Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 — Janji di Bawah Bambu
Keluar dari Kegelapan
Setelah berjalan melalui terowongan yang terasa seperti neraka selama hampir satu jam, Rho Jian dan Mei Lan akhirnya melihat cahaya. Cahaya fajar yang redup menyaring melalui celah sempit di atas mereka, menandakan akhir dari terowongan batu yang sempit dan berlumpur.
Jian menggeser batu penutup terakhir. Udara yang dingin dan bersih menyeruak masuk, membasuh aroma pengap dan lumpur yang melekat pada mereka. Mereka berada di bawah jembatan tua, di tepi sungai utama yang berbatasan dengan tembok luar Kota Bayangan.
Di tepi sungai, tumbuh subur rumpun bambu yang tebal dan tinggi, menjulang seperti menara hijau yang bergoyang tertiup angin. Itu adalah tempat persembunyian yang sempurna—terlihat alami, tetapi memberikan perlindungan visual dan akustik yang sangat baik.
Jian keluar lebih dulu, lalu menarik Mei Lan keluar dari lumpur. Mereka berdua basah kuyup, diselimuti kotoran dan kelelahan, tetapi mata mereka bersinar dengan kemenangan kecil. Mereka berhasil melewati Nyonya Liu.
“Kita berhasil,” bisik Mei Lan, terengah-engah, merasakan rumput basah yang dingin di bawah kakinya.
Jian tidak menjawab. Ia segera mengambil posisi, matanya memindai tepi sungai, puncak tembok kota, dan hutan bambu yang sunyi. Ia tahu, bahaya terbesar bukan dari penjaga yang bodoh atau pedagang yang tamak. Bahaya terbesar adalah Tuan Yu.
“Kita harus masuk ke dalam bambu,” desis Jian, suaranya kembali menjadi Bayangan Singa yang tajam. “Tuan Yu tahu aku tidak akan lari ke utara. Dia tahu aku tidak akan meninggalkan dokumen itu untuk sepotong sutra.”
Mereka merangkak masuk ke dalam rumpun bambu. Daun-daun bambu yang berguguran di tanah memberikan suara gemerisik saat mereka bergerak, tetapi batang-batang yang rapat menyembunyikan mereka sepenuhnya.
Perangkap Tuan Yu
Jian dan Mei Lan baru sempat bersembunyi selama beberapa menit, mencoba membersihkan lumpur di wajah mereka, ketika mereka mendengar suara. Suara itu tidak tergesa-gesa, tidak panik, tetapi sangat terencana. Suara langkah kaki yang berjalan santai di pinggir sungai, menuju rumpun bambu.
“Tuan Yu,” bisik Jian, menarik Mei Lan ke balik batang bambu yang paling tepbal. “Dia tidak terlihat. Tapi dia tahu kita di sini.”
Tuan Yu berhenti tepat di tepi rumpun bambu, di tempat mereka keluar dari saluran air.
“Jenderal Rho Jian,” suara Tuan Yu terdengar dingin dan bergema, seolah-olah dia sedang berbicara kepada seorang anak nakal. “Mengapa kau bermain game anak-anak ini? Kain itu bagus, tetapi kau tidak sebodoh itu. Aku tahu kau akan lari ke sungai. Kau selalu memilih rute yang paling tidak mungkin.”
Tuan Yu menghela napas, terdengar seperti ekspresi kekecewaan. “Kaisar akan memberimu pengampunan, Jenderal. Serahkan saja dokumen itu padaku. Kita bisa melupakan semua ini. Kau bisa kembali ke tempatmu.”
Jian tetap diam, pisaunya di tangan, siap untuk menghadapi kematian. Ia tidak akan mempercayai janji Istana.
Mei Lan, yang meringkuk di sebelahnya, merasakan tangan Jian yang dingin. Ia melihat bagaimana Jian bersiap untuk bertarung sampai akhir. Ia tahu, Jian tidak akan menyerah, dan Tuan Yu tidak akan pergi.
“Tuan Yu,” balas Jian, suaranya rendah, dilemparkan ke arah yang berlawanan dari posisi mereka. Itu adalah taktik pengalih perhatian sederhana. “Aku tidak melarikan diri dari takdir, aku melarikan diri dari pengkhianatan. Aku tidak akan membiarkan putra mahkota menghancurkan negara.”
Tuan Yu tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor. “Pengkhianatan? Kau adalah pengkhianat, Jenderal. Kau telah mencuri apa yang seharusnya menjadi milik Kekaisaran. Dan kau sekarang terikat pada seorang gadis desa kotor. Kau telah jatuh begitu rendah.”
Saat Tuan Yu berbicara, Jian merasakan sesuatu yang salah. Suara Tuan Yu terlalu jelas, terlalu bergema. Tuan Yu tidak berdiri di depannya.
“Dia memasang jebakan,” desis Jian. “Dia tidak di tepi sungai.”
Tuan Yu menggunakan bambu sebagai penguat suara. Jian menyadari, Tuan Yu ada di atas tebing batu yang menghadap rumpun bambu. Ia menunggu mereka untuk bergerak.
Tiba-tiba, Tuan Yu melemparkan sesuatu. Bukan senjata, melainkan sebuah bungkusan kecil berisi bubuk yang berbau menyengat. Bubuk itu mendarat di dasar rumpun bambu, mengeluarkan asap tebal berwarna oranye.
“Gas air mata,” desis Jian. “Dia ingin kita keluar dan lari ke sungai.”
Jian segera bertindak. Ia meraih tangan Mei Lan, menariknya ke dalam lumpur di bawah bambu.
“Jangan bernapas! Tutup matamu!” perintah Jian.
Gas oranye itu menyebar dengan cepat. Jian menggunakan teknik pernapasan prajuritnya, menahan napasnya selama mungkin. Mei Lan, yang mengikuti insting Jian, membenamkan wajahnya ke lumpur dingin.
Jian tahu, ia harus bergerak sekarang. Tuan Yu akan turun dari tebing dalam beberapa detik setelah gas menyebar.
Jian menarik Mei Lan, tidak menuju sungai, melainkan ke arah yang sama sekali berbeda—melompat ke dinding batu yang curam di belakang rumpun bambu, yang mengarah ke hutan lebat.
Janji di Bawah Bambu
Mereka memanjat dinding batu itu dengan susah payah. Jian menggunakan celah-celah kecil dan akar pohon sebagai pijakan. Ia melindungi Mei Lan dengan tubuhnya, mendorongnya dari bawah dan menariknya dari atas.
Mereka mencapai puncak tebing, melompat ke hutan, dan lari tanpa melihat ke belakang, jauh dari bau gas oranye dan suara Tuan Yu yang kini berteriak frustrasi karena jebakannya gagal.
Mereka berlari hingga fajar benar-benar menyingsing, hingga paru-paru mereka terasa sakit dan kaki mereka mati rasa. Jian akhirnya berhenti di sebuah celah batu yang terlindung, jauh di dalam hutan, dikelilingi oleh pepohonan besar yang rindang.
Mereka ambruk di tanah, kelelahan total.
Jian menoleh ke Mei Lan. Pakaiannya robek, wajahnya ditutupi lumpur dan air mata yang mengering, tetapi matanya memancarkan tekad yang luar biasa.
“Kau… kau tidak pernah melambat,” kata Jian, terengah-engah, suaranya dipenuhi rasa kagum.
Mei Lan hanya bisa menggeleng, mencoba mengatur napasnya. “Saya adalah benangmu, Jian. Saya tidak akan putus.”
Jian memejamkan mata. Semua pertahanannya, semua jarak yang ia ciptakan, semua alasan untuk menahan diri, kini runtuh. Mereka telah melalui kegelapan yang total, melewati ancaman kematian, dan mereka keluar bersama. Ia tidak bisa lagi menyangkal takdir mereka.
Jian merangkak mendekati Mei Lan. Ia mengangkat tangannya yang kotor. Kali ini, tangannya tidak ragu-ragu. Ia mengusap lumpur dari pipi Mei Lan dengan ibu jarinya yang lembut.
“Aku mencintaimu, Gadis Penenun,” kata Jian, suaranya dipenuhi emosi yang dalam. Itu adalah pengakuan yang sangat tulus dan sederhana. “Aku mencintaimu, dan aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku mencoba membuatmu membenciku agar kau aman, tetapi aku gagal. Aku egois. Aku ingin kau tetap di sisiku.”
Air mata mengalir di mata Mei Lan, tetapi kali ini, itu adalah air mata kebahagiaan dan kelegaan. “Saya sudah mencintaimu sejak malam hujan itu, Jenderal,” balas Mei Lan, memegang erat tangan Jian yang ada di pipinya. “Saya tahu siapa Kau, dan saya memilih bahaya ini. Benang kita sudah terjalin. Tidak ada pemisahan.”
Jian tidak membuang waktu lagi. Ia menundukkan kepalanya, dan ia mencium Mei Lan.
Ciuman itu adalah segalanya: rasa syukur, pengakuan, hasrat yang tertahan, dan janji untuk masa depan yang tidak pasti. Ciuman itu dalam dan lama, mengabaikan kotoran, keringat, dan lumpur yang menyelimuti mereka. Itu adalah penyatuan dua jiwa yang akhirnya menemukan kedamaian di tengah kehancuran.
Mereka melepaskan diri, dahi mereka bersentuhan.
“Aku bersumpah,” bisik Jian, menatap mata Mei Lan. “Aku akan mengantarkan dokumen ini, dan aku akan memastikan kau aman. Aku akan membangun rumah kita yang sebenarnya, jauh dari Kekaisaran, tempat kita bisa menenun sutra kebebasan.”
“Kita akan menenunnya bersama,” balas Mei Lan, memegang janji itu sebagai kekuatan barunya.
Menuju Tujuan
Fajar telah tiba sepenuhnya, memandikan hutan dalam cahaya keemasan. Mereka beristirahat sejenak, berbagi air bersih terakhir yang mereka bawa dari sumur.
Jian berdiri. Ia adalah Bayangan Singa lagi, tetapi kini, ia memiliki tujuan baru—Melindungi Mei Lan.
“Kita menuju ke barat laut,” kata Jian, menunjuk ke arah Pegunungan Giok. “Ada kontak lama di sana. Aku akan mengurus transfer dokumen itu. Setelah itu, kita bebas.”
Mei Lan berdiri di sampingnya, tegak dan berani. Ia kini bukan lagi gadis desa yang naif, melainkan wanita yang telah memikul beban seorang Jenderal.
Mereka mulai berjalan, meninggalkan Kota Bayangan, Nyonya Liu, dan Tuan Yu, di belakang mereka. Mereka membawa rahasia yang bisa mengubah nasib Kekaisaran, dan cinta yang telah diuji oleh jarak, pengkhianatan, dan kematian.
Benang takdir mereka telah terjalin sepenuhnya, dan kini mereka berjalan bersama menuju ketidakpastian, satu-satunya kepastian hanyalah bahwa mereka tidak akan pernah lagi berjalan sendirian.