"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menikahi Ellisa
Saat Ellisa menggendong Elmira dan berbalik badan untuk menyusuinya, suasana menjadi hening.
"Maaf ya nak Sam, jangan menganggap aneh kalo Ellisa di usianya yang masih kembang ini sudah bisa menyusui bayi." Kata bu Ningsih.
"Tidak, bu. Saya tidak menganggapnya aneh." Sam sejenak menatap Ellisa yang tampak senang mengASIhi elmira. Senandung merdunya terdengar.
Ibu panti dan suaminya tersenyum hangat mendengar jawaban itu.
Sam memperhatikan sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dan mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Bu Ningsih, Pak Herman," Sam memulai dengan nada serius, "saya ingin bicara penting dengan kalian."
Bu Ningsih tersenyum hangat, meski ada rasa penasaran di matanya. "Tentu, Nak Sam. Ada apa?"
Sam menggenggam kedua tangannya di atas lutut, mencoba menahan rasa gugupnya. "Maaf sebelumnya kalau ini terdengar tiba-tiba atau aneh, tapi... saya ingin memperistri Ellisa."
Ruangan tiba-tiba terasa sunyi, hanya suara napas Elmira yang terdengar samar.
"Eh?" Ellisa spontan menoleh. Tangannya secara refleks mempererat pelukannya pada Elmira.
Bu Ningsih dan Pak Herman saling pandang dengan raut wajah bingung. "Nak Sam, kami... tidak salah dengar, kan?" tanya Bu Ningsih dengan hati-hati.
Sam mengangguk mantap, meski wajahnya tampak tegang. "Kalian tidak salah dengar, Bu. Saya serius."
Pak Herman menghela napas panjang, mencoba meredakan suasana. "Nak Sam, kami mengerti bahwa kamu mungkin memiliki niat baik. Tapi, apa yang membuatmu berpikir untuk menikahi Ellisa? Dia masih sangat muda, dan kami ingin tahu alasan di balik keputusanmu ini."
Sam menghela napas, lalu menatap ke arah Ellisa yang masih terlihat bingung. "Ellisa adalah gadis yang istimewa. Dari pertama kali saya bertemu dengannya, saya merasa ada sesuatu yang berbeda. Dia bukan hanya sosok yang peduli pada Elmira, tapi dia juga memiliki hati yang tulus. Saya yakin, dengan segala yang dia miliki, dia bisa menjadi bagian penting dalam hidup saya."
Bu Ningsih menatap Sam dengan mata tajam, meski nadanya tetap lembut. "Nak Sam, kami sangat menghargai niat baikmu. Tapi, kamu tahu bahwa Ellisa adalah tanggung jawab kami. Kami harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil adalah untuk kebaikannya. Menikah adalah keputusan besar, dan kami tidak bisa membiarkan ini terjadi tanpa memikirkan semua konsekuensinya."
"Bu, Pak," Sam berkata dengan nada tegas, "saya tidak akan memaksa atau terburu-buru. Saya hanya ingin menyampaikan niat saya. Jika Ellisa butuh waktu untuk berpikir, saya akan memberinya waktu sebanyak yang dia butuhkan."
Bu Ningsih menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Baiklah, Nak Sam. Kami akan memikirkan hal ini. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, kebahagiaan Ellisa adalah prioritas kami."
Sam mengangguk dengan penuh rasa hormat. "Itu juga yang menjadi prioritas saya, Bu."
Setelah percakapan itu selesai, Sam meminta izin untuk keluar sebentar, memberikan waktu kepada Ellisa untuk berbicara lebih santai dengan Bu Ningsih dan Pak Herman.
Ellisa duduk di ruang tamu bersama mereka, Elmira tertidur nyenyak di pelukannya.
"Ellisa," kata Bu Ningsih dengan nada lembut, "apa yang kamu pikirkan tentang semua ini? Tentang apa yang baru saja Nak Sam katakan?"
Ellisa menunduk, jari-jarinya mengusap lembut rambut Elmira. "Bu, saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Saya tidak pernah membayangkan hal seperti ini sebelumnya. Dan, saya juga tidak yakin apakah saya siap."
Pak Herman mengangguk pelan. "Kami mengerti, Nak. Usia kamu masih sangat muda, dan ada banyak hal yang harus kamu pikirkan. Tapi, kami juga melihat kesungguhan di mata Nak Sam tadi. Dia sepertinya benar-benar tulus."
"Tapi, Pak, Bu..." Ellisa menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. "Saya hanya seorang gadis biasa, tanpa masa depan yang jelas. Bagaimana mungkin seseorang seperti dia berpikir untuk menikahi saya?"
Bu Ningsih menggenggam tangan Ellisa dengan hangat. "Ellisa, kamu jangan merendahkan dirimu sendiri. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Ketulusan dan kebaikan hatimu sudah terbukti di sini. Jika seseorang seperti Nak Sam melihat nilai itu dalam dirimu, mungkin kamu juga harus mulai melihatnya dalam dirimu sendiri."
Ellisa terdiam.
Di luar, Sam duduk di bangku taman panti. Ada sedikit rasa lega karena akhirnya ia menyampaikan apa yang ada di hatinya, tapi juga rasa gelisah menunggu keputusan dari Ellisa.
"Nak Sam," suara Bu Ningsih membuatnya menoleh.
"Bu," katanya sambil berdiri, "apa yang Bu Ningsih dan Pak Herman pikirkan tentang permintaan saya tadi?"
Bu Ningsih tersenyum hangat, meski ada keprihatinan di matanya. "Nak Sam, kami melihat kesungguhanmu, dan kami menghormatinya. Tapi, ini adalah keputusan besar. Ellisa butuh waktu untuk memikirkannya."
Sam mengangguk perlahan, "Saya mengerti, Bu. Saya tidak ingin memaksanya atau membuatnya merasa tertekan."
"Itulah yang kami harapkan darimu, Nak. Jika kamu benar-benar peduli padanya, berikan dia ruang untuk merenung dan mengenalmu lebih baik."
Sam tersenyum kecil. "Terima kasih, Bu. Saya janji akan bersabar."
Bu Ningsih menepuk bahunya dengan lembut. "Bagus, Nak. Kalau begitu, kenapa tidak masuk lagi? Mungkin kamu bisa mulai mengenal dia lebih baik juga, mulai dari sekarang."
Saat Sam kembali ke ruang tamu, pandangannya langsung bertemu dengan mata Ellisa.
Tatapan itu hanya berlangsung sepersekian detik, namun cukup untuk membuat Ellisa menunduk canggung sambil memeluk Elmira lebih erat.
Melihat reaksi itu, Sam merasa perlu mengalihkan perhatian. Ia berkata dengan nada yang lebih santai, "Ellisa, bisakah kamu membantuku membawa Elmira pulang? Setelah itu, aku janji akan mengantarmu kembali ke sini."
Ellisa mengerutkan alisnya, bingung dengan permintaan itu. Ia menoleh ke arah Bu Ningsih dan Pak Herman, seolah meminta pendapat mereka.
"Oh, tentu saja, tidak apa-apa, Nak, kalau Ellisa bersedia membantu," sahut Bu Ningsih sambil tersenyum lembut.
Sedikit lama untuk menjawab, akhirnya Ellisa berkata, "Ya sudah... Kalau begitu, saya bantu antar Elmira dulu ya, Bu, Pak."
Pak Herman mengangguk. "Iya, tidak masalah. Kami percaya kok sama kamu dan Nak Sam. Hati-hati di jalan, ya."
Sebelum keluar dari ruang tamu, Bu Ningsih memanggil mereka. "Ellisa," katanya lembut, "ingat, kalau ada apa-apa, kami selalu ada di sini untukmu."
Ellisa menoleh dan mengangguk kecil. "Iya, bu. Terima kasih."
Dalam perjalanan keluar dari panti, suasana terasa sedikit canggung. Sam melirik Ellisa beberapa kali melalui sudut matanya, tapi ia tak tahu harus berkata apa.
Sementara itu, Ellisa fokus menenangkan Elmira yang mulai menggeliat gelisah.
"Kelihatannya kamu tahu banget cara menenangkan dia," komentar Sam, sedikit kagum. "Aku bahkan nggak tahu cara menimang bayi, apalagi membuatnya berhenti menangis."
"Semua ibu panti di sini terbiasa mengurus bayi, jadi saya belajar dari mereka. Lagi pula, Elmira anak yang manis, kok. Dia nggak terlalu susah diurus."
Sam tertawa kecil, walau hatinya terasa hangat mendengar cara Ellisa berbicara. Ada kelembutan dalam suaranya yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuat Sam merasa nyaman, meskipun mereka baru mengenal.
Di dalam mobil, Ellisa duduk di belakang dengan Elmira di pangkuannya. Sam memperhatikan mereka melalui kaca spion, matanya sekali lagi menangkap momen di mana Ellisa menyenandungkan lagu lembut untuk Elmira yang perlahan-lahan tertidur.
"Aku nggak pernah membayangkan akan ada orang seperti kamu di hidupku," gumam Sam tiba-tiba, suaranya hampir seperti bisikan.
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/