Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
the imperial sakura hotel
Bus berhenti di depan sebuah hotel tinggi bergaya modern yang berdiri di jantung kota Tokyo. Logo “The Imperial Sakura Hotel” terpampang elegan di atas pintu masuk utama. Dedaunan sakura berguguran perlahan di sepanjang jalan setapak menuju lobi, menciptakan pemandangan lembut yang kontras dengan udara dingin sore itu.
Panitia Jepang menyambut para peserta dengan sopan, membagikan kunci kamar dan jadwal kegiatan untuk beberapa hari ke depan.
“Miss Walker, this is your key,” ucap panitia perempuan tadi sambil menyerahkan kartu kamar dengan senyum ramah.
“Thank you,” jawab Viora sambil menunduk sopan.
Arvin berjalan di sampingnya, masih sibuk membaca jadwal. “Kita satu lantai, Vi. Tapi kamar lo sebelahan sama... Agler.” Gue harap Lo nyaman yah!" Ujarnya setengah bercanda yang di balas kekehan geli oleh gadis itu.
Agler, yang sudah lebih dulu berjalan ke arah lift, tak menoleh sama sekali. Hanya melirik sekilas dari refleksi pintu logam sebelum langkahnya kembali tegap dan diam.
Begitu sampai di lantai sepuluh, Viora masuk ke kamarnya sendiri. Desain interiornya minimalis, serba putih dengan sentuhan kayu hangat. Dari jendela besar, pemandangan kota Tokyo tampak gemerlap oleh cahaya senja—menyilaukan tapi menenangkan di waktu yang sama.
Ia menarik koper ke sudut ruangan, lalu duduk di tepi tempat tidur, menarik napas panjang. Tubuhnya terasa lelah setelah penerbangan panjang, tapi pikirannya masih penuh dengan bayangan—baik tentang perlombaan yang akan datang... maupun seseorang yang tertinggal jauh di Jakarta.
Tanpa menunda lebih lama, Viora segera masuk ke kamar mandi. Uap hangat menyelimuti tubuhnya, menghapus rasa dingin dan penat perjalanan. Rambutnya yang panjang terurai lembut, aroma sabun melati memenuhi ruangan kecil itu.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan pakaian santai: sweater abu muda dan celana panjang hitam. Wajahnya tampak segar, pipinya sedikit memerah karena suhu dingin yang menusuk dari luar.
Sebelum acara makan malam bersama delegasi dimulai, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja kecil dekat ranjang. Layar menyala menampilkan beberapa pesan masuk—dari ayah, ibunya, dan... satu dari Rafka.
Viora menatap nama itu lama sebelum membuka pesannya.
> My ice boy| “Udah nyampe?”
“Jangan lupa makan, dan istirahat yang cukup. Jepang beda cuaca. Kamu gampang drop.”
Senyum kecil muncul di bibirnya. Ia membalas dengan cepat.
> Me| “Baru aja nyampe hotel. Capek sih, tapi seneng banget bisa liat Tokyo langsung. Jangan khawatir, aku baik-baik aja.”
Beberapa detik kemudian, pesan balasan muncul lagi.
> My ice boy|“Good. Nikmatin, tapi jangan lupa tujuan kamu ke sana.”
“Aku pengen kamu balik dengan sesuatu yang bisa kamu banggakan.”
Viora mengetik perlahan, matanya sedikit berkaca.
> Me|“Aku bakal tepati kata-kata kamu. Janji.”
Ia meletakkan ponsel di atas meja, lalu menatap keluar jendela. Langit Tokyo sudah berubah menjadi malam, gemerlap lampu kota memantul di kaca jendela besar itu.
Viora berbisik pelan.
“Aku akan menang, Raf. Dan pulang bawa cerita yang bisa bikin kamu bangga.”
Namun sebelum ia sempat larut dalam pikirannya, terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok. Tok. Tok.
Viora menoleh, sedikit heran. Ia berjalan pelan ke arah pintu dan membukanya.
Di sana berdiri Agler, mengenakan hoodie hitam dan celana jeans gelap. Wajahnya masih dengan ekspresi datar yang sama—dingin, nyaris tak berperasaan. Tapi di tangan kanannya, ia memegang sebotol air mineral dan sebuah kartu kecil dari panitia.
“Lo lupa ngambil ID peserta,” katanya datar, suaranya rendah tapi jelas. “Tadi panitia nitip ke gue.”
Viora sempat terdiam sejenak sebelum tersenyum kecil. “Oh... makasih. Harusnya gue yang ambil sendiri.”
Agler menatapnya tanpa ekspresi. “Harusnya. Kalau lo gak ceroboh."
Setelah itu, tanpa menunggu balasan, pemuda itu berbalik dan melangkah pergi di lorong yang remang, meninggalkan aroma samar dari parfum kayu yang tajam namun menenangkan.
Viora menatap punggungnya yang menjauh, "Cowo aneh, baru pertama kali ketemu aja udah nunjukin aura perang." Gumamnya.
Ia menutup pintu perlahan, lalu bersandar sebentar, menatap kartu identitas di tangannya. Namanya tercetak rapi di situ— Viora Zealodie Walker — Indonesia Delegate.
°°°°
Restoran hotel malam itu tampak elegan dan hangat, dengan pencahayaan lembut dari lampu gantung berwarna keemasan. Aroma hidangan Jepang—miso soup, sushi, dan grilled salmon—menyebar di udara, menggoda perut para peserta yang baru saja menempuh perjalanan panjang.
Para delegasi dari berbagai negara duduk rapi di meja bundar besar yang telah disiapkan sesuai bendera masing-masing. Meja Indonesia berada di sisi timur ruangan, dengan empat kursi berjejer: Arvin, Viora, Agler, dan satu guru pembimbing dari kementerian pendidikan.
Viora datang beberapa menit setelah Arvin dan Agler. Ia mengenakan kemeja putih dengan sweater biru muda di atasnya, rambutnya tergerai lembut. Senyumnya ramah saat ia menunduk sopan, mengambil tempat duduk di sebelah Arvin.
“Eh, akhirnya dateng juga,” sambut Arvin dengan nada ceria. “Tadi gue kira lo ketiduran.”
Viora terkekeh kecil sambil membuka napkin di pangkuannya. “Gue hampir aja, sumpah. Jet lag-nya lumayan parah.”
“Pantes,” Arvin mengangguk. “Tapi gak apa-apa, lo masih keliatan fresh kok. Siap-siap aja abis makan bakal ada briefing bareng peserta negara lain.”
Sementara mereka berbincang santai, Agler duduk di sisi lain meja—di depan Viora. Ia tampak diam, menyentuh gelas air tanpa minat. Tatapannya sesekali menatap ke arah layar besar di depan ruangan yang menampilkan jadwal acara, tapi sebagian besar waktu ia hanya menatap kosong, tenang, seolah pikirannya berada di tempat lain.
Sesekali, Viora tanpa sengaja menangkap tatapan tajamnya. Tidak lama, hanya sepersekian detik.
Guru pembimbing mereka, Bu Maya, menatap sekeliling dan tersenyum ramah. “Baik, anak-anak. Nikmati dulu makan malamnya, besok pagi kita akan ada pembukaan dan registrasi resmi di aula utama. Jadi malam ini santai saja, ya.”
“Siap, Bu,” jawab Arvin ringan, lalu menatap Agler yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Bro, lo yakin gak mau makan? Ini sashimi-nya enak banget anjir.”
Agler menoleh pelan, tatapannya malas. “Gue makan kalau lapar.”
Arvin mendesah dramatis. “Kayak biasa. Hidup lo tuh gak jauh dari dua kata: dingin dan keras kepala.”
Ucapan itu membuat Viora tanpa sadar tersenyum kecil. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan senyum itu — tapi Agler sempat memperhatikannya. Tatapan pria itu bergeser sedikit, menilai reaksi gadis di depannya.
“Lo ketawa kenapa?” tanyanya datar, suaranya pelan tapi cukup jelas terdengar.
Viora mengerjap cepat. “Hah? Enggak kok, cuma... lo berdua lucu aja. Kayak anjing sama kucing.”
Arvin tertawa keras, membuat beberapa peserta lain melirik ke arah mereka. “Nah, tuh! Gue suka nih sama deskripsi itu!”
Agler masih diam. Ia menatap Viora sekilas, lalu berkata pelan, “Lucu gak selalu berarti menarik.”
Nada suaranya dingin tapi terkontrol — seolah menantang tanpa perlu meninggikan suara.
Viora sempat terdiam, tapi bukannya tersinggung, ia justru menatapnya balik dengan tenang. “Dan menarik gak selalu berarti baik.”
Jawaban itu membuat Arvin hampir menyemburkan airnya. “Astaga, Vi... lo bales dia!”
Agler menaikkan sebelah alis, menatap gadis itu lebih lama kali ini. Tatapannya tajam, menelisik.
Suasana di meja Indonesia sempat hening beberapa detik sebelum akhirnya Bu Maya menengahi dengan tawa kecil. “Kalian berdua kayaknya bakal cocok kalau terus begini. Tapi tolong, jangan bikin suasana makan malam jadi ajang debat, ya.”
“Maaf, Bu. Kita cuma bercanda,” ujar Viora akhirnya.
***
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶