Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.
Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.
Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.
Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Malam Yang Menegangkan
Di dalam kamar Kepala Klan Ji, hanya ada isak tangis Ji Ping yang memilukan, keheningan Ye Fan, dan mayat sang ayah. Suasana duka begitu pekat hingga menenggelamkan semua indra.
Di luar, bahkan Empat Tetua Klan Ji (termasuk Tetua Pertama yang merupakan Pendekar Emas Puncak) berada dalam ketidaktahuan yang mematikan.
Dua Bayangan Kematian bergerak dengan kekuatan Elemen Kegelapan. Mereka tidak hanya cepat, mereka benar-benar menyelinap masuk, menekan setiap riak niat membunuh, dan memanipulasi bayangan untuk menyembunyikan wujud mereka. Bahkan Tetua Pertama yang waspada pun tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka.
Tiba-tiba, tanpa suara pintu yang terbuka atau jendela yang pecah, dua siluet hitam pekat muncul di tengah ruangan, tepat di samping Ye Fan dan Ji Ping.
Bayangan Maut bergerak instan. Belati hitam yang diperkuat Tenaga Dalam Emas Puncak melesat, ditujukan ke leher Ji Ping dan jantung Ye Fan.
Target Ji Hong adalah Ji Ping. Target Sekunder adalah Ye Fan—tidak boleh ada saksi mata.
Saat belati-belati maut itu hanya berjarak inci dari kulit mereka, keajaiban terjadi.
Liontin perak tua yang baru saja diwariskan dari sang ayah, yang masih digenggam erat oleh Ji Ping di tangannya yang gemetar, tiba-tiba bersinar kecil dengan cahaya putih hangat yang samar.
Cahaya itu tidak terang, tetapi cukup untuk menghalau ilusi Elemen Kegelapan di sekitar kedua pembunuh itu!
Ji Ping, yang matanya masih merah karena menangis, tiba-tiba melihat dua siluet tajam—dua bayangan maut—menerjangnya dan Ye Fan. Ia tidak mengerti apa yang dilihatnya, tetapi keberuntungan yang dijanjikan sang ayah segera bekerja, memicu naluri bertahan hidup yang mendesak.
"AWAS! MENGHINDAR!" raung Ji Ping, teror murni menggantikan kesedihan.
Raungan Ji Ping yang panik dan tiba-tiba itu menyelamatkan mereka.
Ye Fan, yang juga merasakan firasatnya menjadi kenyataan, bereaksi secepat Petir miliknya. Ia menarik tubuh Ji Ping ke belakang dan melemparkan dirinya ke samping.
SWISH!
Kedua belati itu hanya mengenai udara, mengiris selimut dan bantal yang baru saja ditempati oleh kepala mereka. Ji Ping dan Ye Fan berhasil menghindari serangan maut itu hanya dengan nyaris, rambut mereka terasa dingin oleh bilah kematian itu.
Bayangan Maut itu terkejut. Kecepatan reaksi ini tidak mungkin! Misi rahasia mereka telah gagal.
Ye Fan bangkit, rasa terkejutnya segera digantikan oleh kemarahan eksplosif. Ini bukan hanya percobaan pembunuhan. Ini adalah penghinaan, penodaan terhadap momen duka.
"PENYUSUP!" raung Ye Fan, kali ini dengan seluruh kekuatan Pendekar Emas Menengah miliknya. Suaranya meledak, bergema di seluruh kediaman Klan Ji.
Raungan itu menjadi sinyal bagi Empat Tetua Klan Ji yang tadinya tidak menyadari keberadaan musuh. Tetua Pertama, Pendekar Emas Puncak, tiba-tiba merasakan gejolak energi yang asing dan mematikan di kamar Kepala Klan.
"SIALAN!" desis salah satu Bayangan Maut. Mereka tahu permainan telah berakhir.
"Kita mundur! Kondisinya tidak memungkinkan!" perintah yang lain.
Dengan kecepatan yang sama misteriusnya saat mereka muncul, kedua Bayangan Kematian itu lenyap. Mereka tidak melawan, melainkan kembali menyatu dengan kegelapan malam, menghilang seperti hantu.
Saat pintu kamar utama dibuka dengan keras dan Empat Tetua Klan Ji menyerbu masuk, yang mereka lihat hanyalah kekacauan: Ji Ping terengah-engah dalam ketakutan, dan Ye Fan berdiri tegak dengan mata penuh amarah, memancarkan aura Emas Menengah yang dingin. Belati beracun hitam tertancap di ranjang yang kini kosong.
Ji Ping mencengkeram liontin itu, wajahnya pucat. "Mereka ... mereka di sini untuk membunuhku!"
Keempat Tetua Klan Ji, yang dipimpin oleh Tetua Pertama yang merupakan Pendekar Emas Puncak, segera mengerumuni Ji Ping dan Ye Fan. Mereka terpana melihat betapa canggihnya penyusup itu hingga mereka—para Pendekar Emas—tidak menyadari pergerakan mereka.
"Tuan Muda! Kalian baik-baik saja?" tanya Tetua Kedua dengan suara gemetar, melihat dua bekas sayatan belati di ranjang.
Ji Ping, masih memegang liontin yang menyelamatkan nyawanya, menoleh. Air mata mengering di wajahnya, digantikan oleh ekspresi kosong yang menakutkan. Ia tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke ranjang ayahnya yang kini damai dalam kematian.
"Ayahku ... telah pergi," ucapnya pelan, namun suaranya membawa duka yang menusuk.
Keempat Tetua segera membungkuk dalam-dalam, memberikan penghormatan terakhir kepada Kepala Klan Ji. Kematian pemimpin mereka, ditambah dengan serangan mendadak ini, membuat pondasi Klan Ji bergetar.
Suasana hening yang penuh duka itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara Ji Ping yang kini terdengar dingin dan penuh otoritas.
"Ini bukan serangan acak," kata Ji Ping, tatapannya beralih dari sang ayah ke wajah para Tetua.
"Tuan Muda?" tanya Tetua Pertama, khawatir.
Ji Ping menarik napas, matanya yang merah kini bersinar dengan tekad yang mengerikan. Intensitasnya melumpuhkan suasana duka, digantikan oleh aura bahaya.
"Aku tahu siapa dalang di balik semua ini."
Mata keempat Tetua melebar karena terkejut. Mereka menanti nama itu.
"Dia adalah ... Ji Hong," tegas Ji Ping.
Suasana menjadi tegang hingga ke titik puncaknya.
"Tuan Muda!" seru Tetua Ketiga, suaranya tajam dan penuh peringatan. Tetua Ketiga adalah sosok yang dikenal konservatif dan sangat peduli pada stabilitas klan.
"Berhati-hatilah dengan kata-katamu! Kepala Klan baru saja tiada, dan kau menuduh Tetua Klan sebagai dalang pembunuhan? Jika tuduhanmu tidak berdasar, kau bisa dianggap pemberontak dan pengkhianat di saat klan sedang berduka! Itu akan menghancurkan Klan Ji!"
Ji Ping tidak bergeming. Ia melirik liontin perak di tangannya, yang kini terasa hangat. Ia tahu ayahnya ingin ia hidup damai, tetapi ia tidak akan membiarkan kebaikan ayahnya dibalas dengan pengkhianatan yang keji.
"Aku tahu. Dan aku tidak peduli," balas Ji Ping, ketegasan memancar dari setiap pori-porinya. "Aku melihat Bayangan Maut ini. Aku melihat yang pertama. Aku tahu niat pamanku. Jika aku diam, pengkhianatan ini akan merobek Klan Ji dari dalam. Aku tidak akan membiarkan Ayahku mati sia-sia."
Tetua Pertama, yang memiliki sifat tenang dan bijaksana, menyela. Ia memandang Ji Ping lama, menilai emosi dan tekad di mata pemuda itu.
"Ji Ping," ujar Tetua Pertama dengan suara berat, "Klan kita saat ini berada di ambang jurang. Kematian Kepala Klan, serangan pembunuh bayaran terbaik ... dan sekarang tuduhan terhadap seorang Tetua."
Ia melirik belati hitam yang tertancap di bantal ranjang. "Namun, kami juga tidak bisa mengabaikan insiden malam ini. Kau diselamatkan oleh sesuatu, dan keberadaan Pendekar Maut itu menunjukkan adanya bahaya yang terorganisir."
Tetua Pertama mendekati Ji Ping, meletakkan tangannya yang kasar di bahu pemuda itu.
"Keputusanmu sekarang bukan hanya soal balas dendam, tetapi soal nasib ribuan anggota Klan Ji. Apakah kau siap sepenuhnya untuk menghadapi konsekuensi jika tuduhanmu salah—atau jika tuduhanmu benar?"
Ji Ping menatap mata Tetua Pertama, lalu ia melihat bayangan diam Ye Fan, dan terakhir, wajah damai ayahnya yang sudah meninggal.
"Aku siap," jawab Ji Ping, tekadnya kini setajam belati yang melesat tadi. "Aku harus tahu kebenarannya malam ini juga."
Tidak ada lagi waktu untuk upacara duka. Kebenaran harus diungkap sebelum Ji Hong sempat menutup jejaknya.
Tetua Pertama mengangguk perlahan, wajahnya serius. "Baik. Empat Tetua akan menemanimu, Tuan Muda. Kita akan mencari kebenaran. Jika Ji Hong tidak bersalah, kita akan membayarnya. Jika dia bersalah..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Ye Fan, yang selama ini hanya menjadi bayangan di belakang, segera maju. Ia tahu, Ji Hong tidak akan sendiri. Ye Fan memiliki urusan yang hendak diselesaikan dengan Ji Ping, dan mau tidak mau ia harus menyaksikan semua ini sampai puncaknya.
Dengan duka yang ditekan, kemarahan yang membara, dan tekad yang bulat, Ji Ping memimpin jalan. Di sisinya, Ye Fan melangkah dengan Pedang Pusaka barunya tersimpan di Cincin Ruang, aura Emas Menengahnya siap meledak. Di belakang mereka, Empat Tetua Klan Ji berjalan dengan langkah tegas, mengantar pewaris mereka menuju konfrontasi yang akan menentukan siapa yang memimpin Klan Ji.
Tujuan mereka: kamar pribadi Ji Hong.