. Udara malam dingin.”
Alya mengangguk dan melangkah masuk. Namun dalam hatinya, ia tahu malam ini bukan sekadar pelarian. Malam ini memperkenalkan warna baru dalam hidupnya. Warna yang berbeda dari kebencian, dendam, dan luka.
Warna yang mungkin bisa membawanya menemukan ketenangan yang selama ini ia cari.