Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 06
Nirma melangkah mendekati pintu, menyibak sedikit gorden agar dapat melihat siapa yang datang.
‘Ada perlu apa dia?’ Nirma membuka pintu, detak jantungnya menjadi bergemuruh.
“Pagi mantan sahabatku.” Linda menelisik penampilan Nirma. “Jangan bilang kau tak masuk kerja hari ini. Ck … enak betul ya hidupmu, tenaga medis lainnya bergantian shift, sedangkan dirimu selalu masuk kerja jam 8 pagi, pukul 3 sore sudah pulang. Aku jadi makin penasaran, siapa dalang di belakang mu, sampai mendapatkan hak istimewa?”
Linda berusaha mencondongkan badan, ia ingin melihat ke dalam rumah Nirma. Namun, ibu Kamal itu begitu cepat mengantisipasi, menutup rapat daun pintu.
“Mau apa kau pagi-pagi kesini, Lin?” tanyanya, bersandar pada pintu.
“Tak ada, hanya sekedar menyapa saja. Ingin mengajak berangkat bersama. Kau tengok mobil ku itu!” Dagunya menunjuk mobil sedan yang terparkir di bahu jalan.
“Bagus bukan? Sebagai mantan sahabatmu, aku ingin berbagi bagaimana rasanya naik kendaraan mewah. Kau kan selama ini hanya mampu naik becak motor … eh aku salah cakap ya? Maaf, terkadang bibir ku ini tak bisa direm bila berbicara dengan wanita mantan perebut calon suami Kakaknya sendiri.” Linda pura-pura menutup mulutnya.
“Bila kedatanganmu hanya ingin pamer, cepatlah enyah dari sini! Aku sama sekali tak tertarik dengan mobil seken mu tu, Linda!” Nirma bersedekap tangan, menatap penuh perhitungan.
“Apa kau bilang?!” Linda maju mengikis jarak mereka, menatap benci sosok Nirma. “Miskin saja sombong betul, kau tu tak pantas kerja di rumah sakit, apalagi menjadi tenaga medis, cocoknya berlakon macam wanita penghibur pria hidung belang!”
Nirma menepis telunjuk Linda. “Jangan sok suci! Dirimu sendiri juga berlumur dosa, tak jauh berbeda dariku. Hanya saja Tuhan berbaik hati kepada kau, masih menutup rapat aib mu itu!”
Linda mundur, gestur tubuhnya sedikit gemetar, tapi ia menyembunyikan dengan bersedekap tangan, menatap angkuh. “Dasar wanita murahan, mau-maunya digarap calon Abang ipar sendiri, macam tak ada laki-laki lain saja. Cuih!”
Kemudian Linda berlalu begitu saja, masuk kedalam mobil dan mulai melaju meninggalkan rumah kontrakan Nirma.
‘Sebetulnya salahku apa padanya? Mengapa ia begitu membenciku?’ sedari Linda masuk kerja, mantan temannya itu langsung menyerang dirinya. Dalam hati ia terus bertanya kepada dirinya sendiri, sama sekali tidak merasa menyakiti wanita seumuran dengannya itu.
.
.
Satu jam kemudian.
Nirma, Wak Sarmi, dan Kamal, sudah berada di taman kota yang pada hari kerja seperti ini terlihat sepi pengunjung.
“Ayo Nak, kejar Nenek!” Ibu muda itu sedang menitah putranya, mencoba mengejar Wak Sarmi yang berjalan di depan mereka, Kamal terlihat begitu senang, tidak henti-hentinya ia tertawa riang.
Kaki gempal Kamal melangkah pendek-pendek, bibirnya mengeluarkan air liur sampai menetes membasahi rumput taman kota, wajah bayi laki-laki tampan itu telah memerah dikarenakan hawa panas dan berkeringat, tapi ia tetap semangat mencoba menangkap sang nenek yang selama ini menemani hari-harinya.
“Yey … berhasil!” Nirma menggendong dan melambungkan sang buah hati, lalu menurunkannya kembali. Kamal langsung menjatuhkan diri di paha Wak Sarmi.
“Pintar sekali cucu Nenek ini, tak lama lagi pasti sudah bisa berlarian.” Wak Sarmi mengusap kepala Kamal, lalu mengelap keringat di wajahnya menggunakan handuk lembut khusus untuk bayi.
“Mik air putih dulu, Sayang!” Nirma menyodorkan botol minum ada sedotannya, yang langsung dipegang kuat oleh sang anak, Kamal sudah pintar menyedot air minum.
Ketiga sosok beda usia itu duduk di atas tikar lipat yang digelar di bawah pohon beringin taman kota kabupaten, Nirma membuka kotak makanan berisi potongan buah semangka dan jambu air, lalu ia dan lainnya cuci tangan menggunakan air dalam botol plastik.
“Ternyata sesekali bolos kerja dan menikmati liburan sederhana macam ini, sungguh menyenangkan ya, Wak?” tanyanya sambil mengunyah buah jambu, hasil memetik di pohon depan rumah.
“Kerja keras boleh, tapi kau juga wajib menikmati waktu istirahat, setidaknya sehari saja. Uwak mengerti, paham, bila dirimu sedang giat-giatnya menabung untuk operasi Kamal yang semakin dekat saja harinya, tapi kesehatanmu juga penting, Nirma!” Wak Sarmi memberikan wejangan, sambil menusuk buah semangka menggunakan garpu.
“Sayang, tak boleh memainkan makanan macam itu, ya.” Nirma mengambil garpu yang ada di tangan Kamal, bayinya itu menusuk-nusuk satu potong buah semangka.
Langsung saja wajah Kamal memerah, bibir mengerucut, siap menangis keras.
“Anak Ayah tak boleh cengeng, ya!”
“Astaghfirullah.” Nirma dan Wak Sarmi serentak mengucap istighfar, lalu mereka menoleh ke belakang, di mana ada juragan Byakta yang terlihat gagah dengan pakaian santainya.
“Ayah, sejak kapan ada di sana?” Nirma menerima uluran tangan Byakta untuk ia tempelkan di kening, sengaja melakukan hal kecil itu sebagai contoh bagi Kamal.
“Yah … Yah …!” Kamal merangkak, bibirnya terus memanggil Ayah angkat nya.
“Hah?!” Nirma berseru, jelas dirinya terkejut.
Begitu pula dengan juragan Byakta, kedua tangannya terentang, meminta Kamal mendekat. “Nak, coba ulangi! Panggil apa tadi?”
Seketika Kamal berhenti merangkak, ia seolah paham perkataan sang ayah, netra beningnya menatap bahagia, lalu bibirnya mulai membentuk kata-kata. “Yah … yah!”
“Masya Allah, anak Ayah pintar sekali!” Juragan Byakta langsung membawa sang putra untuk ia dekap, mengecup bertubi-tubi pucuk kepalanya, netranya sudah sedari tadi berkaca-kaca.
“Ibuk dengar ‘kan? Anak kita menyebut Yah, Kamal memangil Ayah, Buk!” Ia menghapus sudut matanya yang basah, sebelah tangannya masih memeluk Kamal. “Ternyata macam ini rasanya di panggil Ayah untuk pertama kalinya. Sungguh tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Yang jelas, hati ini menghangat dengan debar jantung memompa cepat.”
Nirma memalingkan wajahnya, menatap lurus pada jalan raya, air matanya mengalir begitu saja, senang, haru, sekaligus miris. Akhirnya sang putra bisa menyebut nama ayah, tapi sayangnya ia tidak tahu bila yang ia anggap ayah itu, bukanlah bapak kandungnya.
Wak Sarmi menepuk pundak Nirma, ia mengerti pergolakan batin ibu muda itu.
“Yah … Yah!” Kamal menepuk pipi juragan Byakta, meminta untuk diangkat tinggi-tinggi.
“Iya Nak, ini Ayah! Ayo kita terbang macam pesawat!” Juragan Byakta langsung melingkarkan tangannya pada ketiak dan kaki Kamal, tangannya berayun layaknya pesawat terbang.
Tawa Kamal membahana, ia terlihat begitu bahagia, tidak mengetahui bila sang ibu sedang berusaha keras menahan tangis dengan menggigit bibir.
“Masih kah hatimu tak tergerak melihat pemandangan hangat itu, Nirma …?”
“Wak, cukup!” Nirma menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tangis yang ia tahan sedari tadi pecah sudah.
“Nirma … memang bagus bila seseorang ingin menjadi sosok tanggung jawab, tapi tak ada salahnya bila ia menerima uluran tangan dari orang lain yang memiliki niat tulus sekaligus mulia. Mungkin kalian tak bisa saling mencintai, namun paling tidak anakmu memiliki figur Ayah nyata, bukan hadirnya cuma sekali-kali dan hanya sekilas saja, lalu pergi lagi. Suatu saat nanti, Kamal pasti akan mempertanyakan hal tersebut.”
Wak Sarmi mengusap lembut punggung Nirma yang bergetar, netranya menatap Kamal dan juragan Byakta. Sosok nyaris tua itu sedang menitah putranya.
“Apa hal itu pantas untukku, Wak …?”
.
.
Bersambung.
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆