Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 7
Semakin hari rasanya semakin membuat mual. Kavi banyak bersungut-sungut dan mengumpat sendiri. Puja mendadak seperti sindrom mematikan bagi tubuh, hati dan pikirannya.
Itu seperti dejavu, tapi berlainan makna.
Jika dulu saat SMA karena dikejar-kejar Puja si gendut jelek yang tak tahu malu, sekarang .....
Kedekatan wanita yang secara status adalah istri sahnya itu semakin jauh saja dengan banyak pria di kantor. Menebarkan pesona yang sepertinya dibuat sengaja untuk membuatnya kesal.
Saat di rumah, terlebih di dalam kamar, wanita itu acapkali menonjolkan diri dengan dandanan malam dan aroma yang menggiurkan. Kavi pria normal, digoda seperti itu lama-lama dia bisa mimisan.
Kalau yang satu itu jujur saja, Puja memang sengaja melakukannya demi misi penaklukan yang dia rancang.
Tapi lagi-lagi harga diri Kavi terlalu tinggi untuk bisa direndahkan semudah membalik tangan. Sekuat hati menahan diri dan menghindar sebisa-bisa. Dia sudah membuat kesepakatan dengan Puja saat malam awal pernikahan mereka.
Bunyi kesepakatannya;
"Pernikahan di antara kita cuma status. Masing-masing nggak boleh saling mengganggu privasi, termasuk itu buat dekat dengan siapa pun dan apa pun yang dilakukan. Meski sekamar, anggap aja kita gak saling kenal."
Akan jadi apa dirinya jika melanggar hanya karena kelakuan Puja yang baginya sangat menggelikan itu.
Tapi juga tak memungkir, Kavi sangat frustrasi. Hal itu mulai mempengaruhi kesehatan jantungnya yang akhir-akhir ini sering dagdigdug.
Dia yang membuat poin kesepakatan, dia juga yang kesal sendiri. Faktanya Puja yang sekarang memang semenggoda itu.
Seperti malam ini di dalam kamar.
Puja tengah santai duduk berselonjor kaki dengan punggung tersandar di atas sofa. Sesekali terdengar kikikan lucu dari bibirnya saat membaca dan berbalas pesan entah dengan siapa, melalui ponsel yang dimainkan.
Sedang Kavi sendiri ...
"Chat-an sama siapa sih dia? Girang banget?" sungutnya. “Pasti cowok-cowok hasil godaannya!" Dia berdecih. Sudah dari dua menit lalu pria ini keluar dari kamar mandi. Bukan beranjak ke arah ruang pakaian, malah berdiri seperti penguntit memperhatikan kelakuan Puja.
Sampai nada dering panggilan kemudian terdengar dan Puja beranjak dari tempatnya untuk mengangkat, wanita itu berjalan ke arah balkon tanpa memperhatikan keberadaan sosok yang sedari tadi ada di belakangnya.
"Halo, Jim... iya, aku udah mematangkan berkas persentasinya ... iya ... pasti, aku pasti berusaha sebaik mungkin agar tak mengecewakan team-ku," Dia berbicara panjang sambil berjalan.
Di tempatnya, Kavi mendengus, "Ternyata si beku Jimmy."
Tak ada yang aneh, Puja membicarakan pekerjaan dengan Jimmy Ardhana di line telepon. Sedang Kavi sendiri baru sadar jika dirinya masih bertelanjang dada dengan handuk melilit pinggang. "Argh, sial!" rutuknya, kemudian bergegas ke ruang ganti.
Setelah rapi, lelaki itu keluar seraya mengasak rambut basah yang belum disisir.
Kemudian ....
BUG!
Suara pekikan kompak terdengar.
Kavi dan Puja baru saja bertabrakan.
Puja memasuki kamar dengan mata masih menatap ponsel, jadi tak menyadari kemunculan Kavi dari arah berlawanan.
"Lu ngapa sih? Jalan meleng aja!" semprot Kavi seraya memegangi bagian dada yang aslinya tak apa-apa.
“Iya, maaf," ucap Puja, sambil mengusap keningnya hasil benturan.
"Ngapain lu di sini?! Bukannya lagi teleponan di luar?! Jangan-jangan lu masuk mau ngintipin gua pake baju, ya?! Lu tahu gak kalo lu itu mesum!”
Mata Puja auto melotot. “Sakit jiwa,” katanya menggeram, tidak mengomentari lebih banyak karena tahu pasti akan berakhir pertengkaran konyol jika diladeni.
"Bohong! Jelas-jelas lu sengaja!"
"Bodo amat!”
“Ngaku gak lu! Ngaku!” Kavi terus mendesak.
Dan pada akhir, Puja tetap tak tahan jika terus diam dan mengalah. Mulut Kavi seperti petasan yang merobek gendang telinga.
Perdebatan mereka terus memanjang hingga menjalar pada ejekan-ejekan yang mulai aneh. Sampai ....
Esok hari di ruang kerjanya di dalam kantor.
Salahnya sendiri, Kavi tak bisa mengatur fokus dan konsentrasinya pada pekerjaan. Pikirannya terus lari pada kejadian semalam, dimana ....
Saat perdebatan berlangsung semakin sengit, Puja tersandung kakinya sendiri saat hendak berbalik, dan secara refleks Kavi menangkap tubuh itu hingga terpelanting ke belakang dan berakhir sama-sama jatuh bertumpuk, Puja di atas tubuhnya dengan posisi wajah bertemu.
Namun yang terpenting bukan itu.
Adalah bibir dan tubuh mereka yang rapat menempel semua.
Walaupun sama-sama terkejut dan sama-sama membelalak mata, tapi tak satu pun dari keduanya melepas adegan itu. Waktu terasa tiba-tiba berhenti, keduanya disergap kebekuan, sementara hati saling berdebar.
Tanpa sadar keadaan itu membangunkan naluri lelaki dalam diri Kavi. Ada yang mengeras di bawah sana.
Seketika itu juga Puja langsung on dan kembali ke mode eling.
"Kamu yang mesum, Bajingan!"
Cuih! Padahal uda nikah, tolol semua----Author.
--___--
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Tak henti Kavi mengutuk dirinya sendiri. Huruf dan angka-angka di layar laptop menjadi tidak berharga dalam pandangannya. Pikiranya penuh dikuasai Puja.
Seharian penuh sampai ke waktu pulang tepat di angka jam 17.30, tak satu pun pekerjaan terselesaikan. Kavi beralasan pada sekretarisnya--Gia, bahwa dirinya tak enak badan dan akan segera pulang.
Melewati divisi dimana Puja bekerja, telah kosong, rupanya semua sudah membubarkan diri karena memang pekerjaan tidak sesibuk kemarin. Termasuk Puja yang mungkin telah pulang menggunakan taksi seperti biasa.
Berpisah dengan Gia di lobi, Kavi berjalan menuju parkiran dimana mobilnya ada di sana.
Juga lumayan sepi, hanya ada beberapa mobil dari bagian pengembangan yang sedang lembur.
Tepat saat pria itu akan membuka pintu mobilnya ....
"KAVI, AWAAASSS!"
DOOORRR!!!
***
Brangkar dorong melaju cepat di koridor sebuah rumah sakit, menuju ruang IGD.
Sampai di depan pintu ruangan yang dituju ....
"Maaf, silakan Anda tunggu di luar." Seorang suster menahan tubuh Kavi yang hendak masuk mengikuti mereka ke dalam ruangan.
Ketakutan meliputi dirinya hingga bergetar sekujur tubuh.
"Duduk, Kav." Jimmy menuntunnya ke deretan kursi tunggu yang tersandar di sebelah kanan lalu mendudukkan pria itu di salah satunya.
"Tenangin diri kamu," kata Jimmy. "Tunggu di sini bentar, aku cari minum dulu.”
Kavi tak menyahut sampai pria itu berlalu dari pandangan. Dia benar-benar terguncang kali ini. Tatapannya menusuk nyalang pada kedua tangan yang tersangga di atas paha, banyak sisa darah di sana--darah Puja, istrinya.
Seketika dia ingat bagaimana wanita itu berhambur, menjadikan diri sebagai tameng. Peluru yang seharusnya menembus tubuhnya, malah Puja yang menerima.
Bayangan saat wanita itu mengatupkan mata kehilangan kesadaran, menguasai mata dan pikirannnya, diperparah dengan darah yang terus mengucur.
"Kenapa lu lakuin itu? Kenapa mengorbankan diri buat gua?" Sebutir air mata jatuh menimpa tangan yang berdarah itu. Perasaannya saat ini benar-benar tak bisa dideskripsikan.
Di saat yang sama, Arjuna datang tergopoh. "Kav, gimana Puja?!" tanyanya, memperlihatkan kecemasan yang sama besar.
Arjuna adalah orang pertama yang dihubungi Kavi saat dalam perjalanan, sebelum kemudian orang tuanya.
"Gua nggak tau, dia lagi ditangani dokter," jawabnya dengan suara kacau.
Jun tercenung, lalu mengangguk. Pandangannya kemudian jatuh pada tangan dan kemeja putih Kavi yang penuh darah. Saat itu dia yakin bahwa kejadian ini tak sederhana.
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..