NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 34

Baskara menarik napas perlahan sebelum berbicara. Wajahnya tetap tenang, berbeda jauh dari Antonio yang masih menggenggam amarah. “Sidik jari, anting. Itu semua bisa dimanipulasi, Antonio,” ucapnya lembut namun tajam. “Tapi pernahkah kamu bertanya, apa motif anakku membunuh anakmu?”

Pertanyaan itu membuat Antonio terdiam sesaat. Di kepalanya terlintas ingatan tentang rekening Leo. Ia selalu mengeceknya. Banyak uang keluar untuk Saras. Bukti kalau Leo terobsesi. Terlalu terobsesi.

Baskara melanjutkan, suaranya tetap tenang. “Apa kamu tidak tahu? Saras sekarang mengurung diri. Dia sangat kehilangan Leo. Aku memantaunya melalui bodyguard. Dan semalam, Saras tidak bersama anakmu.”

Ia meraih map kecil di dekatnya. “Aku punya catatan jadwal Saras. Ke mana saja dia pergi, jam berapa pulang, bertemu siapa. Semua terekam. Dia anakku satu-satunya, tentu aku jaga sebaik mungkin.”

Antonio mengetukkan jarinya ke meja, tak sabar. “Kalau bukan anakmu, lantas siapa? Selain anakmu, tidak ada yang berani melawan anakku,” ucapnya kasar.

“Gunakan otakmu, Anton. Pantas saja kamu selalu kalah pemilu. Kamu terlalu mengedepankan emosi daripada logika.” Nada Baskara datar, tetapi kalimatnya menusuk.

“Diam kau, brengsek,” desis Antonio marah.

Beberapa tim suksesnya langsung menepuk-nepuk pundaknya, mengingatkan bahwa media merekam setiap gerakannya. Satu amarah yang salah bisa meruntuhkan elektabilitasnya.

Baskara menatapnya tanpa gentar. “Coba telusuri. Anaknya berkonflik dengan siapa. Terakhir bertemu dengan siapa. Dari situ kamu bisa mulai.”

Kata-kata itu membuat Antonio terdiam, kali ini bukan karena marah, melainkan kebingungan yang mulai muncul. Ada bagian dari kasus ini yang ia lewatkan.

Baskara mengambil satu map lagi dan melemparkannya ke meja. “Ini catatan anakmu. Terakhir dia berkonflik dengan Mahira. Karena Mahira melaporkan Leo ke polisi. Lalu Leo bebas karena polisi salah tangkap.”

Antonio menatap map itu. Alisnya mengerut, seolah berusaha mengingat detail-detail yang selama ini ia abaikan.

“Dan menurut catatanku,” lanjut Baskara, “anakmu dan sepuluh temannya bertemu dengan Mahira malam itu. Kamu juga tahu tulisan di saku baju Leo, bukan?”

Baskara melemparkan salinan catatan itu ke hadapan Antonio.

Antonio mengambilnya perlahan. Ia membaca huruf demi huruf. Matanya mengeras saat memahami arah tuduhan itu.

“Mahira punya motif kuat untuk membunuh anakmu,” kata Baskara tenang. “Dia merasa dunia ini tidak adil dan ingin menegakkannya dengan caranya sendiri.”

Baskara menatap Antonio dalam-dalam. “Kamu tahu anaknya Sanjaya? Riko juga awalnya berkonflik dengan Mahira. Tidak lama kemudian Riko meninggal. Sayangnya, Sanjaya tidak mau meneruskan kasus itu.”

“Jadi Mahira kemungkinan pelakunya?” tanya Antonio pelan. Nada suaranya tak lagi sekeras tadi, lebih seperti orang yang mulai goyah.

“Ya. Kalau kamu masih ingin menuduh anakku, ayo kita bertarung di pengadilan,” ucap Baskara tenang. “Aku punya terlalu banyak bukti untuk menunjukkan bahwa anakku tidak membunuh anak kamu.”

Antonio menghela napas panjang. “Baik… kalau begitu, kita tangkap saja Mahira,” akhirnya ia memutuskan. Bertarung terus dengan Baskara hanya akan menguras tenaga, sementara posisi politiknya sedang rapuh.

“Media, silakan keluar,” ucap Baskara.

Antonio memberi isyarat. Tim media langsung mundur dan meninggalkan ruangan hingga hanya tersisa mereka berdua—dua tokoh besar yang terbiasa mengatur orang lain, kini saling menatap di ring utama.

Baskara mendekat setengah langkah. Suaranya merendah, jauh lebih hati-hati dari sebelumnya.

“Kamu tahu Santoso itu didukung Lidia. Awalnya dia bukan ancaman, tapi sekarang dampaknya bisa besar karena ada Lidia di belakangnya,” ucap Baskara. “Kalau kita mau mengacaukan gerakan mereka, kita mulai dari SMK Nusantara.”

“Caranya?” tanya Antonio, alisnya menukik.

“Kita tangkap Mahira di SMK Nusantara. Kita blow up kasusnya ke media. Hancurkan nama baik sekolah itu, dan pada akhirnya merusak reputasi Lidia,” jelas Baskara. Nadanya licik, berbeda dari ketika media masih ada. Inilah wajah asli seorang politikus kawakan.

Antonio menatapnya cukup lama. Lalu mengangguk sekali, tegas.

“Baik.”

Dalam satu kesepakatan singkat, Antonio dan Baskara—dua orang yang saling membenci—akhirnya bersekutu. Tujuannya jelas: mengungkap kasus kematian Leo dengan versi mereka sendiri… dan menghancurkan Lidia sampai habis.

“Kalau begitu kita mulai,” ucap Baskara.

Antonio mengangguk singkat. “Oke.”

Mereka berpisah tanpa banyak kata. Antonio bergerak cepat ke arah mobilnya, sibuk mengirim pesan pada polisi-polisi yang selama ini hidup dari uang haramnya. Sementara itu, Baskara berjalan santai seolah hanya mengatur jadwal rapat. Padahal ia sedang menyusun perangkap.

Ia meraih ponselnya dan menelusuri daftar kontak. Jemarinya berhenti pada nama yang sudah ia incar sejak awal. Anggi. guru BK yang lugu dan mudah terpesona oleh perhatian kecil.

Telepon baru berdering sekali ketika suara ceria langsung terdengar.

“Halo Pa Baskara, apa kabar?”

“Baik, Bu Anggi. Hanya saja Saras masih trauma. Dia belum bisa masuk sekolah,” ucap Baskara pelan, menambahkan embusan napas seolah benar-benar khawatir.

“Oh, kasihan sekali. Tidak apa-apa Pak, biarkan dia istirahat. Kalau perlu, saya bisa menjenguknya.”

“Silakan saja kalau berkenan. Saya senang mendengarnya,” ujar Baskara. Ia tahu pujian kecil saja bisa membuat Anggi merasa penting.

Dari seberang, terdengar tawa kecil penuh simpati.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Begini Bu Anggi.” Suaranya merendah, seperti seseorang yang membawa kabar penting. “Hasil investigasi awal menunjuk Saras sebagai tersangka pembunuhan Leo, tapi setelah diperiksa ulang, justru Mahira yang paling kuat motifnya.”

“Oh… saya juga sempat merasa begitu,” jawab Anggi cepat, seperti seseorang yang ingin terlihat memahami situasi. Nada antusiasnya semakin terdengar jelas.

“Bagus kalau kita sependapat,” ucap Baskara. “Saya butuh bantuan Anda. Kepolisian sudah mencari Mahira ke mana-mana tapi belum menemukan. Anak itu sepertinya lebih licik daripada yang saya kira. Bisakah Bu Anggi mengusahakan agar Mahira datang ke sekolah? Kami butuh tempat pasti untuk menjemputnya.”

Untuk beberapa detik, sambungan menjadi sunyi. Anggi sepertinya sedang menimbang sesuatu.

“Baiklah Pak… nanti kalau Mahira datang, saya kabari.”

Baskara tersenyum kecil. “Terima kasih Bu Anggi. Semoga Anda selalu cantik.”

Tawa kecil terdengar lagi. “Makasih Pak.”

Telepon ditutup. Baskara menyelipkan ponselnya ke saku jas dengan ekspresi puas. Langkahnya kembali tenang

,,

“Kenapa kamu senang sekali, Nggi?” tanya Ibu Fani sambil melirik rekan kerjanya yang sejak tadi tersenyum sendiri.

“Ya senang dong. Sebentar lagi aku akan jadi ibu wali kota,” jawab Anggi penuh bangga. Ia merapikan kerah blazernya seolah sudah bersiap menghadiri acara resmi.

Fani mengangkat alis tinggi. “Nyalon juga enggak, punya suami juga belum. Gimana caranya jadi ibu wali kota?”

“Tenang saja, Fan. Sebentar lagi aku akan jadi istri calon wali kota,” ujar Anggi sambil tersenyum lebar seperti menyimpan rahasia besar.

“Lho… gimana sih? Aku makin nggak ngerti,” Fani mengernyit.

“ sini, sini. Aku kasih tahu,” ujar Anggi sambil menarik kursi lebih dekat.

Ia mulai mengulang percakapannya dengan Baskara. Suaranya berubah lebih pelan, penuh bisik-bisik seolah sedang membicarakan rencana penting negara. Fani hanya mengangguk-angguk, masih belum percaya.

Setelah selesai menjelaskan, Anggi menatap Fani dengan mata berbinar. “Kamu mau kan dukung aku?”

Fani geleng-geleng kecil. “Aku nggak yakin Mahira pelakunya.”

“Ih bukan masalah yakin atau enggak,” potong Anggi cepat. “Bayangin dong kalau aku jadi istri wali kota. Aku pasti rekomendasikan kamu jadi PNS.”

Mata Fani langsung membesar. Ada keraguan di wajahnya, tapi tawaran itu terlalu menggiurkan.

“Baiklah…” ucapnya pelan.

“Bagus. Sekarang kamu bantu sebarkan kalau Mahira pelaku pembunuhan Riko, Leo, dan sepuluh orang lain itu.”

Fani mengangguk, meski sorot matanya masih tampak ragu.

Anggi meraih ponsel dan langsung menelpon Mahira. Nada sambung terdengar berkali-kali namun tak ada jawaban.

“Ah, sialan. Kenapa nggak diangkat,” gumamnya kesal.

Ia mengetuk meja dengan ujung jarinya, berpikir keras. Lalu tiba-tiba wajahnya cerah.

Sebuah ide muncul begitu saja.

Tanpa ragu, ia mengetik pesan:

“Mahira, Nurma dalam bahaya. Sekarang dia ada di sekolah.”

Jari Anggi menekan tombol kirim. Senyum licik muncul di sudut bibirnya.

Jika Mahira masih punya hati, pesan itu pasti membuatnya datang.

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!