Ellisa Mentari Salsabila

Ellisa Mentari Salsabila

memanggil Ellisa

“Rani! Tolong antarkan pesanan kue ini ke toko seberang jalan, ya!” seru Ibu Panti dari ambang pintu dapur, tangannya sibuk mengelap sisa tepung yang menempel di apron.

Di ruang tengah, Rani tengah rebahan di lantai, mengawasi lima anak panti berusia sekitar dua tahun yang sibuk bermain balok kayu. Mendengar panggilan itu, ia menggeliat malas.

“Hoaamm... iya, Bu Panti,” sahutnya seraya menguap lebar.

“Ibu taruh di meja, ya. Tolong cepat diantar, takut keburu hujan,” ujar Ibu Panti, kemudian meletakkan sebuah kontainer besar berisi kue di atas meja.

Namun, alih-alih bangkit, Rani justru melirik ke arah seorang gadis berambut coklat yang dikepang besar di belakang punggung yang duduk di sudut ruangan, tengah menyusui seorang bayi mungil berusia lima bulan.

“Ellisa! Lo aja deh yang antar kue itu.”

Ellisa menoleh sekilas, lalu kembali memandangi bayi dalam dekapannya yang sudah mulai terlelap. “Maaf, Rani. Aku masih nyusuin Ciara,” jawabnya tenang.

Rani mengerang kesal, lalu membalikkan tubuhnya ke samping. “Alah, sebentar doang. Cuma nyebrang jalan! Gue masih ngantuk. Lo mau gue nyebrang terus tiba-tiba ketabrak gara-gara gue ngantuk?” katanya, setengah memaksa.

Ellisa mendesah panjang. Perdebatan dengan Rani pasti tidak akan berakhir cepat. Daripada berlama-lama, lebih baik ia yang pergi.

“Ya sudah deh, daripada ribut. Lagian, Ciara juga udah tidur.”

Ia pun perlahan melepas bayi itu dari pelukannya, memastikan posisinya tetap nyaman di keranjang. Setelah merapikan diri, ia berjalan menuju meja, mengangkat kontainer besar berisi dua puluh lima kotak kue.

Saat sampai di gerbang panti, angin dingin menerpa kulitnya.

“Aduh, aku lupa bawa jaket!” lirihnya, menyadari dirinya hanya mengenakan dress kerut sederhana yang tipis. "Ah! Gak apa-apa deh, cuma bentar. Tinggal nyebrang, ngasih pesanan, terus balik."

Tanpa berpikir lebih jauh, ia melangkah keluar, tidak menyadari bahwa dalam beberapa menit ke depan, hidupnya akan berubah selamanya.

Ellisa Melati Salsabila.

Seorang gadis berusia 18 tahun yang memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. Pada usia 15 tahun, saat masa pubertasnya, ia mengalami kondisi langka yang membuat tubuhnya memproduksi ASI meskipun usianya masih remaja.

Tiga tahun sudah Ellisa mendonorkan ASI-nya, tetapi hal itu tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah baginya.

Setiap hari, ia harus bertahan menghadapi rasa nyeri yang mendera saat dadanya penuh namun belum sempat disalurkan. Ia juga harus menelan kelelahan yang terus menggerogoti tubuhnya, karena menyusui bayi-bayi di panti asuhan bukan sekadar tugas, melainkan lingkaran tak berujung yang mengikatnya tanpa pilihan.

Kadang, saat malam-malam sunyi menyelimuti, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini anugerah Tuhan atau sebuah kutukan?

Namun, ia tak pernah berani mengucapkan pertanyaan itu dengan lantang.

Jalan raya di depan panti cukup besar dan ramai. Ellisa harus menunggu cukup lama hingga menemukan celah aman untuk menyeberang. Begitu kesempatan itu datang, ia segera melangkah dengan hati-hati menuju seberang dan masuk ke toko oleh-oleh yang tampak ramai.

"Oh, dari Panti Cahaya Mentari, ya?" sambut seorang wanita paruh baya, pemilik toko.

"Iya, Bu," jawab Ellisa sopan sambil menyerahkan pesanan kue.

"Baik, totalnya 25 kotak, kan?"

"Iya, Bu."

"Ini uangnya. Terima kasih sudah mengantar, ya," ujar pemilik toko sambil menyodorkan amplop.

"Sama-sama, Bu. Kalau begitu, saya pamit."

"Iya, hati-hati nyebrangnya. Jangan buru-buru," pesan sang pemilik toko.

Ellisa mengangguk dan bergegas keluar. Saat berdiri di pinggir jalan, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyeberang, langit yang tadinya hanya mendung kini mulai mengguyur hujan deras.

"Astaga, hujan?! Mana deras banget... Aku kan nggak bawa payung," keluhnya putus asa, menatap lalu lintas yang masih padat.

Ellisa menoleh ke sekitar, mencari tempat berteduh. Sayangnya, semua terlalu jauh dari pinggir jalan. Sementara itu, ia ingin segera kembali ke panti daripada menunggu hujan reda. Terpaksa, ia berdiri di sana, membiarkan tubuhnya basah kuyup.

Dari kejauhan, sebuah mobil berhenti di tepi jalan, tak jauh dari tempatnya berdiri. Di dalamnya, seorang pria mengamati suasana jalanan yang kini terlihat lebih berbahaya akibat genangan air.

"Hujan deras begini... Jalanan jadi makin licin dan berbahaya," gumamnya, tangannya tetap menggenggam kemudi.

Tatapannya kemudian beralih pada sosok gadis yang berdiri menggigil di pinggir jalan. Pakaian tipisnya basah kuyup, tubuhnya sedikit membungkuk, memeluk diri sendiri untuk menahan dingin.

"Kasihan... Kenapa dia nggak berteduh?" pria itu bergumam pelan, merasa iba.

Ellisa semakin gelisah. Ia merapatkan pelukan ke tubuhnya, menggigil hebat. "Dingin sekali... Aku nggak kuat kalau begini terus," ucapnya lirih sambil menggosok-gosok lengannya yang sudah basah.

Pria itu menghela napas, lalu meraih payung dari kursi belakang mobilnya dan keluar menghampiri Ellisa.

Ia membuka payung dan mendekatinya perlahan. Namun, begitu Ellisa mendongak, wajahnya langsung pucat pasi. Bibirnya membiru, tubuhnya gemetar hebat.

"Maaf, kamu nggak apa-apa?" tanya pria itu khawatir, mencoba menyodorkan payung kepadanya.

Namun, kondisi Ellisa semakin memburuk. Kakinya oleng, tubuhnya nyaris tumbang.

"Eh?!" Dengan sigap, pria itu menangkapnya. Payung yang tadi ia genggam terlepas begitu saja, terhempas hujan deras.

Melihat kondisi Ellisa yang semakin lemah, pria itu segera mengambil keputusan. Tanpa ragu, ia menggendong tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Setelah mendudukkannya di kursi depan, ia buru-buru melepas jasnya dan menyelimuti tubuh Ellisa yang menggigil hebat.

"Ini cewek siapa sih? Mau ke mana dia? Dari mana asalnya?" gumamnya, menatap Ellisa yang masih terpejam. "Gue nggak bisa ninggalin dia begini aja."

Ia menghela napas panjang, lalu menginjak pedal gas, melajukan mobilnya. Namun, dalam kekalutannya, ia lupa memasangkan sabuk pengaman untuk Ellisa.

Saat mobil melaju, tubuh Ellisa yang lemah terhuyung, hingga akhirnya jatuh ke pangkuannya.

"Sial! Ceroboh banget gue." Pria itu tersentak kaget, tapi buru-buru meraih tubuh Ellisa, memastikan gadis itu tidak semakin terluka.

Setibanya di sebuah rumah megah, seorang satpam segera membuka gerbang utama, sementara beberapa asisten rumah tangga bersiap di depan pintu.

Pria itu keluar dari mobil dan menggendong Ellisa. "Seven, bereskan mobil gue," katanya tegas pada pria berseragam hitam yang langsung mengangguk.

"Siap, Bos Sam."

Sam Adhipati melangkah cepat masuk ke dalam rumah, membawa Ellisa ke kamar tamu di lantai bawah.

Ia mendorong pintu kamar, lalu dengan hati-hati membaringkan Ellisa di atas ranjang berseprai putih bersih. Namun, baru saja ia hendak meluruskan tubuhnya, gadis itu tiba-tiba membuka mata perlahan.

"Syukurlah, kau sudah sadar," ujar Sam, nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

Ellisa mengerjap bingung. Tatapannya mengedar ke sekeliling ruangan. "Ini... di mana?"

Sam mengangkat tangan, memberi isyarat agar Ellisa tetap tenang. "Jangan khawatir. Aku nggak akan menyakitimu."

Ellisa mengeratkan genggaman pada jas yang tadi menyelimuti tubuhnya, berusaha menutupi tubuhnya yang masih menggigil. Matanya tetap menyiratkan kecurigaan, meski jelas kelelahan.

"H-ha... hachiiih!!" Sebuah bersin keras mengakhiri keheningan di antara mereka.

Terpopuler

Comments

Serenarara

Serenarara

Kok idenya unik.

2025-02-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!