After The Fall
Seorang gadis cantik baru saja menggeliat pelan dari balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya sepanjang malam. Gerakan kecil itu membuat seprai satin berwarna gading bergeser lembut di atas kasur besar berkanopi putih. Mata indahnya mengerjap perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menembus celah tirai putih di kamar luas bergaya modern-klasik itu.
Cahaya keemasan jatuh lembut di wajahnya — hangat, memantulkan kilau lembut pada kulit seputih porselen. Rambut panjang bergelombang berwarna cokelat madu berantakan di atas bantal, namun tetap tampak memesona, seolah potret seorang putri dalam lukisan hidup.
Viora Zealodie Walker.
Putri kecil keluarga Walker — keluarga terpandang yang namanya menggema di kalangan elite Jakarta.
Namun bagi orang-orang yang mengenalnya, Viora bukan sekadar cantik dan kaya. Ia hangat, rendah hati, dan selalu membawa energi positif ke mana pun ia pergi.
Ia menarik napas panjang dan tersenyum kecil. Hari baru, rutinitas yang sama, tapi baginya setiap pagi selalu punya cerita.
Melirik jam perak di meja samping: 06.12. Dari luar, terdengar kicau burung dan semerbak mawar putih yang baru disiram.
“Selamat pagi, dunia,” bisiknya ringan.
Ia duduk di tepi ranjang, menyapu rambutnya ke belakang, lalu melangkah ringan menuju balkon. Dari sana, pemandangan taman keluarga Walker terbentang indah — rapi, simetris, dengan air mancur di tengah yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Viora menatapnya sambil menghela napas kecil. Udara pagi menyapa kulitnya, membuat ujung hidungnya sedikit memerah. Ia menutup mata sejenak, membiarkan angin pagi menelusup ke dalam nafasnya.
“Indahnya pagi ini,” gumamnya. “Rasanya sayang kalau disambut dengan wajah murung.”
Ia tertawa kecil lalu melangkah ke kamar mandi. Begitu shower dinyalakan, uap hangat mulai memenuhi ruangan. Suaranya menggema lembut di udara yang hening — seperti melodi awal hari yang menenangkan.
Usai mandi, Viora berdiri di depan lemari besar yang penuh deretan seragam rapi. Ia memilih satu setelan: kemeja putih bersih, rok kotak biru navy, dasi senada, dan blazer beremblem S di dada kiri. Warna biru itu sangat serasi dengan kulitnya yang cerah dan aura lembut yang ia pancarkan.
Di depan cermin besar, Viora mematut diri.
Senyum tipis merekah di bibir mungilnya saat ia menata poni dan merapikan dasinya.
“Oke, Vi. Siap menghadapi hari,” ujarnya riang sambil mengedip pada bayangannya sendiri.
Meski hidupnya tampak sempurna, Viora tidak pernah sombong. Ia selalu menyapa semua orang dengan ramah, menebar tawa kecil di mana pun ia berada.
Suara ketukan pelan di pintu memecah keheningan pagi.
“Nona Vio, sarapan sudah siap,” panggil seseorang lembut dari luar — suara Mbak Lila, pelayan setia keluarga Walker.
Viora menoleh sambil tersenyum hangat. “Iya, mbak Lila. Aku turun sebentar lagi.”
°°°
Ruang Makan Keluarga Walker
Ruang makan keluarga Walker dipenuhi aroma roti panggang dan teh chamomile yang menenangkan.
Meja panjang dari marmer putih tampak elegan dengan sentuhan bunga segar di tengahnya — perpaduan mawar putih dan lily, favorit sang ibu.
Leonard Walker, sang kepala keluarga, duduk tegak di kursinya dengan surat kabar di tangan. Begitu melihat putri bungsunya melangkah masuk, senyum hangat langsung muncul di wajahnya.
“Selamat pagi, princess. Tidurmu nyenyak?”
Viora tersenyum, lalu mencium pipi ayahnya sekilas sebelum beralih ke ibunya.
“Of course,” jawabnya riang. “Aku tidur seperti bayi malam ini.”
Claretta Walker, sang ibu, yang sedang menata piring di meja, tersenyum lembut.
“Pantas saja wajahmu segar sekali. Seperti matahari kecil di rumah ini,” Viora tertawa kecil. “Mama bisa saja.”
Di sisi lain meja, dua remaja laki-laki tampan sedang sibuk berebut sepotong roti terakhir di piring tengah.
Zevan dan Zegra Walker — kembar laki-laki Viora yang berusia 17 tahun — punya kepribadian jauh berbeda. Zevan sedikit urakan dan ekspresif, sementara Zegra lebih kalem dan teratur. Namun keduanya memiliki satu kesamaan: terlalu menyayangi adik perempuan satu-satunya itu.
“Pagi, Princess Walker. Si paling manja akhirnya turun juga,” goda Zevan dengan nada menggoda.
Viora menyeringai. “Gue nggak manja. Gue cuma... prioritas di rumah ini.”
Zegra tertawa kecil sambil menepuk bahu kembarannya. “Dia benar, bro. Princess tetap princess. Kita cuma pengawal.”
“Iya, pengawal yang nggak digaji,” celetuk Zevan, membuat semua orang di meja makan tertawa.
Claretta tersenyum geli melihat tingkah tiga anak remajanya, sementara Leonard melipat korannya dan menatap mereka dengan penuh kebanggaan.
Tak lama, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Elvatir Walker, putra kedua sekaligus kakak mereka yang kini duduk di kelas 12 Starlight, muncul dengan blazer abu-abu khas sekolah itu menempel rapi di tubuhnya.
Wajahnya tampan dan karismatik — versi muda dari ayahnya.
“Pagi, semua. Dan pagi juga untuk si paling dimanja,” sapa Elvatir dengan senyum menggoda.
Viora berdecak. “Pagi, Kak El. Gue tuh nggak manja, kalian aja yang terlalu protektif.”
“Ya jelas lah,” timpal Zevan. “Kita punya satu-satunya adik perempuan di keluarga ini. Mau gimana lagi?”
Canda pagi itu mengalir ringan. ”Leonard menatap anak-anaknya penuh kebanggaan. “Lihat kalian, meski Naka jauh di New York, meja ini tetap terasa lengkap.”
Claretta mengangguk lembut. “Benar. Naka pasti iri kalau tahu pagi kita selalu sehangat ini.”
Naka sendiri adalah anak pertama di rumah ini.
Claretta melirik jam tangannya. “Sudah hampir jam tujuh. Ayo, kalian berangkat.”
Leonard menurunkan koran dan berdiri, merapikan jasnya sebelum menghampiri istrinya. “Seperti biasa, pasukan kecil kita akan menyerbu jalanan Jakarta pagi ini,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Zevan berdiri paling dulu, menenteng helm hitam doff yang serasi dengan jaket kulit yang sudah ia kenakan. “Aku duluan, Ma, Pa,” katanya santai. “Motor harus dipanaskan dulu biar nggak mogok di tengah jalan.”
“Jalan hati-hati, Zev,” pesan Claretta lembut. “Dan tolong jangan ngebut lagi.”
Zevan menyeringai sambil mencium pipi ibunya cepat. “Nggak janji, Ma, tapi aku coba.”
Tawa kecil pun pecah.
Tak lama, Zegra berdiri dari kursinya. “Kami juga berangkat, Ma, Pa.”
Viora mengangguk pelan sambil mengambil tas sekolahnya yang elegan — warna hitam dengan logo Satropa Academy berlapis emas di bagian depan.
“Satropa lagi, Satropa lagi,” celetuk Zevan dengan nada menggoda sambil mengunci helmnya. “Kalian berdua nggak bosen di sekolah super disiplin itu?”
Zegra menatapnya sekilas. “Nggak juga. Setidaknya, di sana kita belajar sesuatu selain ngitung untung-rugi kayak anak IPS.”
Zevan mendengus, tertawa kecil. “Hei, jurusan IPS itu nggak kalah keren, oke? Justru yang santai-santai gini biasanya yang paling bahagia.”
Viora terkekeh kecil. “Kalian berdua nggak akan pernah berhenti saling sindir, ya?”
Claretta yang menyaksikan adu mulut ringan itu hanya menggeleng sambil tersenyum geli. “Asal jangan sampai terlambat, Mama nggak masalah kalian mau debat tiap pagi.”
Leonard ikut menimpali. “Dan jangan lupa, jaga nama baik keluarga Walker di sekolah. Kalian sudah cukup dikenal di Satropa."
“Siap, Pa,” jawab Zegra tegas.
Viora menambahkan lembut, “Kita nggak akan bikin Papa kecewa.”
Zevan menyeringai sambil mengangkat dua jarinya. “Dan jangan lupa, Pa — kadang reputasi keren juga butuh sedikit gaya rebel.”
Leonard hanya menghela napas pelan, tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Dasar anak ini.”
Tawa ringan pun kembali terdengar.
Beberapa menit kemudian, halaman depan rumah Walker berubah ramai. Tiga kendaraan berbaris di bawah cahaya matahari pagi:
— Sebuah BMW hitam mengilap milik Zegra.
— Motor sport hitam milik Zevan.
— Dan motor sport putih milik Elvatir yang sudah lebih dulu meluncur menuju Starlight High School.
Zegra berjalan ke arah mobil, menekan tombol kunci otomatis. “Yuk, Vi.”
Viora mengikuti di belakangnya dengan langkah ringan. Rambut cokelat madunya berayun pelan di bawah sinar pagi. Ia membuka pintu penumpang dan masuk, sementara Zegra duduk di kursi pengemudi.
Sebelum menyalakan mesin, Zegra menoleh sebentar. “Hari ini ada presentasi Biologi, kan?”
“Iya,” jawab Viora sambil memeriksa map di pangkuannya. “Gue udah siapin semua datanya. Tenang aja, partner lo ini nggak akan bikin malu.”
Zegra tersenyum tipis. “Nggak pernah ragu soal itu.”
Zevan mencondongkan tubuh ke arah jendela. “Hei, jangan lupa latihan basket nanti sore.”
“Jam empat, kan? Jangan telat,” sahut Viora.
“Tenang aja, Princess,” sahut Zevan dengan gaya santai khasnya. “Gue bakal datang, asal lo bawain minuman dingin.”
Viora menggeleng sambil tertawa kecil. “Deal, tapi cuma kalau lo menang.”
Zevan mengedip dan memasang helmnya. “Siap, tantangan diterima.”
Suara mesin motor sport hitam miliknya meraung lembut, lalu meluncur keluar dari gerbang besar rumah Walker. Tak lama setelahnya, BMW hitam menyusul, melaju elegan di jalanan perumahan elit itu.
°°°
Lagu lembut mengalun dari speaker mobil, menciptakan suasana tenang di tengah hiruk-pikuk Jakarta pagi. Dari jendela, Viora menatap langit yang berwarna biru muda, sesekali tersenyum kecil melihat orang-orang yang bergegas di trotoar.
“Viora Zealodie Walker,” gumam Zegra sambil melirik sekilas, “putri Satropa Academy yang selalu jadi pusat perhatian.”
Viora menoleh, "Maksudnya?”
“Hampir semua cowok di kelas sebelah nyari alasan buat ngobrol sama lo.”
Viora tertawa pelan. “Ya, tapi sejauh ini belum ada yang berani macam-macam."
"Heum... Karena tatapan pawang lo terlalu menyeramkan."
Mobil mereka mulai mendekati gerbang tinggi bertuliskan SATROPA ACADEMY – Excellence, Honor, Integrity. Sekolah elit dengan arsitektur klasik modern itu berdiri megah di tengah taman luas dan jalan berpaving bersih.
Deretan mobil mewah dan motor sport berjejer di area parkir — pemandangan yang sudah biasa bagi para siswa Satropa.
Begitu mobil berhenti, beberapa kepala langsung menoleh. Viora dan Zegra keluar hampir bersamaan, dan seperti biasa, beberapa siswa yang lewat langsung menyapa dengan sopan.
“Pagi, Viora!”
“Pagi, Zegra!”
Viora membalas dengan senyum ramah yang khas. “Pagi juga!”
Zegra mengangguk singkat pada teman-temannya sebelum berjalan berdampingan dengan adiknya menuju gedung utama.
Cahaya matahari pagi jatuh lembut di rambut Viora, memantulkan kilau keemasan. Dalam seragam Satropa berwarna navy, ia tampak begitu anggun — seperti definisi nyata dari school royalty yang tak perlu berusaha keras untuk bersinar.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments