Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Sekitar satu jam kemudian, Anton beranjak memakai jasnya lagi. Nayla mengantar suaminya sampai pintu.
“Aku pergi dulu,” kata Anton.
Nayla membetulkan kerah jas Anton dengan gerakan otomatis. “Hati-hati. Jangan buru-buru di jalan.”
Anton tersenyum lembut. “Aku selalu hati-hati.”
“Kamu pasti pulang larut?”
“Mungkin.” Anton membuka pintu. “Nanti aku kabarin.”
Nayla memegang lengannya sebentar. “Tolong jangan terlalu memaksakan diri, Yang.”
Anton menaruh tangannya di pipi istrinya. “Sayang, aku kerja juga buat kamu dan Dea. Tapi aku janji, aku jaga diri.”
“Baik.”
Anton mencium keningnya sekali lagi. “Aku pergi dulu, Yang.”
Anton melangkah keluar, masuk ke mobil, lalu melaju pelan. Nayla berdiri di depan pintu sampai mobil itu tidak terlihat lagi.
Saat pintu ditutup, rumah kembali sunyi, tapi bukan sunyi yang kosong. Sunyi yang hangat. Sunyi yang biasa ia temui ketika Anton bekerja dan Dea belajar.
Nayla menyalakan lampu kecil di ruang keluarga, membuat ruangan itu tampak lembut dan nyaman. Lalu duduk, menyamankan diri dari semua penat. Dia akan lanjut membaca novelnya.
***
Sabtu pagi datang dengan sinar matahari yang lembut. Nayla sedang merapikan vas bunga di meja TV ketika suara langkah kaki berlari-lari kecil terdengar dari tangga.
“Ma!” Dea muncul sambil mengikat rambut setengah hati. “Aku izin, ya? Mau ke rumah Vina sebentar.”
Nayla menoleh. “Sebentar yang berapa jam?”
“Dua jam. Atau, mungkin tiga. Ehm, lihat nanti, deh.”
“Dea,”
“Ya ampun, Ma. Kita cuma mau bikin poster tugas sejarah.”
Nayla mengangkat satu alis. “Bikin poster atau makan gorengan sambil ngomongin anak cowok di sekolah?”
Dea melongo. “Lho! Mama kok tahu semua agenda anak SMA?”
“Karena aku dulu juga anak SMA.” Nayla menyentuh dagunya seolah mengingat masa muda. “Dan aku ahli dalam mendeteksi tipu-tipu kecil.”
Dea mendekat sambil merangkul ibunya. “Oke, ketahuan. Tapi kita benar-benar bikin poster. Setengahnya.”
“Oke.” Nayla mengecup pelipis putrinya. “Jangan sampai terlalu sore.”
“Okeee, Mamaku yang cantik.”
“Diantar Papa?”
Dea tersenyum lebar. “Iya, dong. Papa jagoan antar-menjemput.”
Seolah dipanggil, Anton muncul dari balik pintu dapur sambil mengaduk kopi. “Siapa yang memuji aku barusan?” tanyanya.
Dea langsung menunjuk dirinya sendiri. “Aku! Papa antar aku ke rumah Vina, ya.”
“Sekarang?” Anton melihat jam tangan. “Oke. Tapi Papa mandi dulu sebentar.”
Dea mengangkat dua jempol. “Aman.”
Anton mencuri pandang pada istrinya, memberi senyum singkat. “Mau ikut?”
Nayla menggeleng. “Aku mau bersih-bersih rumah. Kalian saja.”
Anton mendekat dan mencium dahinya cepat. “Oke. Nanti kita beli roti favoritmu pas pulang.”
“Beneran?”
“Serius.”
Dea terkekeh. “Pa, Mama itu gampang dibujuk pake makanan.”
Nayla pura-pura marah. “Hey!”
Anton tertawa. “Betul juga.”
***
Beberapa menit kemudian, Dea sudah siap di depan pintu. Anton turun dengan rambut basah, kaus putih, dan jeans sederhana. Bukan gaya kantoran seperti biasanya, tapi tetap rapi.
“Mau pergi sekarang?” tanya Anton.
Dea mengangguk. “Gas!”
Anton menoleh ke Nayla. “Mau titip apa?”
“Roti gandum yang isi krim. Yang kamu juga suka itu.”
Anton mengacungkan jempol. “Oke. Nanti aku beliin,”
Mobil mereka melaju keluar halaman. Nayla berdiri di teras, melambai, lalu masuk ke rumah dengan perasaan yang ringan. Ia suka hari Sabtu. Ada ritme hangat yang menenangkan di dalamnya.
***
Beberapa jam berlalu. Nayla sudah selesai menyapu, mengepel setengah rumah, dan mengganti sprei. Ia sedang melipat baju di ruang keluarga ketika ponselnya bergetar. Nama Anton muncul di layar.
“Halo, Yang.”
“Nay…” suara Anton terdengar agak sibuk, seperti sedang mencari posisi duduk nyaman di mobil. “Aku masih di kompleksnya Vina. Ini bareng Dea, tapi Dea katanya mau lanjut ngerjain tugas. Dia bilang baru selesai jam tiga.”
“Oke.” Nayla melirik jam. “Masih lama.”
“Lumayan. Kamu butuh aku belikan apa lagi?”
Nayla tersenyum. “Cukup rotinya.”
“Tadi Papa sebenarnya mau cari kue juga, Ma!” suara Dea tiba-tiba masuk. “Tapi Papa dilarang makan manis.”
“Siapa yang dilarang?” protes Anton.
“Ya iya, Papa sendiri yang bilang!”
Nayla menutup mulut menahan tawa. “Dea, Papa kamu itu susah kalau urusan makanan.”
“Aku saksi hidupnya, Ma!”
Anton mendesah. “Dua lawan satu terus ya.”
Nayla bisa membayangkan wajah suaminya saat itu, dia pasti sedang pura-pura jengkel tapi tetap tersenyum.
“Oke,” kata Nayla. “Kalian hati-hati ya. Kalau mau pulang makan siang di luar, kabarin.”
“Siap.” Anton menurunkan suara, lebih lembut. “Kamu gimana di rumah? Jangan kecapekan.”
“Aku cuma bersih-bersih biasa. Santai.”
“Kalau capek, istirahat ya.”
Nayla tersenyum kecil. “Oke, Pak Bos.”
“Bye, Ma!” seru Dea.
“Bye, sayang.”
Telepon ditutup. Nayla melanjutkan melipat baju sambil bersenandung kecil. Sore itu terasa menyenangkan.
***
Pukul empat lewat lima belas, mobil Anton masuk halaman. Nayla sudah membuka pintu sebelum keduanya turun.
“Assalamualaikum!” Dea berteriak.
“Waalaikumsalam.” Nayla menghampiri mereka. “Kamu selesai juga?”
“Poster kami keren banget, Ma!” Dea mengangkat gulungan kertas. “Vina yang menggambar, aku bagian nulis.”
Anton membuka bagasi dan mengeluarkan kantong belanja. “Ini rotinya,” katanya sambil menyerahkan plastik.
Nayla memeriksa isinya. “Eh, ini dua bungkus.”
“Jaga-jaga kalau satu tidak cukup,” kata Anton sambil mengedip.
Nayla tertawa kecil. “Kamu ini!”
Mereka bertiga masuk rumah. Anton duduk di sofa sambil melepaskan sepatu.
“Capek, Pa?” tanya Nayla.
“Lumayan. Tapi hari ini menyenangkan.”
“Vina orangnya lucu, Ma,” Dea menimpali. “Mamanya juga baik banget. Ramah.”
“Oh ya?” Nayla duduk di sebelah Anton. “Mamanya sempat keluar ketemu kalian?”
“Iya,” jawab Dea. “Mamanya cantik sih, tapi lebih cantik Mama aku.”
“Jangan bikin Mama besar kepala gitu, dong.” Nayla pura-pura tersipu.
“Aku serius, Ma. Oh iya, tadi juga Tante Lestari sempat kasih kami teh es,” tambah Dea. “Enak!”
Anton mengangguk. “Iya. Sopan dan hangat orangnya.”
“Widiihhh, ini pertama kali papanya Dea puji-puji mama temen anaknya,” canda Dea.
Anton langsung memutar bola mata. “Jangan bikin gosip.”
Dea tergelak. “Aku bercanda, Pa!”
Nayla tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Dea selalu saja menggoda Papanya kalau ada salah bicara. Tapi, langsung di klarifikasi oleh Papanya.
“Bu Lestari kayaknya baik ya,” kata Nayla santai.
“Sepertinya begitu.” Anton mengambil roti dari kantong belanja dan memberikannya ke Nayla. “Dan ini, roti favoritmu sebelum rebutan sama Dea.”
“Aku nggak rebutan,” protes Dea.
“Kamu selalu rebutan.”
“Enggak juga!”
Nayla hanya melihat keduanya dengan senyum melebar. Rumah terasa begitu hidup sore itu.
Malam datang pelan. Setelah makan malam, mereka menonton film bersama di ruang keluarga. Film komedi ringan, penuh tawa. Dea tertidur lebih dulu, kepalanya rebah di bantal kecil.
Anton mematikan TV pelan. “Dia pasti ngantuk berat.”
Nayla merapikan selimut putrinya. “Lelah ngerjain poster seharian.”
Anton menatap Nayla lama, sebelum berkata, “Hari ini terasa pas. Damai.”
Nayla mengangguk. “Iya. Hari ini enak.”
Anton meraih tangan istrinya, mengusap punggungnya dengan gerakan pelan. “Makasih ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya.”
Nayla menatap mata suaminya. Hangat. Tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya ragu.
“Yang…” Nayla tersenyum kecil. “Aku juga berterima kasih.”
Anton mendekat dan mencium kening Nayla dengan lembut.
“Besok kita sarapan di luar?” tanyanya.
“Mau.”
“Oke.”