Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBELAS
Hening perbincangan di meja makan itu tiba tiba terhenti begitu saja. Namun Faza kembali melontarkan pertanyaan yang mengejutkan Caca.
"Kenapa kamu menolak nafkah dari saya, Ca?" tanya Faza dengan nada serius, matanya menatap tajam ke arahku.
Caca menghela napas pelan. "Pak, pernikahan kita bukan pernikahan seperti kebanyakan orang. Jadi, Pak Faza tak berkewajiban menafkahiku," jawab Caca sambil berusaha menjaga suaranya tetap tegas meski hatinya sedikit khawatir.
Caca tahu pendapatnya itu mungkin terdengar tidak masuk akal bagi Faza, tapi Caca tak mau berbohong pada prinsip yang ia pegang. Faza mengerutkan kening, sebelum akhirnya kembali bersuara.
"Saya tidak peduli bagaimana sebab kita menikah, Ca. Ada satu hal yang harus kamu pahami. Ketika seorang pria menikahi seorang wanita, sudah menjadi kewajiban baginya untuk menafkahi, melindungi, dan menjaga," ucapnya dengan nada yang penuh ketegasan, seakan-akan apa yang dikatakannya adalah hukum yang tak boleh dilanggar.
Tatapan matanya tidak memberikan celah untuk perdebatan. Caca ingin menjawab, ingin memberikan alasan yang mungkin bisa membuatnya memahami posisinya. Namun, mulutnya terasa berat.
Kata-katak Caca hanya dapat tertahan di tenggorokan, seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya.Caca akhirnya hanya menggumam pelan, "Saya tahu, tapi..."ucap Caca terhenti, karena Faza tak memberinya kesempatan untuk melanjutkan ucapannya.
"Saya tidak suka mendebatkan sesuatu yang hukumnya sudah jelas," ujarnya, dengan nada yang menutup segala diskusi. Suaranya dingin, seperti pisau tajam yang mengiris keberanian Caca.
Dengan langkah yang berat, Faza akhirnya bangkit dan meninggalkan meja makan yang masih terasa hangat. Caca, yang masih terpaku dengan pikirannya yang melayang, pun perlahan menghentikan kunyahannya.
"Apa dia marah," batin Caca.
Di sudut lain, Faza tampak tenggelam dalam serangkaian pekerjaan yang tak pernah berakhir, laptopnya terbuka di atas pangkuan di kursi santai kesayangannya.
Dua minggu berlalu, Caca buru buru ke kampus, karena ada janji temu dengan dosen pembimbingnya, yaitu Pak Alfin.
Caca berjalan menyandang tas, menghampiri Faza, yang tengah asyik dengan laptopnya.
"Pak Faza, pagi ini Saya, ke kampus, um.. ada sedikit perbaikan skripsi," katanya, suaranya terdengar ragu,saat berpamitan.
Faza, yang sedang tenggelam dalam dunia virtualnya, perlahan mendongak dan menatap Caca.
"Saya antar?" suaranya terdengar tenang namun mendalam. Caca menggeleng cepat,
"Saya pergi naik motor saja, Pak," jawabnya, menolak tawaran yang ditawarkan oleh Faza. Sungguh Caca semakin baper dengan sikap Faza yang begitu peduli,namun Caca tak ingin memperlihatkan jika dirinya memiliki ketertarikan pada pak dosennya itu.
Faza, tampak berpikir,terlihat dari kerutan di dahinya, mengangguk pelan.
"Oke, hati-hati," katanya.
"Hem.." sahutnya sebelum melangkah meninggalkan Faza.
Sesampainya di kampus Caca dan Citra, menemui Pak Alfin dosen pembimbingnya.
Caca mengetuk pintu ruangan Alfin dengan sopan.
"Masuk" suara Pak Alpin terdengar dari dalam ruangan. Caca dan Citra pun masuk bergantian, untuk mendiskusikan skripsi.
Suasana ruangan yang sunyi hanya dipenuhi dengan suara pena yang digoreskan di atas kertas, saat menuliskan catatan.
Alfin, selaku dosen pembimbing Caca, duduk dengan kacamata yang terpasang rapi di hidung mancungnya. Ia tampak serius membolak-balik halaman skripsi yang disusun oleh mahasiswinya, Caca.
“Ca, kamu harus benar-benar memperhatikan metodologi penelitianmu. Ini masih sangat umum,” ujar Pak Alfin sambil menunjuk pada bagian tertentu di dokumen tersebut.Caca, yang duduk di hadapannya, menundukkan kepala. Raut wajahnya mencerminkan keseriusan.
“Baik, Pak, saya akan revisi bagian ini,” jawabnya dengan suara tenang.Pak Alfin kemudian menyerahkan beberapa jurnal ilmiah kepada Caca. “Pelajari jurnal-jurnal ini. Kamu bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana seharusnya metode penelitianmu diatur,” saran Pak Alfin, sambil matanya tetap tertuju pada dokumen di hadapannya.
Caca mengangguk, mengumpulkan jurnal-jurnal tersebut. Rasa terima kasih tampak jelas diraut wajah Caca, karena Pak Alfin begitu detail membantunya.
“Dan satu lagi, Ca. Usahakan untuk lebih sering konsultasi. Jangan menunggu dateline terlalu mepet. Skripsimu penting, jangan dianggap enteng,” tambah Pak Alfin, seraya mengembalikan skripsi yang penuh coretan ke Caca.
Caca menghela napas, menerima skripsinya“Terima kasih, Pak. Saya akan segera melakukan perbaikan dan konsultasi lebih rutin,” janjinya, sambil berdiri dan memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan.
"Ca," panggil Alfin. Caca menoleh ke arah pak dosennya."Jika kamu ada waktu, saya besok ada di rumah, kamu bisa datang kerumah ajak temanmu, untuk mengerjakan skripsimu, saya akan bimbing kamu hingga selesai," ujar Alfin menawarkan kemudahan pada Caca.
"Apa tidak merepotkan Pak Alfin?" tanya Caca terlihat bersemangat.
"Heem...tentu tidak, besok saya tunggu di rumah, jangan sungkan" ujar Alfin terdengar serius.
"Baik Pak" Alfin hanya mengangguk, kembali fokus pada tumpukan dokumen yang masih harus ia periksa. Caca keluar dari ruang Alfin.Di luar ruangan, langkah Caca terasa lebih ringan, hatinya berbunga-bunga, karena mendapatkan dukungan akademis dari Alfin.
Saatnya giliran Citra yang bimbingan dan Caca dengan sabar menunggu sahabatnya.
Seusai bimbingan Citra dan Caca mencari tempat nongkrong yang asik untuk mengerjakan skripsinya, di sebuah kafe,yang terdapat di sebuah tebing, tepat menghadap ke laut, membuat suasana asyik untuk bersantai.
Caca dan Citra tampak begitu asyik memahami setiap kata pada jurnal yang Alfin berikan padanya. Laptop menyala di meja, tek terasa Caca dan Citra terlarut dalam mengerjakan skripsi di kafe itu, hingga tanpa sadar waktunya jam makan siang.
Sementara Faza dan Alfin berjanji temu di kafe yang sama tempat Caca nongkrong. Ada pekerjaan di luar kampus yang sedang mereka tangani. Caya yang tak menyadari keberadaan kedua dosennya itu, tetap asyik dengan tugas akhirnya.
Merasa sesak karena ingin buang air kecil, Caca pun meminta izin pada Citra untuk ke WC. Saat berjalan melewati meja Alfin, yang sedikit terhalang oleh pembatas, langkah Caca terhenti begitu saja. Tanpa sengaja Caca mendengar suara yang tak asing, suara Faza—suaminya.
Dengan penasaran, Caca menyipitkan mata dan mencoba mempertajam pendengaran. “Apa rencanamu soal lamaran itu? Jadi kamu lamar dia tahun ini?” tanya Alfin. Suara seriusnya terdengar jelas di telinga Caca. Jantung Caca seperti berhenti berdetak untuk sesaat.
'Lamaran? Apa Pak Faza akan melamar kekasihnya, lalu bagaimana denga hubungan kami' batin Caca, mencoba menenangkan diri, berharap penjelasan berikutnya hanya salah paham belaka. Namun, kata-kata Faza membuat tubuh Caca menegang.
“Boleh nggak poligami?” ujarnya santai sambil menyeruput kopi, membuat Alfin langsung melongo. Sementara tubuh Caca nyaris menjatuhkan langkahnya, tetapi kakinya terlalu berat untuk bergerak.
"Poligami?" Lidah Caca terasa kering, tenggorokannya menelan ludah dengan susah payah. Dada Caca mulai terasa sesak, dia bahkan bisa mendengar denyut nadinya sendiri di telinga.
"Apa maksudnya? Apa Pak Faza juga akan menikahi kekasihnya tanpa menceraikan aku?" Pertanyaan itu terus menggema di benaknya, tak memberi ruang untuk tenang. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat, seolah memprotes kemungkinan yang ingin Caca tepis.
"Tidak, aku tidak mau dipoligami," batin Caca tegas, namun tetap menajamkan telinganya untuk menangkap kata-kata Faza berikutnya.