Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 17
******
“Rum, buka pintunya. Kita harus bicara,” suara Hansel terdengar dari balik pintu, diiringi ketukan cepat yang nyaris panik. “Tolong, Arum.”
Namun, di dalam kamar, Arumi hanya duduk bersandar di tepi ranjang. Matanya kosong menatap lantai, suaranya pelan namun tegas, “Pergi… nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”
Tangannya mengepal erat di atas pahanya, menahan amarah, kecewa, dan sakit yang terus berputar di dalam dadanya. Di luar pintu, suara Hansel masih terdengar samar, namun Arumi tak ingin lagi mendengarnya, bahkan napasnya saja membuat hatinya perih.
Di atas meja rias, cincin kawinnya tergeletak begitu saja, dingin dan tak lagi berarti. Di dinding, foto pernikahan mereka masih tergantung, senyuman mereka dalam bingkai putih itu kini terasa seperti sebuah ironi pahit.
Air mata sudah tak keluar lagi. Mungkin sudah habis. Yang tersisa kini hanya kehampaan dan sesak yang tak bisa dijelaskan. Dikhianati oleh orang yang dia percayai sepenuh hati, membuatnya merasa kehilangan dirinya sendiri.
Perlahan, Arumi meraih bantal dan memeluknya erat, seolah mencari pelukan yang seharusnya datang dari seseorang yang tak akan menyakitinya. Tapi yang ada hanya dingin dan sepi. Suasana kamar yang dulu hangat kini berubah menjadi ruang asing yang menyimpan terlalu banyak luka.
Arumi menarik napas panjang, menutup matanya sejenak. Dalam diam, ia mencoba menguatkan diri, satu-satunya yang bisa ia andalkan sekarang hanyalah dirinya sendiri.
Ketukan di pintu semakin keras. “Arumi, dengar dulu penjelasanku. Aku tahu aku salah, tapi.....”
“Cukup!” potong Arumi tajam, kali ini berdiri dengan tubuh gemetar menahan emosi. “Jangan paksa aku dengar alasanmu. Nggak akan ada satu pun kata yang bisa menghapus semua pengkhianatan itu, Hansel!”
Keheningan jatuh sejenak. Lalu terdengar suara napas berat dari balik pintu.
"Rum, buka pintunya, kita selesaikan semua ini dengan kepala dingin." Ujar Hansel tak menyerah.
"Pergi!" Teriak Arumi.
“Pergi!” teriak Arumi dari dalam kamar, suaranya pecah menabrak dinding sunyi yang mengurung rumah itu.
Hansel terdiam di depan pintu, tangan yang semula terangkat untuk mengetuk kembali, perlahan turun. Wajahnya tegang, matanya memerah. “Rum… tolong. Jangan seperti ini…”
Namun tak ada jawaban.
Di dalam kamar, Arumi berdiri dengan napas memburu. Tubuhnya gemetar, matanya basah, namun sorotnya penuh luka yang dalam. Ia menggenggam sisi ranjang erat-erat, berusaha tetap tegak meski dadanya terasa sesak seperti dicekik.
“Aku bilang pergi!” teriaknya lagi, kali ini disertai isak yang tak bisa ia bendung. “Aku nggak mau lihat kamu lagi, Hansel! Kamu udah cukup menghancurkan aku…”
“Baik… aku pergi,” ucap Hansel akhirnya, suaranya parau, seperti menahan sesak di dadanya. “Aku akan kasih kamu waktu untuk tenang. Tapi tolong, jangan tutup hatimu sepenuhnya untukku, Rum…”
Tak ada balasan.
Hanya suara langkah perlahan yang menjauh dari balik pintu, disusul dentingan halus dari anak tangga yang diinjaknya satu per satu.
Di dalam kamar, Arumi menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak yang pecah dari dalam dada. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi pergelangan tangannya yang gemetar.
Waktu?
Waktu tidak akan menghapus rasa dikhianati. Tidak akan mengobati luka yang ditorehkan oleh orang yang paling ia percaya.
Dan saat itu juga, ia sadar… mungkin cinta saja memang tak pernah cukup.
******
Dua minggu kemudian...
“Are you okay, Rum? Mukamu pucat banget,” tanya Hilda cemas, begitu masuk ke dalam apartemen Arumi dan melihat sahabatnya yang duduk lemas di sofa.
Arumi hanya tersenyum tipis, mencoba terlihat tenang meski jelas terlihat lesu.
“Entahlah, Hil... sudah hampir seminggu ini badanku nggak enak. Kadang mual, kadang pusing. Makan juga nggak selera.”
Wajah Arumi memang tampak jauh berbeda dari biasanya. Kulitnya pucat, matanya sayu, dan tubuhnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali Hilda melihatnya.
Hilda mendekat dan duduk di samping Arumi, menatap wajah sahabatnya dengan khawatir. “Kamu udah ke dokter?”
Arumi menggeleng pelan. “Belum. Aku kira cuma kecapekan biasa...”
Hilda menghela napas pelan. “Kamu harus periksa, Rum. Ini udah lewat dari ‘cuma kecapekan’. Nanti aku temenin, ya?”
Arumi menatap Hilda dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih lelah.
“Terima kasih, Hil… kamu satu-satunya yang selalu ada.”
Hilda menggenggam tangan Arumi erat. “Always. Kita hadapi semuanya bareng-bareng, ya?”
“Makasih, Hil... kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu lagi harus bagaimana...” ucap Arumi dengan suara bergetar.
Air matanya akhirnya jatuh, satu per satu, lalu pecah jadi tangisan yang dalam. Ia tak lagi mampu menahan semuanya. Perasaan hancur, dikhianati, dan kini tubuhnya yang melemah, semua terasa menumpuk dan meledak bersamaan.
Hilda memeluknya erat, mengusap pelan punggung sahabatnya yang bergetar karena tangis. Ia tahu, Arumi butuh tempat untuk runtuh, butuh bahu untuk bersandar, dan ia akan menjadi itu, tanpa banyak tanya.
“Menangis aja, Rum. Nangis sepuasnya,” bisik Hilda lembut. “Kamu udah terlalu lama tahan semuanya sendiri.”
Arumi terus menangis dalam pelukan Hilda, hingga beberapa menit kemudian isak tangisnya mulai mereda, meski matanya masih sembab dan napasnya tersengal pelan.
“Aku capek, Hil... capek banget,” gumamnya lirih.
“Aku tahu... Tapi kamu kuat. Kamu udah sampai sejauh ini. Sekarang waktunya kamu mikirin diri sendiri dulu. Jangan pikirin orang-orang yang nggak pantas kamu perjuangin,” ucap Hilda mantap, menatap sahabatnya yang kini memejamkan mata di bahunya.
Setelah beberapa saat dalam keheningan yang nyaman, Hilda menepuk pelan bahu Arumi. “Ayo, kita ke dokter. Sekarang.”
Arumi terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke.”
Mereka pun bangkit perlahan, dan Hilda meraih jaket Arumi, membantunya bersiap. Di luar, langit mendung menggantung. Tapi bagi Arumi, ini mungkin awal dari cahaya kecil setelah badai panjang.
********
Support author dengan like, komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up-nya. Terima kasih....
smangat terus thor 💪💪💪
gpp lah lepas dari hansel
ketemu kai... Arumi menang banyakkkkk 😍😍😍😍